"Kan ini jalur ke sekolah!" Dengan santai, Jordy berucap.
Rara melipat tangannya di depan dadanya, kesal dengan kelakuan sahabatnya itu.
Jordy melihat tingkah, Rara yang sedang ngambek hanya tersenyum sambil melirik.
Ketika sampai pada gang sekolahan, Jordy meminta supir angkot untuk berhenti.
Rara dan Jordy turun,
"Aku aja yang bayar!" Jordy mengambil uang sakunya di dalam tas.
Namun, Jordy kalah cepat.
Rara sudah membayar dan meninggalkannya sendirian.
Rara berjalan gontai, dia sedang berpikir. Jika nama yang dilihatnya itu benar-benar nama, Jordy. Rara menghembuskan napas dalam-dalam setelah berusaha menghindar, ternyata masih saja satu sekolahan.
"Kita satu sekolahan lagi!" Jordy sudah berada di samping Rara dan godaan, Jordy justru membuatnya kesal.
Rara menghentakkan kakinya, dan menjauh dari, Jordy. Berharap jika, Jordy menyingkir darinya.Sayangnya, Jordy mengikutinya dari belakang.
"Kamu ke sana!" perintah, Rara ketika menyadari Jordy di belakangnya.
Jordy memonyongkan bibirnya, kesal dengan sahabatnya itu.
"Kamu kenapa sih!" Kesahnya, lalu Jordy menjauh.
Rara berhasil membuat, Jordy menjauhinya. Namun, hatinya berdenyut miris.
Bel berbunyi, dan mereka berkumpul menjadi satu di halaman sekolah. Rara mendapatkan teman baru, begitu pula dengan, Jordy.
Akhirnya, mereka menjalani semua tanpa bersama lagi. Bahkan kini mereka jarang sekali menyapa, setelah aktif pelajaran sekolah.
Kekhawatiran melanda orang tua mereka melihat tingkah kedua anaknya yang kini tidak akur lagi.
"Bu, mereka sedang bertengkarkah?" tanya, Bu Ratna ketika mereka sama-sama sedang menyiram tanaman.
"Mungkin, Bu. Saya juga heran, sudah tiga bulan mereka seperti ini semenjak masuk sekolah. Jika saya tanya, Rara tidak mengatakan apapun." timpal Bu Anggit.
"Tapi, kita enggak pernah dengar mereka ada masalah. Kalau di rumah, Jordy itu selalu nyanyi-nyayi seperti biasa. Aneh!" oceh, Bu Ratna.
"Iya, sama. Padahal ni ya, mereka satu sekolah. Astagfirullah al-azim!" Bu Anggit, menurut mulutnya sendiri.
Melihat tingkah, Bu Anggit, Bu Ratna tertawa.
"Kita jadi khilap ya, Bu. Gibahin anak!" celetuk, Bu Ratna sambil terkekeh.
Mereka berdua akhirnya tersipu malu dengan kelakuan mereka akibat permusuhan anak-anak. Obrolan mereka alihkan, ke menu masakan dan tercetus ide agar, Jordi dan Rara baikan.
Rencana pun disusun, dengan melibatkan suami-suami mereka. Sambil menunggu, mereka bercengkrama seperti biasanya. Selayaknya keluarga dan mereka cepat-cepat berpisah setelah diingatkan, jika jam sekolah anak mereka telah berakhir.
****
Rara dan Jordy pulang bersamaan namun, tidak saling tegur sapa.
Jordy meyumpal telinganya dengan headset yang terhubung dengan ponsel miliknya. Sedangkan, Rara memainkan bola yang dipegangnya. Ya, Rara hobi bermain basket. Hari ini dia absen bermain setelah, Jordy menyampaikan pesan ibunya.
Mereka sudah masuk ke dalam rumah masing-masing, dan bertemu dengan orang tua mereka lengkap. Awalnya mereka heran tetapi, orang tua mereka mampu memberikan alasan yang tepat. Sehingga anak mereka tidak tahu dan percaya begitu saja. Hanya, Melani yang senyum-senyum tidak jelas, karena mengetahui rencana kedua keluarga yang sudah lama bersahabat itu.
