~ Prumahan Permata Hati, Semarang. ~
Bu Ratna merasakan sakit yang teramat sangat karena kontraksi yang dialaminya.
"Pa, Sakiit!" teriak Bu Ratna.
Pak Gunawan tergopoh-gopoh menghampiri istrinya dengan menggendong anak pertama mereka, Melani. Terlihat raut panik di wajahnya yang bersahaja.
"Sebentar, ya Mah!" Pak Gunawan langsung meninggalkan istrinya menuju rumah tetangganya.
Diketuknya pintu dengan tidak sabaran. Dia ingin menanyakan dimana letak rumah sakit terdekat. Pak Gunawan, cukup panik hingga kebingungan.
"Iya, sebentar!" terdengar suara balas dari dalam rumah.
Pak Gunawan menanti dengan gelisah.
Pintu rumah terbuka lebar dan muncul, seorang lelaki kurus dan memiliki jenggot tipis di dagunya.
"Assalamualaikum, Pak Gunawan." sapanya, yang membuat malu Pak Gunawan.
"Wa-waalaikumusalam, Pak Yunus." balasnya. "Anu, pak. Hmmm, mau tanya rumah sakit terdekat. Istri saya sudah kontraksi!" Pak Gunawan menjelaskan kedatangannya sebelum di tanya.
Tanpa menjawab, Pak Yunus masuk ke dalam dan keluar bersama istrinya lalu mengunci pintu rumahnya. Mereka berdua berjalan ke rumah Pak Gunawan namun, Pak Gunawan diam terpaku di teras rumah mereka.
"Pak, ayoo!" Pak Yunus memanggil tetangganya itu yang sedang bingung.
Sedangkan istri Pak Yunus, sudah masuk terlebih dulu ke dalam rumahnya.
Terlihat Bu Ratna, meringis menahan rasa sakitnya. Ditemani anak kecil yang sangat cantik. Tanpa diminta, istri Pak Yunus mengambil perlengkapan yang diperlukan untuk di rumah sakit. Lalu, memapah tetangganya itu menuju teras rumah.
Pak Yunus sudah memanaskan mobil milik Pak Gunawan. Jadi bisa langsung digunakan, karena ini hari libur jadi kegiatan mereka hanya sedikit dan tidak perlu menggunakan kendaraan. Tanpa disangka, Bu Ratna kontraksi sebelum waktunya.
Meskipun sedang hamil besar, istri Pak Yunus termasuk gesit.
"Maaf, merepotkan ya, Bu Anggit," Bu Ratna berucap dengan menggenggam tangan tetangganya itu.
"Enggak apa-apa, Bu. Saya juga sedang nyantai, di bawa rileks ya, Bu." ujarnya menenangkan.
Perjalan cukup jauh menuju rumah sakit terdekat, sekitar 30 menit. Sesampainya di rumah sakit, Bu Ratna langsung mendapatkan tindakan medis. Dikarenakan air ketuban sudah lama pecah. Operasi berjalan lancar, dan berhasil menyelamatkan ibu dan bayinya.
Seorang anak lelaki yang tampan dan menggemaskan, menggeliat lucu. kedua orang tuanya, baru bisa melihat bayi mungil itu setelah 3 jam.
Suasana haru biru memenuhi ruangan VIP. Pak Yunus mengajak istrinya berpamitan dan berencana pulang menaiki angkot. Namun, diminta membawa mobil Pak Gunawan, agar tidak kelelahan. Meski ditolak, akhirnya pak Yunus pasrah dengan permintaan tetangganya itu.
Baru beberapa melangkah, Bu Anggit terduduk. Menahan rasa keram di perutnya yang kian sering terjadi.
"Kenapa, Bu?" tanya Pak Yunus.
"Entahlah, Pak." jawabnya, sambil meringis.
Bu Ratna melihat tetangganya yang menahan sakit, teringat saat melahirkan anak pertamanya. "Cepat, bawa ke UGD." ujarnya.
Pak Gunawan, mengambil kursi roda dan meminta pak Yunus membawa istrinya ke ruang UGD.
Setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata Bu Anggit sudah pembukaan lengkap. Membuat pak Yunus panik, seperti keadaan pak Gunawan tadi. Beruntung ada suster yang berada di kamar itu.
