Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.
Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil. Melihat beberapa gambar yang diterimanya.
Wibowo : Saat akan pergi bekerja, dan motor kehabisan bensin. Mengharuskanku ke SPBU terdekat dan ternyata, aku melihat Rara dan keluarganya bersama seseorang. Mereka terlihat sangat akrab, dan saling bercanda.
Pesan tambahan dari Wibowo, membuat hati Jordi meradang.
Jordi : Apakah kamu tau siapa dia?
Jordi menyimpan beberapa poto Rara ke dalam galerinya, dan keluar dari aplikasi itu. Hatinya cukup terbakar karena cemburu. 'Apakah karena pria itu!' Jordi menduga-duga.
Kondisinya yang belum pulih, Jordi memilih musik dan menatap matanya. mimpi indah menyambutnya.
~ Kediaman keluarga Pak Yunus, Semarang. ~
"Mampir dulu, Nak!" Pak Yunus memberikan tawaran.
"Lain kali saja, Pak. Istri saya sepertinya butuh bantuan." Tolak Bagas.
Pak Yunus tidak dapat dipaksa lagi, dia mengucapkan banyak terima kasih karena sudah di beri tumpangan secara gratis dan membuat senyum lebar di wajah Bagas.
Sementara itu, Rara langsung masuk ke dalam rumahnya. Sakit kepala yang rasanya, cukup membuat semua khawatir termasuk Bagas. Namun, Bagas tidak dapat menawarkan jasanya untuk memeriksa Rara, karena istrinya pun membutuhkan dirinya.
Bagas meninggalkan keluarga yang membuat dirinya sangat nyaman, kembali di kehidupannya sebelum bertemu Rara dan menepis rasa yang menembus rasa cintanya pada sang istri.
Rara yang telah terjadi di kasurnya, menagis tersedu-sedu setelah ibunya keluar untuk berterima kasih pada Bagas. Rasa sesak di dada saat dia mengingat Jordi yang terkulai tak berdaya. Tak dapat di pungkiri, rasa cintanya terlalu dalam pada lelaki itu hingga dia masih bermain-main di dalam memori Rara.
"Nak, istirahat ya!" Terlihat di wajah yang makin menua itu.
"Bu, Rara boleh peluk ibu enggak?" Pertanyaan Rara langsung di sambut dengan pelukan sang Ibu.
"Rara rindu, Bu." Bisik Rara tepat di telinga ibunya.
Ibunya hanya bisa mengelus punggung anaknya itu, dia menahan bulir-bulir hangat di kedua netranya agar tidak meluncur di hadapan Rara.
"Ibu mau buat susu untuk kamu dulu," Bu Anggit mencoba menghadapi anaknya, karena matanya semakin panas.
"Iya, Rara istirahat ya, Bu." Rara langsung menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhnya.
Bu Anggit keluar dengan langkah yang berat, sekali lagi dia memandangi sebelum keluar dari kamar. Tangisnya pecah seketika, setelah sampai di dapur. Menahan sesak di da**nya. Dengan menahan isaknya, Bu Anggit membuatkan susu khusus untuk Rara dan kembali ke kamar putrinya yang menahan rasa sakit.
"Nak, minum dulu!" Bu Anggit menyodorkan segelas susu hangat, dan langsung di sambut oleh Rara, kemudian di minumnya hingga tandas.
Bu Anggit tau jika Rara menyembunyikan rasa sakitnya, terlihat dari dahinya yang dan tubuhnya yang terasa sakit.
"Istirahatlah dulu! Nanti kita ke rumah sakit!" Bu Anggit Rara, setelah mengangguk dan kembali ke dapur dengan membawa gelas kosong.
Tatapan Bu Anggit kosong, lihat menggumamkan nama anaknya berkali-kali. Tanpa sadar, seseorang memperhatikannya.
"Bu, kita jalan dengan ikhlas, ya. InsyaAllah mendapatkan balasan yang baik!" Pak Yunus berusaha istrinya.
Pak Yunus paham keadaan istrinya yang meningkat setelah Rara mengalami kecelakaan, wajar saja terjadi karena Rara tidak mengingatnya sebagai ibunya, mengingat Jordy yang tidak ada hubungan darah dengan Rara.