"Ma, Kak Mey aja!" tolak Jordi ketika ibunya meminta dia memberikan barang pada, Rara.
"Melani bukan, Mey!" bantah, Melani.
"Apa sih, Kak!" celetuk, Jordy.
Melani, memberikan pukulan pada pundak adiknya dan berlalu ke kamarnya.
"Iya-iya," Jordy menyambar totebag yang akan diberikan pada, Rara.
Jordy terpaksa, karena ibunya memasang wajah memelas, sebagai senjata.
"Assalamu'alaikum! Assalamu'alaikum!" Jordy, teriak memberikan salam.
Ibu dan Ayahnya Rara, diam di belakang. Mereka pura-pura tidak mendengar.
"Ibu, Ayah! Itu ada orang!" keluh, Rara ketika mendatangi kedua orang tuanya.
"Kamu buka ya, Nak. Tanggung, ini!" ucap, Ayahnya sambil menunjukkan paku di tangannya dan ibunya hanya menunjukan bahwa dia sedang membantu suaminya.
Kekesalan terpancar dari wajah putri mereka tapi, mereka menahan tawanya.
Rara menyahuti salam dari, Jordi.
"Waalaikumusalam! Ya, bentar!"
Gerbang pintu di buka dan, Rara terkejut melihat, Jordy datang membawa bingkisan ke rumahnya.
"Ini, dari mama!" Jorddy menyodorkan totebag itu pada, Rara.
"Buat siapa? Ibu atau Ayah?" tanya, Rara santai.
Jordy menggaruk kepalanya, karena dia lupa bertanya.
"Eh ada, Jordy. Sini, Nak. Ibu masak banyak, kamu kenapa enggak pernah main ke sini lagi? Apa ibu punya salah?" Ibunya Rara datang tiba-tiba dan menarik lengan baju, Jordy.
Sebenarnya, Jordy rindu masakan ibunya, Rara. Namun, dia harus menjaga gengsi di depan sahabatnya itu.
"Enggak apa-apa, Bu. Jordy sibuk les," jawab, Jordy dan dia menolak, makan bersama keluarga, Rara.
Namun, acara penolakannya gagal. Ibunya Rara memasang wajah memelas seperti ibunya membuat Jordy, mengikuti langkah mereka masuk ke dalam rumah.
Melihat senyum merekah di wajah ibunya, Rara sedikit kesal. Dia merasa tersaingi jika berdekatan dengan, Jordy. Sepanjang makan siang, ibu dan ayah Rara selalu berbincang dengan, Jordy.
"Oya, Ini untuk mama kamu, ya. Ibu, lupa!" ucap ibu Anggit.
Setelah selesai makan, Bu Anggita membungkus makanan untuk keluarga, Jordy. Sebenarnya, masakan yang mereka masak bersama untuk anak-anak tercinta mereka agar bisa berbaikan.
"Ra, kamu antar ini kerumah, Bu Ratna!" pinta ibunya.
"Loh kok, Rara. Kan, Jordy ada di sini!" bantah Rara.
"Ya, enggak baik. Lebih sopan, kalau kamu yang ngasih ke sana." rayu ibunya, akhirnya dituruti.
Rara mengambil rantang berisi makanan, dan berjalan berdampingan bersama, Jordy. Bersama-sama melangkah ke rumah, lelaki jangkung di sampingnya.
"Mah ada, Rara. Bawa titipan dari, Ibu!" teriak, Jordy.
Ibunya keluar dari kamar, bersama suaminya.
"Eh, sayang. Sini," Ibu Ratna memeluk, Rara. "Kok, enggak pernah main?" tanyanya kemudian.
Rara hanya memainkan rambutnya yang dia pangkas pendek dan memberikan senyuman uang menampilkan deretan giginya yang putih dan rapi, tanpa menjawab.
Bu Ratna meminta, Rara untuk duduk dan berbincang dengannya. Kemudian mengajak Rara, ke kamar Melani. Mendandaninya, layaknya putrinya sendiri. Melani menggoda ibunya untuk menukar, Rara dan Jordy. Namun, malah di pukul oleh Bu Ratna.
