"Kamu enggak apa-apa, Nak?" tanya Bu Anggit yang bergegas mendekati anaknya.
Rara hanya tersenyum ringan, dan menggelengkan kepalanya. Lalu berusaha untuk berdiri.
"Maaf, saya yang salah. Tadi saya terburu-buru, karena ada berkas yang tertinggal. Apa ada yang luka Mbak?" tanya lelaki di depan mereka. "Oh, ya maaf. Perkenalkan nama saya Bagas Aripin." Lelaki itu memperkenalkan diri.
Pak Yunus memperhatikan lelaki muda di depannya, dengan pandangan teduh.
"Mas dokter?" tanya Pak Yunus.
Bagas hanya tersenyum lebar sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Saat ingin bertanya, seorang suster menghampiri Bagas.
"Maaf dok, ini berkasnya. Maaf saya teledor." ujar suster itu dengan rasa bersalah.
"Enggak apa-apa, Sus. Terimakasih, ya." Bagas tersenyum, dan suster itu pergi setelah mengucapkan salam.
"Bu, Yah. Ayo!" ajak Rara.
"Bapak mau kemana?" tanya Bagas ketika keluarga Pak Yunus hendak pergi
"Mau pulang ke Semarang, Mas." jawab Bu Anggit.
Bagas seperti berpikir sejenak, pasalnya tujuan mereka sama. Pikirnya tidak masalah jika dia mendapatkan teman dalam perjalanan, lagi pula Rara mengingatnya pada istrinya yang sedang sakit.
"Mau naik apa, Pak?" tanya Bagas lagi.
"Ini mau cari travel! Ya, sudah ya Mas, takut kesorean!" Pak Yunus ingin menyudahi perbincangan mereka, karena Rara mulai merasa lelah.
"Bagaimana jika naik mobil saya saja, pak? Kebetulan, tujuan saya ke Semarang." Bagas menawarkan diri.
Pak Yunus menatap kearah istrinya dan melihat Rara yang mulai kelelahan.
"Tenang saja, Pak. InsyaAllah, saya anak baik-baik." ujar Bagas.
"Apa tidak merepotkan?" Bu Anggit merasa tidak enak jika harus menumpang.
"Anggap saja sebagai permintaan maaf dari saya." Bagas langsung mengambil tas yang di bawa Pak Yunus dan meminta mereka menunggu saja di depan, karena mobilnya dia taruh di parkiran.
Bagas langsung bergegas, ke mobilnya dan mengendarainya.
"Mari, Pak." Ajaknya setelah ada di hadapan keluarga pak Yunus.
Meski ragu, Pak Yunus masuk setelah pintu di bukakan oleh Bagas. Rara dan ibunya duduk di bangku belakang.
Ada desir aneh di dada Bagas ketika berdekatan dengan Rara namun, dia menepisnya karena mengingat sang istri yang sedang sakit tak berdaya.
Sepanjang perjalanan Pak Yunus dan Bagas berbincang, membuat mereka semakin dekat. Tak ada cerita yang luput dari mereka termasuk mengenai istri Bagas yang sedang sakit parah namun, kekeh pada pendiriannya mempertahankan anak semata wayang mereka yang masih berada dalam perut.
Rara dan ibunya hanya menjadi pendengar setia. Rara berbaring di pangkuan ibunya karena kepalanya terasa sakit. Rara tidak menyadari jika, Bagas diam-diam mencuri pandang ke arahnya.
Dering ponsel mengganggu Rara, suara volume yang disetel dengan randah sehingga tidak terlalu terdengar.
"Bu, ponsel ibu berdering terus."ujar Rara lirih.
Bu Anggit merogoh tasnya, mencar benda pipih yang terus berbunyi. Begitu menemukannya, Bu Anggit langsung melihat siapa yang menelponnya. Tertera nama Bu Ratna di layar.
"Yah, Bu Ratna. Kita lupa memberi tahu!" Bu Anggit menyela pembicaraan Pak Yunus dan Bagas.
"Ya sudah, diangkat!" perintah Pak Yunus.
Bu Anggit : Assalamualaikum, Bu. Maaf tidak pamitan, karena kondisi yang tidak memungkinkan.
Terdengar suara isakan di ujung telepon membuat Bu Anggit, Langsung kepikiran Jordy.
Bu Anggit : Bu ada apa? Apa terjadi sesuatu dengan Jordy.
Bu Ratna belum juga berbicara, Bu Anggit dengan sabar mendengar tangisan mantan tetangganya itu.
Bu Ratna : Enggak apa-apa, Bu. Tadinya mau berbagi kebahagiaan, karena Jordy sudah sadar.