Bu Anggit melahirkan anak perempuan yang sangat cantik dengan lahiran normal. Lalu, pak Gunawan meminta suster untuk membawa Bu Anggit satu kamar dengan istrinya.
Untuk kebutuhan selama di rumah sakit, dua keluarga itu berbagi.
Didalam kamar, terdengar tawa dari kedua keluarga itu, mereka tidak pernah menyangka akan melahirkan bersamaan seperti ini. Hanya berbeda metodenya dan jam saja. Bu Ratna melahirkan secara cesar dan Bu Anggit secara normal. Kedua ibu muda itu sama-sama bahagia, yang terpenting bagi mereka ibu dan anak selamat.
Setelah kepulangan mereka dari rumah sakit, hari-hari diisi dengan kebahagiaan. Kecomelan anak-anak mereka membuat mereka betah berlama-lama di dalam rumah. Sering kali salah satu anak di titipkan, karena ibu mereka ada keperluan mendadak dan tidak ada yang keberatan karena hal itu.
Sering pula, mereka mendadani anak-anak mereka secara bersamaan dan bergantian. Hingga mereka memiliki ikatan yang kuat, meski hanya sebatas tetangga.
****
Anak Bu Ratna di beri nama, Jody Ardiansyah. Sedangkan nama anak dari Bu Anggit bernama, Rara Rukmani.
Kini mereka sudah memasuki usia TK dan di sekolahkan disekolah yang sama. Agar mudah, ujar orang tuanya. Entahlah, mudah untuk apa.
Sejak kecil Rara terlihat lebih aktif dibandingkan Jordy. Membuat Bu Ratna iri, padahal pengasuhan mereka sama. Namun, hasilnya berbeda.
Bu Anggit dengan bijak mengatakan, jika perkembangan anak laki-laki dan perempuan berbeda namun, Bu Ratna tidak langsung percaya.
Bu ratna merasa lega, setelah di ajak ke dokter tumbuh kembang anak oleh suaminya. Dia kini, membenarkan ucapan Bu Anggit.
Kebersamaan dua bocah kecil itu, kian hari kian lengket. Seperi kakak beradik pada umumnya, hanya berbeda ibu dan ayahnya. Pertengkaran kecil sering terjadi namun, kembali menghangat jika sudah ada makanan kesukaan mereka berdua tersaji.
Bu Ratna dan Bu Anggit seperti keluarga, selalu berbagi dan berbincang setiap harinya. Mengasuh dua anak yang berbeda karakter, jika Rara lebih suka bermain dengan Bu Ratna, maka Jordy lebih suka bersama Bu Anggit.
***
Sore hari, dua ibu muda itu mengajak anaknya ke taman di perumahan mereka. Mereka berdua duduk di bangku taman, sedangkan dua bocah kecil berlarian kesana-kemari.
"Kita berdua memiliki, anak yang tertukar ya, Bu." Bu Ratna tertawa lepas ketika mengatakan hal itu.
"Iya ... ya, baru sadar, saya," balas, Bu Anggit.
Mereka berdua memandangi dua bocah yang makin hari makin tumbuh besar.
"Semoga, mereka berdua ada jodohnya, ya Bu. Saya tidak tau umur sampai mana, kasian jika Rara memiliki mertua yang galak atau suami yang menyakitinya." ujar Bu Anggit lirih.
"Kita akan berumur panjang, Bu. Bisa melihat mereka tumbuh besar dan menikah," Bu Ratna mencoba mencairkan suasana hati Bu Anggit, yang mendadak melow.
Bu Anggit memandang tetangganya itu dengan pandangan sendu, seakan-akan meminta jawaban yang pasti akan apa yang dia ucapkan.
"Aduh, Bu Anggit. Pastilah, jika mereka berjodoh, saya akan bahagia. Namun, kita tidak bisa memaksakan takdir. Kita berusaha, biarkan Allah yang menentukan." ucap Bu Ratna ketika menyambut tatapan Bu Anggit.
Ada rasa aneh ketika mendengar itu, karena Bu Ratna tidak kepikiran jika akan menikahkan anaknya. Dia hanya masih menikmati kebersamaannya dengan anaknya yang masih kecil-kecil. Namun, ada rasa bangga jika mereka bisa berbesan. Bagaimana tidak, tetangganya itu taat dalam beribadah. Dibuktikan dengan caranya mengasuh Rara yang hiperaktif namun, masih bisa belajar agama sejak dini.
