Sayangnya, itu bukan akhir dari citra panjang ini.
Sebenarnya aku ingin mengumpat. Kupikir ketika aku menangis menyadari keberadaannya, citra menyesakkan ini juga berakhir. Namun, ternyata, kebangkitan dirinya dalam kepalaku hanya sebagai ajang terbukanya gerbang citra baru.
Yang kulihat pertama: hutan belantara.
Atau lebih tepatnya: sungai, dan mataku melihat bahwa aku baru terjatuh, lalu keningku akan menanduk bebatuan. Sedetik terasa berlangsung dalam sekejap. Kepalaku menumbuk bebatuan, aku terjatuh di atas aliran sungai, dan pandanganku kabur. Keringatku mengucur deras. Kakiku sakit, seperti tubuhku sehabis berlari jauh, menolak untuk bergerak lagi. Rasanya ada bagian diriku yang marah.
Dan aku mendengar diriku sendiri bergumam:
“Persetan.”
Ingatan itu kembali ke kepalaku: mimpi pertamaku tentang Reila.
Dan kusadari keadaan Reila saat itu begitu kacau. Reila berusaha bangkit, tetapi kakinya sendiri pincang. Aku tahu d
Suara Reila menggema ke seluruh penjuru.“Apa yang terjadi padanya? Dia hilang ingatan! Dan kalian tiba-tiba mulai menyalahkanku saat akhirnya bisa bertemu dengannya?”Hening. Tidak ada yang menjawab.Aku—benar-benar aku—terbaring di klinik, dengan wajah damai seolah tak pernah terjadi apa-apa. Reila berdiri di samping ranjang, menuntut, bahkan hampir melotot ke tiga dewan yang hadir di sana: Profesor Neil, Kara, Dokter Gelda.“Dengar, aku bersyukur melihat kakakmu kembali,” kata Profesor Neil. “Ini berita bagus untuk semua orang yang pernah mengenalnya di masa lalu. Tapi masih ada hal lain yang perlu kita pertimbangkan. Kita perlu tahu apa yang terjadi selama dia tidak bisa ditemukan. Kita tidak bisa menerimanya begitu saja.”“Oh?” Reila jelas tidak bisa menerima jawaban itu. “Bahkan setelah semua ini—setelah tahu dia hilang ingatan—masih belum puas?”&ldquo
Kara di halaman belakang Gerha Reila bersama si pemilik rumah.“Aku mengerti, Nak,” kata Kara. “Hanya segelintir orang yang tahu semua kebenarannya. Aku bisa bicara dengan Mika, terlebih karena hanya dia satu-satunya yang langsung sadar identitas Forlan. Tapi kurasa Mika bukanlah orang yang suka ikut campur, kecuali Forlan mendekatinya. Maksudku, ketika akhirnya Mika sadar Forlan hilang ingatan, meski tidak memberitahunya, Mika pasti langsung mengerti keadaannya. Tapi, yah, aku mengerti, biar aku yang bicara dengannya.”“Baik,” Reila mengangguk. “Makasih, Kara.”“Dan, Nak, mm... maaf bila aku menyinggungmu sebelumnya.”“Aku juga. Maaf karena membentak.” Reila kelihatan sudah bisa menerima, meski sorotnya masih kosong. “Bagaimana dengan tiga orang lain?”“Aku punya firasat satu-satunya yang ingat hanya Mika. Tapi kita memang perlu memastikannya. Selama sepuluh
“Dasar pembohong,” kata Profesor Merla.“Bibi pikir aku bisa terus bohong?”“Menyiksa diri memang tidak ada salahnya. Sejauh yang kutahu, kakakmu itu cerdas, dan itu tidak berubah setelah sepuluh tahun. Kita tunggu saja.”Mereka di Lembah Palapa, tempat yang kuingat adalah rumah lama kami. Rumah itu masih berdiri, tidak rusak sedikit pun, seolah selama bertahun-tahun tak pernah ada sesuatu yang membuat rumah itu roboh. Rumah itu berjarak tidak jauh dari gang kecil tempatku hilang, jadi Reila sempat melewati gang kecil itu—yang tampaknya mengingatkannya akan momen ketika dia bersembunyi di belakang bak sampah raksasa super bau. Kini, bak sampah itu sudah hilang, dan gang kecil sudah lebih terang. Tidak ada yang kelihatan kotor. Gang kecil itu lebih terawat. Tak ada lagi rumah makan ikan bakar, tergantikan oleh restoran lokal.Di rumah kami, Reila membereskan segalanya, menurunkan semua bingkai yang berisi foto-foto