"Ajarin, adikmu sana!" usir Bu Ratna.
Lalu, Bu Ratna kembali fokus pada, Rara.
"Nah, Cantikkan," ujar Bu Ratna, setelah mengajak Rara berdiri didepan cermin.
Rara, tercengang melihat wajahnya yang ada di cermin. Sungguh sangat berbeda dengan dirinya yang tadi. Rara, berkali-kali memutar tubuhnya, kemudian mengembangkan rok yang dipakainya.
"Cantik, Bu." ujarnya malu.
Bu Ratna hanya tersenyum. Kemudian dia melihat kearah pintu, Bu Ratna tau pasti jika tadi Jordy berdiri di sana memperhatikan, Rara.
"Ya udah Bu, Rara pulang dulu," Rara pamit sembari melepas ikat rambutnya dan rok yang dia kenakan.
"Eeh, jangan! kamu cantik begini, untuk kamu aja!" Bu Ratna mencegah, Rara melepaskan barang yang di pakaikan olehnya.
"Makasih, Bu." ucapnya malu-malu.
Bu Ratna mengantar, Rara keluar dari kamar Melani.
"Kak bantuin ada, PR! Aku enggak ngerti, nih!" keluh Jordy, ketika Rara melewati kamarnya.
Rara berhenti dan melongok ke kamar, Jordy. Dia tersenyum ketika, Jordy di cubit oleh kakaknya.
"Aku enggak mau diajarin, Kakak!" tolaknya ketika, Melani memintanya belajar.
Ketika akan keluar, Jordy bertatapan dengan, Rara. Buku yang dipegang Jordy jatuh dan Rara yang mengambilnya.
"Kamu, nih! Bentar, aku ambil bukuku dulu!" ketus, Rara.
Rara berjalan pulang dengan hati yang gembira, entah mengapa, saat itu dia berbunga-bunga.
"Kamu, mau ke mana, lagi?" tegur Pak Yusuf, ayahnya.
"Tu, si Jordy! Enggak pinter-pinter!" gerutu, Rara.
"Hus! Enggak boleh gitu, ya udah sana. Jangan lupa, harus jaga jarak dan ada yang mendampingi" ujar Ayahnya.
"Tenang ayah, om dan Tante ada di rumah, Kak Mey juga," sahut, Rara.
Lalu, dia pergi lagi, ke rumah Jordy.
Sedangkan Jordy, dia menyiapkan cemilan untuk dirinya dan Rara, lalu menatanya di meja belajar yang ada di sudut kamar.
"Nih, belajar pake bukuku aja, dah selesai!" Rara memberikan bukanya pada, Jordy.
"Yah, Ra. Kalau menyalin, semua orang pinter. Kalau Pak Arif tahu, bisa-bisa nilai matematikaku merah!" keluh Jordy.
Meski kesal, Rara duduk di tepi ranjang.
"Sini bukunya!" pinta Rara. "Kamu ya, duduk di sini!" kesalnya.
Jordy mengambil bukunya dan duduk di tengah ranjang, dan memperhatikan setiap penjelasan yang dilakukan oleh, Rara.
Bu Ratna dan Kak Melani, mereka asik menggosipkan, Jordy dan Rara. Raut wajah mereka berubah ketika, Pak Gunawan duduk dan berbincang bersama mereka. Pak Gunawan membawa berita yang mengejutkan. Mereka menatap kebersamaan, Jordy dan Rara. Bu Ratna menghembuskan nafasnya pelan. Dia merasa akan kehilangan saudara tak sedarah dan orang yang paling dekat dengannya hampir 18 tahun.
Bu Ratna mengingat semuanya dalam ingatannya. Terlebih, saat dia dan suaminya hampir saja bangkrut karena di tipu rekan kerjanya. Keluarga Pak Yunus-lah yang banyak menolong mereka, pastinya ini akan menjadi kehilangan yang paling menyakitkan.
Ketika, Rara akan pamit, Bu Ratna memeluknya erat. Seakan-akan tidak akan berjumpa lagi. Rara menerima pelukan itu tanpa berani bertanya, hingga Bu Ratna melepaskan pelukannya sendiri.