Pak Yunus hanya bisa menghela napas panjang, dan berlalu. Meninggalkan istri yang diungkapkan dalam semata wayang mereka. Baru saja Pak Yunus hendak duduk, suara mengejutkannya. Langkahnya yang panjang, segera sampai di kamar anaknya. Betapa sakitnya hati, melihat Rara mengerang.
Pak Yunus segera keluar rumah dan buka mobil orang tuanya, lalu kembali lagi ke dalam.
"Ayo, Bu. Kita bawa ke rumah sakit!" Pak Yunus membawa hasil yang tak berdaya dengan tenaganya, kemudian memasukannya ke dalam mobil.
Perasaan kedua pasangan tua itu campur aduk, sedih melihat anak mereka yang menahan kesedihannya.
~ Rumah Sakit Kariadi, Semarang. ~
Pak Yunus mencari kursi roda, dan membawa Rara. Sampai di pintu masuk, mereka menabrak seseorang hingga jatuh terduduk.
"Maaf ... maaf, kami terburu-buru," Pak Yunus berusaha membantu orang yang dia tabrak untuk berdiri. "Bagas!" sapa Pak Yunus, ketika melihat wajah orang yang di tabraknya.
"Siapa yang sakit, Pak?" tanya bagas khawatir.
Pandangan Bagas beralih ke Rara yang terduduk lemah sembari memegangi memegangnya.
"Ayo, saya periksa!" ajak Bagas, dia yang mendorong kursi roda Rara, dan membawanya ke ruangan kerja yang baru.
Pak Yunus dan Bu Anggit diam, mereka lupa jika bagas adalah seorang dokter.
"Mari, Pak, Bu!" ajakan Bagas, membuyarkan lamunan mereka.
Pak Yunus dan Bu Anggit saling berpandangan, dan melangkah mengikuti Bagas.
"Siapa yang menangani Rara, sebelum ini?" tanya Bagas, setelah Rara berbaring di brankar pasien.
"Dokter Arief Rahman!" sahut Bu Anggit.
Bagas mengeluarkan dua orang di hargai, tanpa berkedip. Membuat yang di pandang menjadi salah tingkah. keunggulan sesuatu yang, Bagas memgalihkan pandangannya pada ponsel yang ada di nakasnya.
Bagas : Assalamualaikum, Pa. Bagas mau tanya tentang pasien yang bernama Rara, dia mengalami kece---.
Bagas diam, sepertinya orang yang di teleponnya menyela ucapannya. Cukup lama Bagas menempelkan ponselnya di telinga tanpa mengeluarkan satu patah katapun, hanya mengangguk samar.
Bagas : Baik, Pa. Wassalamu'alaikum warahmatullahi, terimakasih Pa, sehat-sehat ya.
Bagas kemudian mematikan ponselnya dan meletakan kembali di tempatnya semula. Memandang kedua orang tua yang masih memandangnya penuh harap.
"Enggak usah khawatir Pak, Bu. Rara baik-baik saja, itu hanya efek samping dari kecelakaannya kemarin. Saya periksa dulu, ya." Bagas mendekati brankar di mana Rara di baringkan.
'Loh!' Bagas, terperangah memandang Rara yang terlelap. Diapun mulai mengerti, dengan keadaan Rara.
"Saran saya, lebih baik bapak dan ibu mencari tempat tinggal lain. Agar Rara, bisa mengobati luka yang menyebabkan trauma. Ini terbukti dari lelapnya Rara tertidur di sini."
Pak Yunus menggenggam tangan istrinya, menguatkannya dalam kesedihan.
"Maaf, jika kalian tidak keberatan, bisa tinggal di sebelah rumah saya." tawar Bagas.
Pak Yunus memandang Bagas penuh haru, dan mengucapkan terimakasih berkali-kali, karena kebaikannya. Pak Yunus melihat ke arah istrinya, dan disambut dengan anggukan.
"Besok, akan saya bantu untuk pindahan. Enggak usah bawa barang, karena di sana sudah lengkap." Bagas tersenyum, karena dia bisa melihat Rara setiap hari. "Untuk saat ini, biarkan Rara tidur di sini. Jika sudah bangun, akan saya antarkan." usul Bagas kemudian.