****
Tahun berganti begitu cepatnya, hingga anak-anak mereka memasuki jenjang pendidikan SMP.
Bu Ratna jarang berkumpul lagi seperti dulu, karena kesibukannya. Sekarang, Bu Ratna bekerja di perusahaan yang di bangun suaminya.
Tidak dengan Jordy dan Rara, mereka makin dekat. Makan, minum bahkan belajar sering bersamaan.
Sama seperti hari ini, suara serak Jordy terdengar hingga kamar Rara yang berada diatas.
"Ra, sekolah enggak! Udah kesiangan!" teriak Jordy dari teras.
Bu Anggit sudah hapal, dan langsung membukakan pintu rumahnya.
"Setiap hari kesiangan!" ujarnya.
Jordy hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Kalian sudah besar-besar, ya. Ibu mau tanya sama kamu!" Ibu Anggit mengajak Jordy duduk. "Rara sudah punya pacar?" tanyanya.
Ditanya seperti itu, Jordy terdiam. Memikirkan sesuatu,
"Enggak ada, Bu. Aku setiap hari bareng dengan dia!" ucap Jordy polos.
"Syukurlah!" ucap, Bu Anggit lega.
"Kenapa emangnya, Bu?" tanya Jordy kepo.
"Enggak ada, kamu selalu jaga Rara, ya Nak." pinta Bu Anggit dengan mengacak-acak rambut Jordy.
"Hayoo! ngomongin Rara, ya!" Dari dalam rumah suara Rara sudah menggema.
"Ge'er," bantah Jordy.
Kemudian mereka berpamitan, untuk berangkat sekolah. Jarak sekolah cukup jauh, sekitar 15 menit dari rumah mereka.
Rara dan Jordy memakai sepeda untuk menempuh perjalanan, mereka. Canda riang menghiasi hari-hari mereka, meski selalu aja ada rasa kesal dan cemburu yang tidak mereka sadari.
***
Hari ini, hari kelulusan Jordy dan Rara. Namun, Bu Anggit dan Pak Gunawan tidak bisa mendampingi, karena orang tua atau kakek dari Jordy meninggal. Maka mereka berdua meminta tolong pada Pak Yunus untuk menjadi wali Jordy dan disanggupi tanpa embel-embel.
Jordy kesal, karena tidak diijinkan ikut orang tuanya. Dia menangis ketika pulang dari pengambilan ijazah. Pak Yunus tidak bisa membujuknya, bahkan Rara yang tiap hari bersamanya.
"Nyebelin!" ujar Rara ketika pulang dari rumah Jordy.
"Kenapa?" tanya ibunya, dari arah dapur.
"Jojo, enggak mau keluar! Katanya biar aja dia kelaparan. Padahal, Rara tau, dia itu enggak bisa nahan lapar. Liat aja bodynya!" gerutu Rara pada ibunya.
"Biarkan saja dulu, nanti ibu yang bujuk!" ujar Bu Anggit.
"Mungkin, jika ibu yang bujuknya dia mau, dia'kan anak ibu!" Kekesalan makin terpancar dari gadis yang sudah mulai nampak kecantikannya itu.
"Anak ibu jealuos," goda Bu Anggit.
"Ibu, sekarang sok Inggris, Yah!" teriaknya mendekati ayahnya yang sedang membaca koran.
Rara bersandar dipundak ayahnya, dan disambut dengan ayahnya. Kepalanya diusap-usap oleh ayahnya, membuat Rara merasa nyaman.
"Ibu, sekarang makin pintar. Kamu harus belajar lebih giat!" bela ayahnya.
"Ibu sudah selesai memasak, ayo kita makan!" panggil Bu Anggit dari meja makan.
"Jordy?" tanya Rara.
Bu Anggit menatap anaknya.
"Biarkan saja. Ibu malas ke sana, nanti ada yang cemburu!" goda ibunya namun, Rara tidak tahu jika ibunya hanya bercanda.
"Kasian, Bu." ujar Rara.
Dengan sigap, dia mengambil nasi, sayur dan lauknya. Lalu, berlari ke rumah Jordy.
Ibu dan ayahnya hanya bisa menghembuskan nafas berat, melihat kelakuan putri semata wayangnya.
