Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah.
"Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah.
Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka.
"Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara.
Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka.
"Mari!" ajak Bagas.
Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini.
~ Kediama
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N
Bu Fitri hanya bisa mengomel melihat kelakuan anaknya yang berubah drastis ketika bersama Rara. Awalnya dia berharap jika Rara bisa menggantikan Sinta, seperti keinginan almarhumah menantunya. Di sofa depan, Pak Arief hanya mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang memegang sapu. Angannya melayang ke masa lalu, yang belum baik dan ketika itu Bagas masih kecil. Betapa bandelnya Bagas saat itu, membuat ibunya selalu naik darah. "Pa, gimana itu?" Bu Fitri bertanya pada suaminya yang sedang berpura-pura membaca koran. "Biarkan saja dulu, jika mereka jodoh dan bisa menikah. Lagi pula, Rara senang merawat Abimanyu." Pak Arief meletakkan korannya, dan menatap istrinya. "Mah, kita pergi ke Malang, yuk!" ajak Pak Arief. Bu Fitri tidak menjawab, dia seakan-akan memikirkan sesuatu dari ajakan suaminya. "Hmmm apa hanya kita berdua?" tanya Bu Fitri kemudian. "Gimana kalau kita ajak Pak Yunus dan Bu Anggit." t
Sesampainya di kampus, Rara uring-uringan tidak henti. Dia akan diam ketika sedang memegangi bibirnya yang sudah tidak peraw*n lagi.Tantri yang melihat sahabatnya itu kesal, menghampirinya."Kenapa, apakah kepalamu sakit lagi?" Tantri khawatir mengenai keadaan Rara."Bukan hanya kepala, tapi semuanya." Rara tertunduk lesu, dan hanya membolak-balikan bukunya."Kamu mau minum apa?" Tantri menjauh ketika tanyanya tidak di jawab.Tantri tahu, jika Rara bukan sakit yang sebenarnya. Dia hanya bingung dengan perasaannya."Minum dulu, biar enggak galau." Tantri menyodorkan segelas minuman pada sahabatnya yang sedang tertunduk lesu."Tri, dugaanmu benar. Bagas melamarku, tadi dia berani menciumku!" Rara menutup wajahnya dan terdengar isakan."Uhuk! Uhuk!" Tantri tersedak jus yang baru saja diminumnya. "Ternyata, agresif juga tu duda!" Kali ini, Tantri tertawa."Cinta tidak bisa berpaling
~ Prumahan Permata Hati, Semarang. ~Bu Ratna merasakan sakit yang teramat sangat karena kontraksi yang dialaminya."Pa, Sakiit!" teriak Bu Ratna.Pak Gunawan tergopoh-gopoh menghampiri istrinya dengan menggendong anak pertama mereka, Melani. Terlihat raut panik di wajahnya yang bersahaja."Sebentar, ya Mah!" Pak Gunawan langsung meninggalkan istrinya menuju rumah tetangganya.Diketuknya pintu dengan tidak sabaran. Dia ingin menanyakan dimana letak rumah sakit terdekat. Pak Gunawan, cukup panik hingga kebingungan."Iya, sebentar!" terdengar suara balas dari dalam rumah.Pak Gunawan menanti dengan gelisah.Pintu rumah terbuka lebar dan m
Rara mengetuk pintu rumah Jordy dengan kuat."Jo ... Jo! Buka!" Suara Rara terdengar hingga rumahnya."Ra, pelan sedikit, Nak!" Tegur Ayahnya."Iya, Yah."Rara, kembali mengetuk pintu rumah Jordy. Dengan sabar, dia menunggu pintu dihadapannya terbuka."Nak, sini!" panggil ibunya."Ya, Bu." Rara berlari mendekat."Kamu makan dulu, biar ibu saja yang menemui Jordy." ujar ibunya.Rara memberikan piring yang dibawanya sejak tadi. Cukup lama dia di teras namun, terabaikan oleh keegoisan, Jordy. Rara menghembuskan nafas berat, kemudian masuk ke dalam rumah. Sedangkan ibunya mendatangi rumah Jordy yang terhalang oleh jalan yang terbentang di antara rumah mereka.Jordy langsung membuka pintu, ketika ibu Rara yang datang. Gadis tomboy yang cantik itu tidak masuk ke dalam rumahnya untuk makan, melainkan mengintip melalui jendela yang ditutupi hordeng."Dasar menyebalkan!" umpatnya.Rara, berlari dan meninju len
"Kan ini jalur ke sekolah!" Dengan santai, Jordy berucap.Rara melipat tangannya di depan dadanya, kesal dengan kelakuan sahabatnya itu.Jordy melihat tingkah, Rara yang sedang ngambek hanya tersenyum sambil melirik.Ketika sampai pada gang sekolahan, Jordy meminta supir angkot untuk berhenti.Rara dan Jordy turun,"Aku aja yang bayar!" Jordy mengambil uang sakunya di dalam tas.Namun, Jordy kalah cepat.Rara sudah membayar dan meninggalkannya sendirian.Rara berjalan gontai, dia sedang berpikir. Jika nama yang dilihatnya itu benar-benar nama, Jordy. Rara menghembuskan napas dalam-dalam setelah berusaha menghindar, ternyata masih saja satu sekolahan."Kita satu sekolahan lagi!" Jordy sudah berada di samping Rara dan godaan, Jordy justru membuatnya kesal.Rara menghentakkan kakinya, dan menjauh dari, Jordy. Berharap jika, Jordy menyingkir darinya.Sayangnya, Jordy mengikutinya dari belakang.&