Hal pertama yang membuatku mengerti bahwa kesadaranku telah kembali, adalah ketika jemariku berhasil merasakan sensasi rumput.Jadi, mataku mulai terbuka, dengan samar melihat rumput di depan mataku. Aku tersungkur, rerumputan basah di bawahku, dan tidak ada apa-apa sejauh mata memandang. Rasanya aneh. Aku mulai mengerang, terbangun—kesadaranku masih belum sepenuhnya kembali, kepalaku pusing, kurasakan sensasi seperti sehabis berkeringat banyak seolah-olah aku baru berolahraga atau lari gunung. Tubuhku seperti lelah. Aku duduk bersila, berusaha mengembalikan segenap kesadaran, lalu mengingat apa yang sebenarnya terjadi.Aku melihat langit biru dan hamparan air. Posisiku seperti di lembah danau, atau kubangan air raksasa. Ada suara samar air terjun. Aroma yang tercium seperti campuran alam liar dan kesegaran embun pagi. Samar, tetapi aku juga mendengar kicauan burung. Rasanya tidak seperti kembali ke Padang Anushka.Dan aku teringat. Jadi, aku langsung memb
Bisa dibilang, Pulau Pendiri adalah hal teraneh dari alam liar.Awalnya, hutan tidak terlihat seperti punya jalur yang bisa dilewati, tetapi ketika kami menginjakkan kaki di akar pohon pertama, tiba-tiba rerumputan tinggi seperti bergerak, dan Reila hampir menjerit—meski dia bisa menahannya, segera melapor padaku, bahwa, “Rumputnya bergerak.”“Ya,” kataku, singkat, seolah aku tidak melihatnya juga.Sebenarnya bukan hanya rumput. Pohon juga bergerak, meski tidak terlalu terasa. Reila yang tidak bisa merasakan alam liar tidak akan merasakannya, tetapi aku bisa mengerti seolah ada beragam informasi masuk ke dalam kepalaku. Struktur tanah, banyaknya pohon, lokasi pohon, besar pohon, tinggi rerumputan, luas pulau, lokasi air terjun—ada banyak—sungai yang mengalir, beragam eksistensi hewan-hewan indah dan langka yang semestinya sudah punah. Hanya dalam satu pijakan kaki, tiba-tiba aku seperti disambut alam liar. Rasanya, hutan
Aku ingat ketika Aza sudah tidak mampu lagi berjalan hanya untuk sekadar keluar kamar, Aza pernah berkata, “Kemampuanku seperti diserap habis.”Saat itu di luar pondok sedang gerimis, sementara aku menyiapkan makan malam. Aku ingat sedang berpikir keras seberapa banyak bumbu yang sebaiknya kugunakan untuk membakar daging ayam. Ruang api dipenuhi asap pembakaran ayam, di sebelahku potongan ayam sudah siap dibakar, dan tiba-tiba terdengar suara gebrakan keras dari kamar Aza. Aku mendobrak masuk, melihat Aza terjatuh dari kasur. Dia menyeringai lemah. “Anak muda, jangan melihatku begitu.”Kuputuskan membantunya kembali ke kasur sebelum mengomelinya betapa sebaiknya dia memanggilku bila ingin keluar kamar. Saat itu Aza memang sudah memakai kursi roda hanya untuk keluar. Dan biasanya dia keluar pondok cuma agar bisa memastikan aku benar-benar latihan sendiri. Dia akan duduk di selasar, di balik pagar kayu, memangku kepalanya, lalu mengomel betapa ger