"Salam untuk ibu dan bapak, ya." ujarnya dan Rara hanya mengangguk.
Rara pulang dengan perasaan yang gundah gulana. Merasa aneh dengan sikap orang tua, Jordy dan juga Kak Melani yang memeluknya sangat erat.
Apakah mereka ada masalah! pikir, Rara.
"Assalamualaikum, Yah, Bu." Rara mengecup kedua tangan orang tuanya, lalu pergi ke kamarnya.
Rara, mengabaikan pertanyaan Ayahnya mengenai perubahan dari penampilannya. Rara berdiri didepan jendela menatap rumah, Jordy. Dia merasa akan kehilangan mereka tetapi, hatinya menyangkal semua itu.
Hari beranjak, malam. Membawa semua makhluk hidup untuk beristirahat, termasuk dua keluarga yang akan terpisah jauh.
Seperti pagi sebelumnya, Rara bersemangat pergi ke sekolah. Dia memanggil, Jordy. Mengulang kejadian semasa mereka SMP.
Rara, sempat terkejut. Melihat mata, Bu Ratna sembab dan Jordy tak bersemangat. Dia langsung mengajak, Jordy setelah berpamitan.
"Kamu kenapa?" tanya, Rara.
"Enggak, ada apa-apa!" balas Jordy dan kembali melamun.
Rara memukul sahabatnya itu dengan kuat membuat, Jordy meringis.
"Kamu kenapa, sih!" bentak, Jordy.
Tak biasanya, Rara diam dengan wajah yang sendu. Kemudian ada bulir bening mengalir di matanya.
"Maaf!" ucap Jordy lirih dan langsung mengenggam tangan sahabatnya.
Ada desiran di hati masing-masing, membuat mereka salah tingkah namun, tidak melepaskan pegangan tangannya.
Semakin hari, kedekatan mereka semakin erat. Tanpa mereka sadari, rasa cinta tumbuh diantara mereka
Setiap hari mereka habiskan dengan bercanda dan tertawa, tanpa melepaskan pegangan tangan mereka disaat mereka sedang bersama. Gunjingan para tetangga sampai di telinga, Bu Ratna. Namun, dia tidak bertindak. Bu Ratna berpikir jika, Jordy dan Rara menganggap hubungan mereka seperti kakak adik. Lagi pula tiga hari ke depan mereka akan pindah."Jo, kamu pacaran dengan, Rara?" tegur, Bu Ratna ketika, Jordy baru pulang sekolah.Jordy menatap, ibunya lama."Enggak, Bu. Jordy tetap seperti biasa, hanya saja--," Jordy menghentikan, ucapanya.Ibunya menarik tangan, Jordy untuk duduk. Menanti kelanjutan cerita dari anaknya."Terus, hanya apa?" tanya, Bu Ratna kepo."Sebentar lagi, Kita'kan pindah. Jo, ingin mem
Ayah, ibu, kakak juga kakak iparnya menduga, jika yang sedang berbicara dengan, Jordy adalah pacarnya. Semua mereka tebak dari cara, Jordy menerima panggilan itu. Namun, semua terdiam ketika mengingat nama yang di sebut, Jordy. Mereka berempat saling pandang, dan menggelengkan kepala masing-masing. Menolak apa yang ada dipikiran, mereka."Mama, Papa, Kak Mey, Kak Iqbal! Kalian mau apa?" tanya, Jordy ketika membuka pintu kamarnya.Empat orang dewasa terjatuh ketika, mereka berusaha mencuri dengar percakapan, Jordy. Membuat empunya kamar kesal dan mereka hanya bisa tersenyum kaku."Kalian pasti mau nguping, ya? Mau ngapain sih!" tanya, Jordy gemas.Dari ke-empat orang itu, tidak ada satupun yang menjawab dengan benar. Alasan yang diutarakan semuanya, asal-asalan.