Rara mengetuk pintu rumah Jordy dengan kuat."Jo ... Jo! Buka!" Suara Rara terdengar hingga rumahnya."Ra, pelan sedikit, Nak!" Tegur Ayahnya."Iya, Yah."Rara, kembali mengetuk pintu rumah Jordy. Dengan sabar, dia menunggu pintu dihadapannya terbuka."Nak, sini!" panggil ibunya."Ya, Bu." Rara berlari mendekat."Kamu makan dulu, biar ibu saja yang menemui Jordy." ujar ibunya.Rara memberikan piring yang dibawanya sejak tadi. Cukup lama dia di teras namun, terabaikan oleh keegoisan, Jordy. Rara menghembuskan nafas berat, kemudian masuk ke dalam rumah. Sedangkan ibunya mendatangi rumah Jordy yang terhalang oleh jalan yang terbentang di antara rumah mereka.Jordy langsung membuka pintu, ketika ibu Rara yang datang. Gadis tomboy yang cantik itu tidak masuk ke dalam rumahnya untuk makan, melainkan mengintip melalui jendela yang ditutupi hordeng."Dasar menyebalkan!" umpatnya.Rara, berlari dan meninju len
"Kan ini jalur ke sekolah!" Dengan santai, Jordy berucap.Rara melipat tangannya di depan dadanya, kesal dengan kelakuan sahabatnya itu.Jordy melihat tingkah, Rara yang sedang ngambek hanya tersenyum sambil melirik.Ketika sampai pada gang sekolahan, Jordy meminta supir angkot untuk berhenti.Rara dan Jordy turun,"Aku aja yang bayar!" Jordy mengambil uang sakunya di dalam tas.Namun, Jordy kalah cepat.Rara sudah membayar dan meninggalkannya sendirian.Rara berjalan gontai, dia sedang berpikir. Jika nama yang dilihatnya itu benar-benar nama, Jordy. Rara menghembuskan napas dalam-dalam setelah berusaha menghindar, ternyata masih saja satu sekolahan."Kita satu sekolahan lagi!" Jordy sudah berada di samping Rara dan godaan, Jordy justru membuatnya kesal.Rara menghentakkan kakinya, dan menjauh dari, Jordy. Berharap jika, Jordy menyingkir darinya.Sayangnya, Jordy mengikutinya dari belakang.&
Setiap hari mereka habiskan dengan bercanda dan tertawa, tanpa melepaskan pegangan tangan mereka disaat mereka sedang bersama. Gunjingan para tetangga sampai di telinga, Bu Ratna. Namun, dia tidak bertindak. Bu Ratna berpikir jika, Jordy dan Rara menganggap hubungan mereka seperti kakak adik. Lagi pula tiga hari ke depan mereka akan pindah."Jo, kamu pacaran dengan, Rara?" tegur, Bu Ratna ketika, Jordy baru pulang sekolah.Jordy menatap, ibunya lama."Enggak, Bu. Jordy tetap seperti biasa, hanya saja--," Jordy menghentikan, ucapanya.Ibunya menarik tangan, Jordy untuk duduk. Menanti kelanjutan cerita dari anaknya."Terus, hanya apa?" tanya, Bu Ratna kepo."Sebentar lagi, Kita'kan pindah. Jo, ingin mem
Ayah, ibu, kakak juga kakak iparnya menduga, jika yang sedang berbicara dengan, Jordy adalah pacarnya. Semua mereka tebak dari cara, Jordy menerima panggilan itu. Namun, semua terdiam ketika mengingat nama yang di sebut, Jordy. Mereka berempat saling pandang, dan menggelengkan kepala masing-masing. Menolak apa yang ada dipikiran, mereka."Mama, Papa, Kak Mey, Kak Iqbal! Kalian mau apa?" tanya, Jordy ketika membuka pintu kamarnya.Empat orang dewasa terjatuh ketika, mereka berusaha mencuri dengar percakapan, Jordy. Membuat empunya kamar kesal dan mereka hanya bisa tersenyum kaku."Kalian pasti mau nguping, ya? Mau ngapain sih!" tanya, Jordy gemas.Dari ke-empat orang itu, tidak ada satupun yang menjawab dengan benar. Alasan yang diutarakan semuanya, asal-asalan.