Berat rasanya meninggalkan anak semata wayangnya sendirian dan di temani orang asing. Bu Anggit takut, jika anak mereka kenapa-kenapa.
Melihat kekhawatiran kedua orang tua di hadapannya, Bagas berkata, "InsyaAllah, Rara aman oak, Bu dan say tidak akan berbuat yang tidak-tidak!" Mendengar ucapan Bagas, Bu Anggit merasa malu.
"Baiklah, Nak. Kami percayakan Rara padamu!" ujar Pak Yunus.
Pak Yunus dan Bu Anggit, beranjak pergi dengan menyimpan kegundahan mereka. Bagas yang tadinya akan pulang, memgurungkan niatnya. Kini dia duduk memandang wajah polos Rara, yang tenang dalam tidurnya. Desiran hebat, memenuhi hatinya. 'Ah, kenapa cinta datang di saat yang tidak tepat!'
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N
Bu Fitri hanya bisa mengomel melihat kelakuan anaknya yang berubah drastis ketika bersama Rara. Awalnya dia berharap jika Rara bisa menggantikan Sinta, seperti keinginan almarhumah menantunya. Di sofa depan, Pak Arief hanya mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang memegang sapu. Angannya melayang ke masa lalu, yang belum baik dan ketika itu Bagas masih kecil. Betapa bandelnya Bagas saat itu, membuat ibunya selalu naik darah. "Pa, gimana itu?" Bu Fitri bertanya pada suaminya yang sedang berpura-pura membaca koran. "Biarkan saja dulu, jika mereka jodoh dan bisa menikah. Lagi pula, Rara senang merawat Abimanyu." Pak Arief meletakkan korannya, dan menatap istrinya. "Mah, kita pergi ke Malang, yuk!" ajak Pak Arief. Bu Fitri tidak menjawab, dia seakan-akan memikirkan sesuatu dari ajakan suaminya. "Hmmm apa hanya kita berdua?" tanya Bu Fitri kemudian. "Gimana kalau kita ajak Pak Yunus dan Bu Anggit." t
Sesampainya di kampus, Rara uring-uringan tidak henti. Dia akan diam ketika sedang memegangi bibirnya yang sudah tidak peraw*n lagi.Tantri yang melihat sahabatnya itu kesal, menghampirinya."Kenapa, apakah kepalamu sakit lagi?" Tantri khawatir mengenai keadaan Rara."Bukan hanya kepala, tapi semuanya." Rara tertunduk lesu, dan hanya membolak-balikan bukunya."Kamu mau minum apa?" Tantri menjauh ketika tanyanya tidak di jawab.Tantri tahu, jika Rara bukan sakit yang sebenarnya. Dia hanya bingung dengan perasaannya."Minum dulu, biar enggak galau." Tantri menyodorkan segelas minuman pada sahabatnya yang sedang tertunduk lesu."Tri, dugaanmu benar. Bagas melamarku, tadi dia berani menciumku!" Rara menutup wajahnya dan terdengar isakan."Uhuk! Uhuk!" Tantri tersedak jus yang baru saja diminumnya. "Ternyata, agresif juga tu duda!" Kali ini, Tantri tertawa."Cinta tidak bisa berpaling
~ Prumahan Permata Hati, Semarang. ~Bu Ratna merasakan sakit yang teramat sangat karena kontraksi yang dialaminya."Pa, Sakiit!" teriak Bu Ratna.Pak Gunawan tergopoh-gopoh menghampiri istrinya dengan menggendong anak pertama mereka, Melani. Terlihat raut panik di wajahnya yang bersahaja."Sebentar, ya Mah!" Pak Gunawan langsung meninggalkan istrinya menuju rumah tetangganya.Diketuknya pintu dengan tidak sabaran. Dia ingin menanyakan dimana letak rumah sakit terdekat. Pak Gunawan, cukup panik hingga kebingungan."Iya, sebentar!" terdengar suara balas dari dalam rumah.Pak Gunawan menanti dengan gelisah.Pintu rumah terbuka lebar dan m