Jordy langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dan segera mendapatkan pertolongan dari team dokter.Mengetahui Jordy pingsan setelah menenggak kopi yang diperuntukkan Rama. Rama langsung meminta ruangan diamankan dan tidak boleh ada yang masuk sebelum hasil pemeriksaan dokter keluar.Setelah hasil pemeriksaan keluar, Rama melapor pada polisi. Karena terindikasi ada racun yang mematikan. Jordy beruntung, karena langsung menegak habis kopi itu. Apabila di sesap beberapa kali nyawanya dipastikan akan langsung hilang di tempat.CCTV diperiksa, OB dan security pun diperiksa. Membuat satu perusahaan heboh, saling curiga dan menduga-duga. Siapakah yang tega melakukan itu.Keadaan Jordy makin kritis, karena sisa racun masih ada di dalam lambungnya. Papa dan mama Jordy sangat khawatir akan ko
"Kamu enggak apa-apa, Nak?" tanya Bu Anggit yang bergegas mendekati anaknya. Rara hanya tersenyum ringan, dan menggelengkan kepalanya. Lalu berusaha untuk berdiri. "Maaf, saya yang salah. Tadi saya terburu-buru, karena ada berkas yang tertinggal. Apa ada yang luka Mbak?" tanya lelaki di depan mereka. "Oh, ya maaf. Perkenalkan nama saya Bagas Aripin." Lelaki itu memperkenalkan diri. Pak Yunus memperhatikan lelaki muda di depannya, dengan pandangan teduh. "Mas dokter?" tanya Pak Yunus. Bagas hanya tersenyum lebar sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Saat ingin bertanya, seorang suster menghampiri Bagas. "Maaf dok, ini berkasnya. Maaf saya teledor." ujar suster itu dengan rasa bersalah. "Enggak apa-apa, Sus. Terimakasih, ya." Bagas tersenyum, dan suster itu pergi setelah mengucapkan salam. "Bu, Yah. Ayo!" ajak Rara. "Bapak mau kemana?" tanya Bagas ketika keluarga Pak Yunus hendak pergi "Mau pu
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
Sesampainya di kampus, Rara uring-uringan tidak henti. Dia akan diam ketika sedang memegangi bibirnya yang sudah tidak peraw*n lagi.Tantri yang melihat sahabatnya itu kesal, menghampirinya."Kenapa, apakah kepalamu sakit lagi?" Tantri khawatir mengenai keadaan Rara."Bukan hanya kepala, tapi semuanya." Rara tertunduk lesu, dan hanya membolak-balikan bukunya."Kamu mau minum apa?" Tantri menjauh ketika tanyanya tidak di jawab.Tantri tahu, jika Rara bukan sakit yang sebenarnya. Dia hanya bingung dengan perasaannya."Minum dulu, biar enggak galau." Tantri menyodorkan segelas minuman pada sahabatnya yang sedang tertunduk lesu."Tri, dugaanmu benar. Bagas melamarku, tadi dia berani menciumku!" Rara menutup wajahnya dan terdengar isakan."Uhuk! Uhuk!" Tantri tersedak jus yang baru saja diminumnya. "Ternyata, agresif juga tu duda!" Kali ini, Tantri tertawa."Cinta tidak bisa berpaling
Bu Fitri hanya bisa mengomel melihat kelakuan anaknya yang berubah drastis ketika bersama Rara. Awalnya dia berharap jika Rara bisa menggantikan Sinta, seperti keinginan almarhumah menantunya. Di sofa depan, Pak Arief hanya mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang memegang sapu. Angannya melayang ke masa lalu, yang belum baik dan ketika itu Bagas masih kecil. Betapa bandelnya Bagas saat itu, membuat ibunya selalu naik darah. "Pa, gimana itu?" Bu Fitri bertanya pada suaminya yang sedang berpura-pura membaca koran. "Biarkan saja dulu, jika mereka jodoh dan bisa menikah. Lagi pula, Rara senang merawat Abimanyu." Pak Arief meletakkan korannya, dan menatap istrinya. "Mah, kita pergi ke Malang, yuk!" ajak Pak Arief. Bu Fitri tidak menjawab, dia seakan-akan memikirkan sesuatu dari ajakan suaminya. "Hmmm apa hanya kita berdua?" tanya Bu Fitri kemudian. "Gimana kalau kita ajak Pak Yunus dan Bu Anggit." t
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah