Jingga semakin banyak muntahnya, nyaris semua makanan yang masuk ke perut ia keluarkan. Aku dan Mas Pram sudah sangat panik. Namun, ibuku mengatakan hal yang tak terduga."Tadi kata Bibi, Jingga kondisinya ngedrop karena buang airnya mencret. Lalu disusul muntah, Ibu tanyain Jingga abis makan apa? Ternyata dia habis makan roti yang ada di meja itu," ungkap Ibu."Roti? Siapa yang beli?" tanya Mas Pram."Kata satpam, tadi ada ojek online bilang itu roti dari Bu Inggit," jawab Bibi.Aku terkejut mendengarnya, sebab aku tidak mengirimkan apa-apa."Makanya Ibu langsung beliin air kelapa, sudah diminum oleh Jingga, dan akhirnya dikeluarkan semua isinya, kemungkinan di roti itu ada racunnya," tutur Ibu.Deg!Dadaku bergetar hebat, Ibu bilang racun? Sementara roti yang tadi disebutkan katanya roti dariku. Ini jelas fitnah, aku harus menjelaskannya pada Mas Pram."Jadi Jingga keluarkan semua isi makanan karena sudah minum air kelapa? Ya udah sekarang saya bawa ke rumah sakit dulu. Terima kasih
Kemudian, dengan cepat aku membalas pesannya.[Anda siapa? Ini intimidasi atau hanya nakutin?]Lama aku menunggu balasan darinya, namun tak kunjung juga ia membalasnya.Aku coba menghubunginya, tapi orang yang mengirim pesan tersebut tidak mengangkat panggilan dariku. Hingga akhirnya Mas Pram muncul dari arah kasir.Aku segera menghampirinya sambil mengantongi ponsel, sebab aku harus terus menjelaskan bahwa aku tidak tahu menahu masalah roti tersebut."Mas, udah diurus?" tanyaku."Udah, kamu pulang aja gih, biar aku aja yang nungguin Jingga, kamu sama Bu Anis pulang aja ke rumah," ketusnya.Astaga, Mas Pram benar-benar marah padaku. Dia tidak percaya dengan ucapanku. Penjelasan yang tadi aku jabarkan rasanya percuma, sebab aku tidak memiliki bukti untuk membantah tuduhan itu.Aku menggigit bibir sambil menatapnya nanar, jari jemariku mulai meraih pergelangan tangannya. Namun Mas Pram menolak bahkan menepis genggaman tanganku."Lebih baik kamu pulang, aku ingin fokus pada Jingga. Perni
"Tante di sini aja, bareng aku," rengek Jingga.Namun, belum sempat aku menjawab, Mas Pram menarik paksa pergelangan tangan ini. Aku ditariknya keluar, dan sampai di depan pintu ya langsung melepaskan genggaman itu begitu saja."Jangan muncul lagi, untuk sementara kamu tidak diperkenankan untuk menemui Jingga, aku nggak mau terjadi sesuatu lagi padanya," ungkap Mas Pram.Aku terdiam, dada ini sakit mendengar. Mas Pram tidak percaya denganku, itu artinya memang kami tidak berjodoh. Sebab kalau dia sayang padaku, tidak mungkin memperlakukan calon istrinya seperti ini. Terlebih belum ada bukti akurat bahwa kue itu benar-benar dariku."Aku akan buktikan bahwa kue itu bukan dari aku, itu roti atau kue, aku aja nggak tahu namanya, Mas.""Inggit, aku cuma minta waktu untuk berdua dengan Jingga, entah kenapa hatiku lagi tidak ingin diganggu denganmu," jawab Mas Pram.Jadi aku ini pengganggu hidupnya, Mas Pram merasa terganggu dengan kehadiranku."Hanya karena obat pencuci perut yang bukan aku
Kemudian sambungan telepon pun terputus. Sementara aku hanya bisa menghela napas sambil mengantongi ponselku kembali.Kesal sudah pasti, sebab tiba-tiba ada yang mencaci, terlebih orang yang mencaci makiku tidak dikenal sama sekali. Dia melontarkan kata-kata kasar di balik telepon, sungguh wanita itu sangat pengecut sekali.Aku coba untuk tidak memikirkan wanita itu. Gagahnya aku melangkahkan kaki ke arah toko kue yang akan membuka kedok siapa wanita yang telah memfitnahku.Langkah kaki ini tak gentar, aku harus memperjuangkan Mas Pram, terutama harus membuka dalang siapa orang yang beraninya memberikan obat pencuci perut pada Jingga.Setelah beberapa waktu kemudian. Aku pun tiba di lokasi. Suasana toko ramai, jadi aku harus menunggu sepi pembeli dulu.Beberapa menit aku menunggu toko agak lebih sepi, akhirnya berkesempatan untuk bertanya pada kasirnya juga.Aku coba memberanikan diri menanyakan hal yang sebenarnya menjadi rahasia toko."Mbak, maaf ganggu. Kalau boleh tahu, beberapa j
"Astaga, ponselku___" Aku menggantungkan kalimat karena orang yang menabrakku tadi kini malah menginjak ponsel genggamku.Dia tersenyum bahagia ketika melihat wajah terkejut terpancar di mataku ini. Helaan napas pun aku hembuskan ketika lelaki yang menginjak ponselku itu membuka topinya. Ternyata Mas Dimas, dia di rumah sakit ini juga? "Mas, kenapa injak handphone ku?" tanyaku padanya."Aku kesal, karena ulahmu saat di resepsi pernikahanku, kini Mama terkena stroke," jawab Mas Dimas.Aku menautkan kedua alis ini. Lalu menatapnya sambil memiringkan kepala."Mama Dewi stroke kenapa aku yang kamu salahkan?" tanyaku balik."Ya, gara-gara kamu, Safitri tahu semua rencanaku, dia jadi seenaknya memperlakukan mamaku seperti seorang pembantu, ditambah aku juga jadi ketahuan telah berusaha membunuh Pak Adam, itu semua ulahmu, Inggit!" Mas Dimas berteriak, dia bahkan menggoyangkan tubuhku ini.Aku benar-benar tidak tahu maksudnya Mas Dimas itu apa? Kenapa dia menyalahkan aku? Kenapa pria yang p
"Maksudnya kamu dan ibumu pamit gimana?" tanya Mas Pram."Aku putuskan untuk kembali hidup di kampung halaman, aku ingin ajak Ibu untuk pulang ke Karawang, sepertinya aku memang harus bangun dari mimpi," jawabku.Rengekan Jingga terus aku dengar, bahkan dia menarik bajuku seakan memaksa untuk tetap berada di ruangan tempat ia istirahat."Nggak seperti itu juga, Inggit, aku hanya perlu waktu," jawab Mas Pram."Ya, untuk sementara waktu, aku kembali ke kampung halaman," timpalku.Lalu tangan ini membelai pipi Jingga, kemudian pamit pada anak kecil yang berhasil menyatukan aku dan papanya. Namun, masuknya Jingga ke rumah sakit pun telah membuat hubungan kami pecah seketika. Bukan salah siapa-siapa, dia hanya korban dari orang yang tidak bertanggung jawab memfitnah lalu pergi begitu saja, entah siapa orangnya, tapi aku sudah mulai curiga pada Mas Dimas."Kamu ini anak pintar, Tante pamit dulu ya, Jingga makan yang banyak biar cepat sembuh," pesanku sambil mengecup kening bocah pemersatu a
Aku ingin tidak meladeninya, tapi jariku gatal untuk mengetik pesan untuk orang yang mengajakku perang.[Kamu siapa sih? Mas Dimas ya? Belum cukup dan puas dengan perceraian kita?]Aku kirimkan pesan tersebut untuknya, berharap orang itu benar Mas Dimas supaya aku tidak salah menduga.[Penasaran ya? Tunggu tanggal mainnya, kalau kamu meninggalkan Pram, aku akan tunjukkan wujud asliku.]Aku menelan ludah, rasanya enggan menimpali dia lagi. Aku hanya membuang waktu saja untuk mengurusi hal seperti ini. Orang itu tetap tidak akan berani membuka jati dirinya, dia hanya pengecut.Tiba-tiba saja aku teringat, tadi ponselku mati ketika ingin menyerahkan bukti rekaman pada Mas Pram, sekarang tiba-tiba saja di rumah baik-baik saja. Ponselku hidup kembali tanpa aku perbaiki sama sekali."Apa mungkin memang aku tidak jodoh ya? Sampai-sampai bukti saja Allah tidak izinkan untuk diberikan pada Mas Pram? Tadi handphoneku tuh mati Bu, kenapa sekarang hidup ya?" Aku bertanya sendiri tapi menghadap ke
Bab 53Aku melangkah buru-buru, bahkan nyaris tersandung kaki ibu karena saking penasarannya dengan siapa yang bertamu pagi-pagi.Setelah aku berada di belakang pintu. Dengan cepat aku membukanya lebar-lebar. Handle pintu masih dalam genggamanku. Saat itu juga mataku terbelalak melihat kedatangan Mas Pram.Aku yang berdiri di hadapannya kini melongo bahkan nyaris tak berkedip.."Assalamualaikum."Keterkejutanku bertambah ketika dia melontarkan kata-kata duluan."Waalaikumsalam," jawabku sedikit gugup."Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku terkesiap mendengarnya. Dia memintaku untuk mempersilakan masuk. Dengan cepat aku langsung menyingkir dari ambang pintu. Lalu mempersilakannya masuk ke dalam dan duduk.Aku hampir tidak percaya dengan kedatangannya. Tiba-tiba saja dia hadir di rumah ini tanpa konfirmasi lagi padaku."Handphonenya udah bisa lagi?" tanyanya langsung to the point."U-udah, Mas. Sebentar aku ambil handphonenya ya," jawabku.Namun ketika aku berdiri, tangannya mencekal pergel