"Astaga, ponselku___" Aku menggantungkan kalimat karena orang yang menabrakku tadi kini malah menginjak ponsel genggamku.Dia tersenyum bahagia ketika melihat wajah terkejut terpancar di mataku ini. Helaan napas pun aku hembuskan ketika lelaki yang menginjak ponselku itu membuka topinya. Ternyata Mas Dimas, dia di rumah sakit ini juga? "Mas, kenapa injak handphone ku?" tanyaku padanya."Aku kesal, karena ulahmu saat di resepsi pernikahanku, kini Mama terkena stroke," jawab Mas Dimas.Aku menautkan kedua alis ini. Lalu menatapnya sambil memiringkan kepala."Mama Dewi stroke kenapa aku yang kamu salahkan?" tanyaku balik."Ya, gara-gara kamu, Safitri tahu semua rencanaku, dia jadi seenaknya memperlakukan mamaku seperti seorang pembantu, ditambah aku juga jadi ketahuan telah berusaha membunuh Pak Adam, itu semua ulahmu, Inggit!" Mas Dimas berteriak, dia bahkan menggoyangkan tubuhku ini.Aku benar-benar tidak tahu maksudnya Mas Dimas itu apa? Kenapa dia menyalahkan aku? Kenapa pria yang p
"Maksudnya kamu dan ibumu pamit gimana?" tanya Mas Pram."Aku putuskan untuk kembali hidup di kampung halaman, aku ingin ajak Ibu untuk pulang ke Karawang, sepertinya aku memang harus bangun dari mimpi," jawabku.Rengekan Jingga terus aku dengar, bahkan dia menarik bajuku seakan memaksa untuk tetap berada di ruangan tempat ia istirahat."Nggak seperti itu juga, Inggit, aku hanya perlu waktu," jawab Mas Pram."Ya, untuk sementara waktu, aku kembali ke kampung halaman," timpalku.Lalu tangan ini membelai pipi Jingga, kemudian pamit pada anak kecil yang berhasil menyatukan aku dan papanya. Namun, masuknya Jingga ke rumah sakit pun telah membuat hubungan kami pecah seketika. Bukan salah siapa-siapa, dia hanya korban dari orang yang tidak bertanggung jawab memfitnah lalu pergi begitu saja, entah siapa orangnya, tapi aku sudah mulai curiga pada Mas Dimas."Kamu ini anak pintar, Tante pamit dulu ya, Jingga makan yang banyak biar cepat sembuh," pesanku sambil mengecup kening bocah pemersatu a
Aku ingin tidak meladeninya, tapi jariku gatal untuk mengetik pesan untuk orang yang mengajakku perang.[Kamu siapa sih? Mas Dimas ya? Belum cukup dan puas dengan perceraian kita?]Aku kirimkan pesan tersebut untuknya, berharap orang itu benar Mas Dimas supaya aku tidak salah menduga.[Penasaran ya? Tunggu tanggal mainnya, kalau kamu meninggalkan Pram, aku akan tunjukkan wujud asliku.]Aku menelan ludah, rasanya enggan menimpali dia lagi. Aku hanya membuang waktu saja untuk mengurusi hal seperti ini. Orang itu tetap tidak akan berani membuka jati dirinya, dia hanya pengecut.Tiba-tiba saja aku teringat, tadi ponselku mati ketika ingin menyerahkan bukti rekaman pada Mas Pram, sekarang tiba-tiba saja di rumah baik-baik saja. Ponselku hidup kembali tanpa aku perbaiki sama sekali."Apa mungkin memang aku tidak jodoh ya? Sampai-sampai bukti saja Allah tidak izinkan untuk diberikan pada Mas Pram? Tadi handphoneku tuh mati Bu, kenapa sekarang hidup ya?" Aku bertanya sendiri tapi menghadap ke
Bab 53Aku melangkah buru-buru, bahkan nyaris tersandung kaki ibu karena saking penasarannya dengan siapa yang bertamu pagi-pagi.Setelah aku berada di belakang pintu. Dengan cepat aku membukanya lebar-lebar. Handle pintu masih dalam genggamanku. Saat itu juga mataku terbelalak melihat kedatangan Mas Pram.Aku yang berdiri di hadapannya kini melongo bahkan nyaris tak berkedip.."Assalamualaikum."Keterkejutanku bertambah ketika dia melontarkan kata-kata duluan."Waalaikumsalam," jawabku sedikit gugup."Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku terkesiap mendengarnya. Dia memintaku untuk mempersilakan masuk. Dengan cepat aku langsung menyingkir dari ambang pintu. Lalu mempersilakannya masuk ke dalam dan duduk.Aku hampir tidak percaya dengan kedatangannya. Tiba-tiba saja dia hadir di rumah ini tanpa konfirmasi lagi padaku."Handphonenya udah bisa lagi?" tanyanya langsung to the point."U-udah, Mas. Sebentar aku ambil handphonenya ya," jawabku.Namun ketika aku berdiri, tangannya mencekal pergel