Jordy langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dan segera mendapatkan pertolongan dari team dokter.Mengetahui Jordy pingsan setelah menenggak kopi yang diperuntukkan Rama. Rama langsung meminta ruangan diamankan dan tidak boleh ada yang masuk sebelum hasil pemeriksaan dokter keluar.Setelah hasil pemeriksaan keluar, Rama melapor pada polisi. Karena terindikasi ada racun yang mematikan. Jordy beruntung, karena langsung menegak habis kopi itu. Apabila di sesap beberapa kali nyawanya dipastikan akan langsung hilang di tempat.CCTV diperiksa, OB dan security pun diperiksa. Membuat satu perusahaan heboh, saling curiga dan menduga-duga. Siapakah yang tega melakukan itu.Keadaan Jordy makin kritis, karena sisa racun masih ada di dalam lambungnya. Papa dan mama Jordy sangat khawatir akan ko
"Kamu enggak apa-apa, Nak?" tanya Bu Anggit yang bergegas mendekati anaknya. Rara hanya tersenyum ringan, dan menggelengkan kepalanya. Lalu berusaha untuk berdiri. "Maaf, saya yang salah. Tadi saya terburu-buru, karena ada berkas yang tertinggal. Apa ada yang luka Mbak?" tanya lelaki di depan mereka. "Oh, ya maaf. Perkenalkan nama saya Bagas Aripin." Lelaki itu memperkenalkan diri. Pak Yunus memperhatikan lelaki muda di depannya, dengan pandangan teduh. "Mas dokter?" tanya Pak Yunus. Bagas hanya tersenyum lebar sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Saat ingin bertanya, seorang suster menghampiri Bagas. "Maaf dok, ini berkasnya. Maaf saya teledor." ujar suster itu dengan rasa bersalah. "Enggak apa-apa, Sus. Terimakasih, ya." Bagas tersenyum, dan suster itu pergi setelah mengucapkan salam. "Bu, Yah. Ayo!" ajak Rara. "Bapak mau kemana?" tanya Bagas ketika keluarga Pak Yunus hendak pergi "Mau pu
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
Sesampainya di kampus, Rara uring-uringan tidak henti. Dia akan diam ketika sedang memegangi bibirnya yang sudah tidak peraw*n lagi.Tantri yang melihat sahabatnya itu kesal, menghampirinya."Kenapa, apakah kepalamu sakit lagi?" Tantri khawatir mengenai keadaan Rara."Bukan hanya kepala, tapi semuanya." Rara tertunduk lesu, dan hanya membolak-balikan bukunya."Kamu mau minum apa?" Tantri menjauh ketika tanyanya tidak di jawab.Tantri tahu, jika Rara bukan sakit yang sebenarnya. Dia hanya bingung dengan perasaannya."Minum dulu, biar enggak galau." Tantri menyodorkan segelas minuman pada sahabatnya yang sedang tertunduk lesu."Tri, dugaanmu benar. Bagas melamarku, tadi dia berani menciumku!" Rara menutup wajahnya dan terdengar isakan."Uhuk! Uhuk!" Tantri tersedak jus yang baru saja diminumnya. "Ternyata, agresif juga tu duda!" Kali ini, Tantri tertawa."Cinta tidak bisa berpaling
Bu Fitri hanya bisa mengomel melihat kelakuan anaknya yang berubah drastis ketika bersama Rara. Awalnya dia berharap jika Rara bisa menggantikan Sinta, seperti keinginan almarhumah menantunya. Di sofa depan, Pak Arief hanya mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang memegang sapu. Angannya melayang ke masa lalu, yang belum baik dan ketika itu Bagas masih kecil. Betapa bandelnya Bagas saat itu, membuat ibunya selalu naik darah. "Pa, gimana itu?" Bu Fitri bertanya pada suaminya yang sedang berpura-pura membaca koran. "Biarkan saja dulu, jika mereka jodoh dan bisa menikah. Lagi pula, Rara senang merawat Abimanyu." Pak Arief meletakkan korannya, dan menatap istrinya. "Mah, kita pergi ke Malang, yuk!" ajak Pak Arief. Bu Fitri tidak menjawab, dia seakan-akan memikirkan sesuatu dari ajakan suaminya. "Hmmm apa hanya kita berdua?" tanya Bu Fitri kemudian. "Gimana kalau kita ajak Pak Yunus dan Bu Anggit." t
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah