~ Rumah sakit, Jakarta. ~
Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya.
"Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna.
"Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy.
"Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy.
"Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna.
"Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.
Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang.
"Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya.
"Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya.
"Entahlah ada yang beda dengan sikapnya. Tadi, setelah keluarga Rara masuk ke sini, kamu kejang. Rara sampai ketakutan, bukan Rara aja sih. Semua yang ada di ruangan takut. Terus mereka pamit, karena dokter sudah menunggu mereka. Keajaiban datang setelah mereka pergi, kamu mulai sadar dan menunjukan kemajuan yang baik. Racun di lambung kamu sudah di keluarkan, hanya saja masih ada sisa-sisanya." terang Bu Ratna, sambil mengusap kepala anak kesayangannya.
Bu Ratna meminta Jordy untuk beristirahat, agar kesehatannya cepat pulih. Bu Ratna membenarkan selimut yang menutupi tubuh Jordy.
Jordy menggenggam erat cincin yang dia berikan pada Rara, bagaimana cincin itu bisa di tangannya. Sedangkan ibunya saja tidak tau akan hal itu. Apakah Rara benar-benar membencinya, sampai-sampai kenangan terakhir darinya di kembalikan di waktu yang tidak tepat. Rasa sakit yang di alami saat ini tak seberapa, dibandingkan dengan perlakuan Rara yang menurutnya sangat mengecewakan.
~ Kediaman Pak Gunawan, jakarta. ~
Jordy memaksa kedua orangtuanya untuk membawanya pulang setelah seminggu di rawat di rumah sakit, dan mereka pun tidak bisa menolaknya karena keadaan Jordy mulai membaik.
Kini Jordy sudah ada di kamarnya, meski tangannya masih terpasang infusan. Dia mengambil diary milik Rara dan membaca berulang. Ada rasa yang menyayat hati ketika dia melihat cincin yang di kembalikan oleh Rara. 'Apakah dia tidak bisa menungguku!' Jordy menutup diary itu dan meletakannya di kotak spesial, sedangkan cincin Rara, dia jadikan liontin di kalungnya.
Sebulan berlalu, kesembuhan Jordy sudah 85%. Dia kembali ke aktivitasnya, meski dalam pengawasan ibunya. Meski risih, Jordy pasrah dengan perlakuan ibunya. Hal paling menyebalkan, dia baru tau kalau kak Melani sudah melahirkan seorang jagoan. Jordy sempat protes, karena dia tidak dikabari. Namun, dia terpaksa memahami keadaan waktu itu. Saat ini, dia bisa bermain dengan keponakannya yang lucu.
~ Kediaman Kak Melani. ~
"Namanya siapa, Kak?" tanya Jordy ketika dia berkunjung ke rumah kakaknya. Saat ini, Kak Melani menempati rumah baru mereka setelah diperbolehkan pulang dari rumah sakit.
"Fando!" jawab Melani singkat.
"Cuma itu?" Jordy mulai kepo.
Kak Melani menatap adiknya, "Kakak lagi makan, nanti saja diajak ngobrolnya! Kamu tu enggak tau kalau busui itu butuh makan yang banyak!" oceh Melani.
"Pantas saja, Kakak makin--" Jordy mulai mengejek kak Melani dengan gerakan yang pastinya memancing amarah kak Melani.
Namun, Melani hanya mencekik dan melanjutkan makannya. Selesai makan, dia berdiri di depan cermin dan mematut dirinya yang sudah sangat melebar.
"Awas! Kak Iqbal enggak suka lagi dengan Kak Melani!" Jordy puas melihat tampang Kakaknya yang berubah memerah.
"Heh, adik durjana--!" Pekik Kak Melani.
Mendengar keributan, suami Kak Melani masuk untuk melerai kakak beradik yang masih sama-sama sakit di bagian perutnya.
"Kalian kayak anak kecil aja, liat perut kalian yang belum sembuh!" Kak Iqbal mulai marah.
"Mas, masa dia bilang kalau Mas Iqbal mau--, karena aku--" ucapan Melani ambigu namun, kak Iqbal faham maksud istrinya.
Kak Iqbal menarik tangan istrinya dan mengajaknya duduk di ranjang mereka.
"Apapun kamu, kamu tetap istri tercantik di dunia!" Rayu Kak Iqbal, tentu saja membuat Jordy pura-pura mual. Apalagi melihat kak Melani bergelayut manja pada suaminya.
"Dari pada jadi kambing congek, mending kerja!" Jordy melewati pasangan yang sedang so sweet itu. "Nyesel datang ke sini!" keluhnya dan di balas dengan lemparan bantal oleh Kak Melani.
Jordy hanya terkikik, melihat kakaknya yang selalu terpancing oleh kejahilannya.
"Kata mama, Rara datang menjenguk namun, keadaannya sangat berbeda. Kakak tidak melihatnya, katanya hanya sebentar." Kak Melani mendekati Jordy yang sedang menatap televisi dengan tatapan kosong.
"Katanya!" Jordy menjawab dengan suara datar.
"Kamu kenapa? Seperti tidak bersemangat!" Kak Melani duduk didekat adiknya yang masih termenung.
"Dia mengembalikan ini!" Jordy mengeluarkan kalung yang berada di balik bajunya.
"Cincin?" Kepo Kak Melani.
"Hmmm,"
"Mungkin kekecewaannya terlalu besar padamu, hati wanita itu rapuh. Coba kamu cari tau tentang masalah ini, jangan hanya menerima tanpa penjelasan." Kak Melani mencoba menenangkan adiknya.