Aku dan Reila termenung di depan batu nisan.Aku sempat kembali ke gua, mengambil mahkota bunga berkilau biru, lalu meletakkannya di depan batu nisan Aza. Reila menemaniku, dan kami sama sekali tidak bicara sampai kembali duduk. Tampaknya Reila memang melihat semua masa yang kulalui di pondok, bagaimana Aza telah mengganti semua yang hilang setelah Reila dibawa pergi. Jadi, Reila pasti tahu bagaimana Aza menjadi seseorang yang berhasil menggantikan semua kenangan tanpa pernah membuatku ingat pada masa lalu—sampai sebelum detik-detik kematiannya terjadi.Kurasa Reila juga merasakan hal yang sama.Karena Reila, pada akhirnya, menyandarkan kepalanya.Perlahan, dia juga mulai merangkulku.Aku begitu tidak berdaya, jadi aku ikut merangkulnya—seolah-olah alam bawah sadarku membangkitkan semua kesesakan yang kurasakan ketika Aza pergi dan aku tidak mau itu terjadi lagi pada satu-satunya yang tersisa. Aku tidak berniat membiarkan Reila pergi un
Jentikan jari itu kedengaran begitu keras.Langsung muncul di depan mataku: hidangan berkelas sangat lezat. Kami pindah tempat, dan tepat seperti yang kubayangkan: api unggun. Akshaya duduk di batang pohon, dikelilingi kucing-kucing lucu, dan di pangkuannya, kucing raksasa berwarna putih sedang menikmati garukan jemarinya. Api unggun itu mati. Jelas—masih siang, tetapi aku merasa ini tempat yang sama seperti dalam mimpiku.Aku merasakan gejolak aneh. Setiap bertemu pemandangan ini, suasananya selalu malam. Dan momen itu selalu datang ketika aku dalam kondisi buruk.“Bukannya tempat ini hanya muncul saat gundah?” tanyaku.“Perkemahan,” sebut Akshaya, mengambil satu tusuk sate. Kupikirkan dia akan menggigitnya, tetapi ternyata dia melepaskan daging dari tusuk, membuatnya menjadi santapan para kucing. “Api unggun adalah tempat terhangat, benar?”“Api unggun memang identik dengan itu,” kataku.
Lavi meneguk cokelatnya sampai habis sebelum mulai melanjutkan.“Sejak dulu aku tidak bermaksud dekat dengan siapa pun,” katanya. “Aku... suka menyendiri. Kata orang, aku selalu dekat dengan si kapten baru ini, tapi—apa yang mereka tahu? Aku lebih sering menyendiri—dulu belum ada gerha, Tempat favoritku menyendiri hanya Joglo atau ladang bunga. Dulu aku sering ikut Dhiena dan Mika merawat ladang bunga. Tapi semakin aku dikabarkan dekat dengan si kapten, Dhiena dan Mika juga terkesan menjauhiku seolah itu cara mereka berkata tidak suka aku dekat dengan tim penyerang. Aku semakin sendiri, dan di titik itulah aku sadar betapa aku mulai benci diriku sendiri. Aku benci menyendiri. Aku benci merasakan sepi. Tapi aku tidak bisa pergi dari sepi. Dan orang ini—si kapten ini hanya ingin dipuaskan tanpa memikirkanku. Dan di waktu sama aku mendengar dia memakai namaku untuk membanggakan dirinya—seolah dia berhasil mendapatkan diriku yang jatuh pa
Aku bersumpah pada Lavi tidak akan bersedih lagi sampai selesai misi. Itu membuat Lavi tersenyum lebar. “Kalau begitu, sekarang kau yang temani aku.”Lavi ingin menghabiskan waktu di Rumah Pohon hingga jam misi tiba. Saat itu kurang dari enam jam lagi hingga kami berangkat misi. Jadi, Lavi beranjak ke Rumah Pohon saat aku membuat cokelat hangat di dapur. Dalton tidak ingin berada di markas. Dia ingin duduk di danau. Aku tidak ingin mengganggunya. Sepertinya dia ingin menenangkan pikiran. Kupikir Elton ikut dengannya, ternyata Elton ingin mempersiapkan perlengkapannya. Maka kami berpisah.Dua cangkir cokelat hangat siap, aku naik ke Rumah Pohon. Rumah Pohon ketika Lavi berada di dalam sungguh bisa terasa berbeda hanya dari aromanya. Lavi membuat semuanya terasa lebih hidup. Kehadirannya lebih besar dari sekadar apa pun. Ketika kehadirannya terasa sangat kuat seperti ini, biasanya Lavi sedang duduk di depan pintu beranda Rumah Pohon—di tempat favoritku&