Aku bimbang sekarang apa harus menghubunginya balik. Nomornya memang nomor baru, bukan seperti yang mengancamku untuk meninggalkan Mas Pram."Nggak usah telepon balik, kalau dia butuh pasti telepon ulang sampai kamu yang angkat," ucap Mas Pram kelihatannya tahu keraguanku.Aku menyunggingkan senyuman. Kemudian mengusap layar ponsel tersebut. Bukan untuk menghubungi dia, tapi hendak memberikan informasi pada Mas Pram bagaimana cara orang itu mengancamku."Lihatlah, Mas. Baca pesan ini, ada yang menyuruhku untuk meninggalkan kamu," ucapku sambil menunjuk ke arah layar ponsel.Mas Pram tampak tengah membaca dan menelitinya. Dia meraih ponsel yang aku genggam, lalu menyorot dengan pandangan penuh.Kemudian, tangannya menekan tombol telepon di handphonenya, lalu menyamakan nomor tadi pada kontak semua yang ada pada buku telepon."Nggak ada di sini, bukan orang yang aku kenal, atau orang itu sengaja menyamar?" Aku membasahi bibir kemudian fokus menatapnya."Kalau dia pakai nomor yang kamu s
"Safitri memintaku untuk memberikan suaminya pilihan, dia tidak ingin Dimas di penjara karena tidak mau anaknya kelak dijadikan bahan bullying orang, kamu paham, kan?" tanya Mas Pram.Aku menganggukan kepala, sebab paham betul posisi Safitri saat ini, dia serba salah, aku yakin dia tidak akan mempertahankan rumah tangganya lama-lama, firasat ku mengatakan Safitri hanya butuh Mas Dimas saat hamil saja."Safitri nggak beneran cinta sama Mas Dimas kan? Aku kasihan aja kalau sampai bucin pada laki-laki seperti itu, jangan sampai ada Inggit kedua," balasku."Sepertinya dia hanya menunggu anaknya lahir," jawab Mas Pram.Aku tahu Safitri itu anak orang kaya, jadi tidak mungkin sebodoh aku dulu, aku akui selama 5 tahun lalu aku ini wanita bodoh. Ketidaktahuan dan kepasrahanku terhadap takdir membuat Mas Dimas seenaknya menginjak-nginjak harga diriku.Namun, tidak dengan saat ini, aku sudah membuka mata dan mencoba menjadi pribadi yang kuat dan berani dalam mempertahankan hak. Intinya aku suda
Setelah kami masuk, kami berdua dipersilakan duduk dan disuguhkan minuman beserta cemilan. Safitri memperlakukan kami dengan spesial, seperti yang disebutkan Mama Dewi tadi, perlakuan Safitri membuatku terkagum-kagum. Ternyata manusia itu bisa berubah dengan cepat, tentu atas izin Allah yang telah membolak-balikkan hati manusia.Mas Dimas ditinggalkan oleh Safitri begitu saja, justru kami yang diistimewakan olehnya. Bahkan Mas Dimas dan mamanya tidak dipersilakan duduk oleh Safitri. Dia masih berdiri tegak di hadapan kami yang sudah terduduk."Kamu nggak nyuruh aku duduk?" Mas Dimas mengeluhkan sikap Safitri."Nggak perlu, bukankah kamu merasa ini adalah rumahmu juga," jawab Safitri dengan ketusnya."Oh Mama paham sekarang, mungkin bawaan bayi Safitri seperti ini, ada sebagian ibu hamil agak sensitif pada orang tertentu, sepertinya Safitri ini lagi sebel sama mama dan Dimas, ya Mama memakluminya kok," ungkap Mama Dewi.Dia begitu menutupi malunya di hadapanku. Mama Dewi duduk di sebel
"Aku tidak akan mengatakan siapa orang itu pada kalian," jawab Mas Dimas. Ternyata dia tetap pada pendiriannya, Mas Dimas tidak mau mengatakan siapa yang telah menjadi dalang permasalahan.Kami semua saling beradu pandang. Alis Mas Pram dan Safitri saling terangkat."Ya udah berarti saya akan laporkan dan bawa kasus ini ke jalur hukum," ancam Mas Pram.Mas Dimas terlihat membelalakkan matanya. Dia berdiri tegak sambil merangkul sang istri. Namun Safitri melepaskan dan menepisnya."Sayang, jangan begitu dong, aku ini ayah dari bayi yang kamu kandung. Bagaimana nasib bayimu jika tahu kalau ayahnya mantan narapidana," tutur Mas Dimas.Mama Dewi maju satu langkah dia berdiri di depanku persis."Inggit. Kenapa kamu masih saja seperti ini? Kamu tidak menyukai mantan suamimu itu bahagia bersama Safitri?" Aku terkejut mendengar pertanyaan dan sindiran dari mantan mertuaku. Dia bilang aku iri dan tidak menyukai Mas Dimas berbahagia dengan Safitri? Apa ini tidak terbalik? Aku tersenyum tipis s
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su