"Iya!" Jordy memilih tidak menjawab panjang lebar, dia masih kecewa dengan sikap Rara.
Lalu, Jordy teringat Tantri. Sahabat dekat Rara saat ini. Ditimang-timang, rasa ingin menghubunginya. Jordy mengambil ponselnya dan mengirimkan pesan pada teman lamanya itu, berharap dia dapat penjelasan mengapa Rara melakukan hal ini. Jordy tidak terlalu menunggu kabar dari Tantri, karena dia pikir Tantri tidak menyukainya, entah karena apa.
Kak Melani meninggalkan Jordy yang masih saja termenung, karena anaknya terus menangis. Sepertinya membutuhkan ASI-nya. Kak Melani meminta suaminya untuk berbincang dengan adiknya.
Begitu Iqbal keluar kamar, dia tidak melihat Jordy yang katanya duduk di depan televisi. Dengan sedikit mengomel, Iqbal mencari Jordy di tanam. Ternyata benar dugaannya, Jordy sedang menerima telepon dari seseorang. Iqbal pun kembali ke dalam Kamarnya dan menjelaskan pada istrinya, Iqbal tidak ingin istrinya stress karena memikirkan hal yang tidak dia ketahui.
Sementara itu, Jordy menerima panggilan dari Tantri. Awalnya dia pikir jika Tantri akan mengabaikan pesannya. Tantri memberi tahu apa yang dia ketahui tentang kondisi Rara saat ini, termasuk kedekatan Rara dengan seorang dokter muda. Hal itu memicu kecemburuan Jordy, yang tida menyangka jika Rara benar-benar akan meninggalkannya.
Jordy : Apakah Rara bisa sembuh?
Tantri : Entahlah, kita doakan saja yang terbaik. Yang pasti, hanya ingatan tentangmu dan saat ini yang dia ingat. Di kampus, dia berusaha senormal mungkin. Aku hanya bisa menemaninya saja!
Setelah puas mendengar penjelasan Tantri, Jordy memutuskan panggilan telepon. Kembali termenung, mencerna kata-kata Tantri dan di memutuskan untuk pulang.
~Kediaman Pak Gunawan, Jakarta.~
Ketika mobil Jordy memasuki halam rumahnya, di sana sudah terparkir mobil Fortuner SUV milik Rama. 'Apakah ada yang serius, dihari libur pun Rama datang!'
Jordy langsung memarkirkan mobilnya, tak lama datang mobil milik Kak Iqbal. Mobilnya terparkir apik di samping mobil Jordy.
"Loh, kok enggak bilang mau kesini, Kak?" Jordy penasaran dengan tingkah kakaknya.
"Tadi kakak terima telepon dari papa, sewaktu kamu masih mesra-mesraan di telepon!" ucapan Kak Iqbal membuat Jordy bingung, lalu menyadari jika tadi dirinya menerima panggilan dari Tantri dan menjauh ke taman. "Sepertinya, sebentar lagi akan ada pesta nih!" Goda Kak Iqbal.
Jordy hanya mencebik kesal dengan godaan kakak iparnya itu. 'Yang ada masih lamaaa!'
Mereka berdua berjalan beriringan, masuk ke dalam rumah. Diiringi godaan yang membuat Jordy kesal namun, memilih diam.
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N
Bu Fitri hanya bisa mengomel melihat kelakuan anaknya yang berubah drastis ketika bersama Rara. Awalnya dia berharap jika Rara bisa menggantikan Sinta, seperti keinginan almarhumah menantunya. Di sofa depan, Pak Arief hanya mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang memegang sapu. Angannya melayang ke masa lalu, yang belum baik dan ketika itu Bagas masih kecil. Betapa bandelnya Bagas saat itu, membuat ibunya selalu naik darah. "Pa, gimana itu?" Bu Fitri bertanya pada suaminya yang sedang berpura-pura membaca koran. "Biarkan saja dulu, jika mereka jodoh dan bisa menikah. Lagi pula, Rara senang merawat Abimanyu." Pak Arief meletakkan korannya, dan menatap istrinya. "Mah, kita pergi ke Malang, yuk!" ajak Pak Arief. Bu Fitri tidak menjawab, dia seakan-akan memikirkan sesuatu dari ajakan suaminya. "Hmmm apa hanya kita berdua?" tanya Bu Fitri kemudian. "Gimana kalau kita ajak Pak Yunus dan Bu Anggit." t
Sesampainya di kampus, Rara uring-uringan tidak henti. Dia akan diam ketika sedang memegangi bibirnya yang sudah tidak peraw*n lagi.Tantri yang melihat sahabatnya itu kesal, menghampirinya."Kenapa, apakah kepalamu sakit lagi?" Tantri khawatir mengenai keadaan Rara."Bukan hanya kepala, tapi semuanya." Rara tertunduk lesu, dan hanya membolak-balikan bukunya."Kamu mau minum apa?" Tantri menjauh ketika tanyanya tidak di jawab.Tantri tahu, jika Rara bukan sakit yang sebenarnya. Dia hanya bingung dengan perasaannya."Minum dulu, biar enggak galau." Tantri menyodorkan segelas minuman pada sahabatnya yang sedang tertunduk lesu."Tri, dugaanmu benar. Bagas melamarku, tadi dia berani menciumku!" Rara menutup wajahnya dan terdengar isakan."Uhuk! Uhuk!" Tantri tersedak jus yang baru saja diminumnya. "Ternyata, agresif juga tu duda!" Kali ini, Tantri tertawa."Cinta tidak bisa berpaling