Jesse dan Nuel membubarkan diri lebih dulu. Lavi menatap tajam Jesse bak singa marah menatap musuh yang bahkan tidak menoleh padanya sampai Jesse dan Nuel keluar ruangan. Aku membiarkan Lavi menatap seperti itu karena aku juga lumayan takut kalau dia sudah mendesis semakin kesal.Dokter Gelda meminta Leo kembali ke klinik, yang kusadari kalau Leo juga belum benar-benar dapat restu—tetapi Leo meminta sedikit waktu untuk menetap di markas ini lebih lama. “Sumpah, Ibu. Mika bakal menyeretku, jadi tunggu aku di klinik. Percayalah padaku dan Mika.” Dan dengan gagasan itu, Dokter Gelda dan Isha kembali lebih dulu ke klinik. Isha berkata padaku dan Lavi. “Nanti kuletakkan perlengkapan misi kalian di depan.” Lavi hanya mengangguk. Aku juga.Kara tampaknya berniat menghampiri kami, tetapi tiba-tiba Hela datang ke tempatnya, meminta saran soal misi. Itu membuat Kara akhirnya mau tak mau ikut keluar ruangan. Biasanya Hela bertanya pada Profesor Merla
Secara teknis, aku duduk di samping Lavi—yang juga di dekat Dalton. Dia yang paling dekat di antara semua orang. Leo bersama empat pendahulu berada di area yang sama. Mika setia duduk di sampingnya ketika Haswin dan Yasha mencuri perhatian sebagian orang karena terus berpindah tempat duduk—entah apa tujuan mereka. Dokter Gelda dan Isha selalu satu paket, berada di dekat Kara yang duduk di dekat Jesse dan Nuel. Mereka ada di dekat papan, dan kami duduk menghadap ke arah Jesse. Aku dan Lavi yang paling dekat pintu keluar, sementara Dokter Gelda dan Isha paling dekat dengan pekarangan belakang. Aslan berada di tempat cukup belakang bersama Elton dan Reila. Mereka ada di dekat kursi paling nyaman—yang diduduki oleh Reila dan Elton. Aslan setia memerhatikan, duduk di dekat mereka.Hela ada di dekat Dalton. Dia duduk di antara Lavi dan Dalton, jadi Dalton yang bertanya padanya, “Kau oke? Kau bisa mengikuti, kan?”“Eh, iya, bisa,” jaw
Ruang berkumpul markas tim penyerang pada dasarnya didesain untuk rapat tim dan apa pun yang melibatkan semua anggota. Ide kasarnya datang dari Dalton, lalu disempurnakan Lavi. Namun, dibilang model dibuat Dalton sebenarnya juga tidak. Hampir semua model milik Dalton diperbaiki Lavi. Ide ruang berkumpul ini datang dari Dalton, tetapi dirombak habis-habisan oleh Lavi. Ide ruang depan juga datang dari Dalton—dia memikirkan ruangan itu menjadi sejenis gudang senjata, tetapi oleh Lavi dirombak habis-habisan menjadi ruangan yang memamerkan tim penyerang—foto tim, dan loker anggota untuk persiapan perlengkapan misi. Loker itu biasanya diisi langsung oleh tim medis—biasanya mereka secara rutin memberi perlengkapan misi ke loker itu, jadi kami tidak perlu repot-repot ke tim medis untuk mengambil perlengkapan yang sebenarnya juga hanya perlu melangkah ke gedung sebelah. Namun, itu ide Isha karena sekarang tidak ada jaminan tim medis selalu di klinik. Mereka selalu berpencar
Lavi perlu memastikan keadaan lenganku yang cedera sebelum kami benar-benar berangkat misi. Jadi, mumpung tak ada siapa-siapa di gerha selain kami, Lavi membiarkanku panahan. Sebenarnya aku sudah yakin lenganku baik-baik saja. Tak ada lagi keluhan yang kurasakan. Aku juga sudah berhenti mengonsumsi obat dari Dokter Gelda—aku hanya terus menyantap madu Tara. Sungguh, madu Tara terasa beda dari yang lain. Lavi bahkan mengakuinya. Lebih enak dan membekas.Jadi, aku memanah. Lavi mengamatiku.Kurang lebih, dia puas. Dari lima puluh lima percobaan, tiga panah meleset dari titik pusat target. Aku kurang puas, tetapi Lavi memuji. “Impresif. Lenganmu pulih! Aku senang sekali!” Dia memelukku. “Angkat aku.”Aku mengangkatnya dengan lengan kiri seperti menggendong Fal, dan Lavi menjerit penuh tawa. Kuputuskan berputar-putar dan Lavi semakin brutal tertawa, tangannya melilit leherku terlalu kuat, jadi kami sama-sama menjerit meski dengan maksud
Aku terbangun ketika mendengar suara pintu dibuka. Mataku segera terbuka dan melihat sumber suara. Lavi berjalan membawa cangkir.“Oh, maaf, aku tidak bermaksud membangunkan,” katanya.Mataku silau—bukan karena Lavi, tetapi karena dari jendela kamar, cahaya seperti menerobos dari celah tirai. Di luar sudah sangat cerah. Aku tidak memasang jam di kamarku. Aku tidak terlalu tahu waktu. Lavi meletakkan cangkir minum, lalu duduk di sisi ranjang. “Istirahatlah selama kau bisa istirahat,” katanya.Aku menggeleng. “Jam berapa sekarang?”“Sebelas.”“Berapa lama aku tidur? Hari apa sekarang?”“Hampir sembilan jam,” jawabnya, lancar. “Jam tidur normal, sebenarnya. Aku membawakan minum. Hangat. Minumlah.” Dia menyodorkan cangkir itu. Aku bangun, meneguknya. Hanya air mineral biasa.“Aku... seperti terdisorientasi,” ungkapku, setelah meletakkan c
Saat itu siang bolong. Cuacanya lumayan panas, suara jangkrik terdengar di tengah hari, angin jarang berembus, tetapi itu tidak menghentikan anak kecil berlari penuh semangat, sangat kencang dengan wajah gembira. Dia keluar Balai Dewan—yang saat itu masih disebut asrama—berlari melewati jalur penghubung, terus lari meski ada orang yang menyapanya, di tangannya ada buku tulis dan dia melaju kian kencang setelah memasuki kompleks gerha. Dia berbelok dengan kecepatan tinggi ke gerha pertama di sebelah kanan, membuka pintu, dan menjerit, “IBU! IBU!”Dia masih berlari sampai menemukan Ibu di ruang tengah.Cuaca panas di luar semestinya juga membuat ruangan itu panas. Namun, itu tidak terjadi. Ruangan tengah gerha Ibu justru sangat sejuk. Ibu membuka pintu belakang, membuat pemandangan langsung terbuka. Ibu menanam banyak tanaman dan bunga di halaman belakangnya. Halamannya juga berdekatan dengan pohon di pinggir air terjun. Itu membuat angin segar da
Sorenya, untuk pertama kali sejak tahu air terjun belakang gerhaku adalah wilayah Aza, aku memasukinya. Aku tak pernah memasukinya lagi sejak mengerti identitas asli kemampuanku. Namun, kini, aku tidak bisa menahannya lagi. Tak ada bukti kalau Aza terlibat di kejadian ibuku, tetapi dia pasti tahu sesuatu. Aza selama ini seperti itu. Dia menyembunyikan banyak kebenaran.Jadi, dengan impulsif aku menembus pepohonan. Suara air terjun semakin besar. Nuansanya semakin segar. Lavi tidak tahu. Dia masih di gerha bersama Reila dan Fal. Aku bergegas, dalam sekejap langsung menemukan air terjun dengan mata air asli. Suaranya keras, tetapi juga menenangkan. Kepalaku langsung didesak oleh nuansa segar dan aku melihat bunga berkilau biru bermekaran di tempat yang bisa membuatnya semakin indah. Dalam sekejap, ketika aku berdiri di dekat air terjun dan merasakan cipratan air, aku bisa merasakan keberadaan Aza di mana-mana.“Aza!” seruku.Suaraku agak tertutup air t