Perasaan lega terpancar dari wajah Bu Anggit, bagaimana pun Jordy pernah menjadi bagian keluarganya.
Bu Anggit : Alhamdulillah, kalau begitu. Salam sayang dari kami. Rara sedang merasa sakit kepalanya, jadi tidak bisa bicara sekarang.
Bu Ratna memahami itu dan mengucapkan kata hati-hati di jalan lalu mengucapkan salam untuk mengakhiri perbincangan.
Bagas sedari tadi mencuri pandang ke arah Rara yang sedang mendengarkan ibunya, lalu bertanya kepo tentang keadaan seseorang. Ada nyeri di hatinya, ternyata wanita di belakangnya sudah menambatkan hati pada orang lain. Kemudian dia memukul kepalanya, mengapa dia terpesona pada Rara yang baru saja dia temui dan begitu mudahnya lupa pada istri dan calon anaknya. 'Dasar laki-laki!'
"Kamu kenapa, Gas?" tanya Pak Yunus mengejutkan Bagas.
."Hmmm ... Ternyata sudah hampir magrib. Kita belum ketemu masjid atau pun mushola, perut juga sudah terasa lapar." Bagas berusaha menutupi rasa malu dalam hatinya.
Pak Yunus pun mengangguk, membenarkan ucapan Bagas.
"Kalau begitu, kita keluar tol saja atau cari rest area." Pak Yunus memberi saran.
Bagas menyetujui kata-kata Pak Yunus, dia mulai fokus mengemudi dan berpikir kemana dia harus melajukan mobilnya.
"Lebih baik keluar tol saja!" Rara meminta, tanpa menyebutkan nama.
Bagas menatap Rara melalui kaca spion dan di balas dengan tatapan dingin.
Rara terdiam, menatap keluar jendela. Memikirkan bagaimana keadaan Jordy dan dia merasa tak nyaman satu mobil dengan Bagas yang selalu memandanginya diam-diam. Ya, Rara mengetahui pandangan Bagas namun, dia berpura-pura tidak mengetahuinya.
Bagas akhirnya memilih keluar dari tol dan mencari Masjid atau mushola terdekat. Begitu menemukannya, dia langsung memarkirkan mobilnya dan mengajak keluarga Rara untuk sholat berjamaah.
Selesai sholat, Rara mengajak mencari makanan dan disambut oleh Bagas, karena diapun merasa lapar.
Di bawah tenda orange, mereka berempat menikmati hidangan yang telah di pesan. Rara makan dengan lahap, seakan-akan seharian belum makan.
"Pelan-pelan, Nak." Ibunya mengingatkan dan hanya di balas anggukan.
Rara selesai lebih dulu, dan dia memilih duduk menjauh. Meluruskan kakinya yang terasa pegal.
"Sakit apa, anak bapak?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Bagas yang masih terisi penuh.
"Hilang ingatan, tapi hanya sebagian saja. Semoga secepatnya bisa pulih." terang Bu Anggit.
"Karena kecelakaan?" tanya Bagas lagi.
Bu Anggit hanya mengangguk sedih, matanya mulai berkaca-kaca. Mengingat putri satu-satunya tidak mengingat dirinya. Namun, bulir bening itu tidak dapat dia tahan.
"Padahal dia harusnya menikmati masa mudanya. Kuliahnya pun jadi terbengkalai." keluh Bu Anggit.
Bagas tau rasa sakit yang di pendam kedua orang tua di hadapannya, karena harus tersenyum di depan orang yang di cintai demi menguatkan mereka. Padahal mereka sendiri butuh dukungan.
Rara mendekati mereka bertiga dan duduk di samping ayahnya, kemudian berbisik-bisik. Pak Yunus hanya mengangguk tanda setuju. Setelah piringnya kosong, Pak Yunus meminta Bagas untuk langsung melanjutkan perjalanan. Sementara itu, mereka akan mencari penginapan. Rara tidak sanggup lama-lama duduk ataupun meringkuk, Pak Yunus tidak ingin membuat perjalanan Bagas terganggu.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya pun lelah." jawab Bagas terkekeh pelan, entahlah dia tidak ingin cepat-cepat terpisah dari Rara.
"Bukannya, kamu terburu-buru?" ketus Rara untuk yang kesekian kalinya.
"Saya memang terburu-buru, tapi saya juga harus memperhatikan diri saya agar tidak kelelahan dan malah akan menimbulkan masalah baru." jawaban Bagas membuat Rara memalingkan wajahnya. "Bagaimana jika tetap bersama, saya pun butuh teman selama perjalanan. Nanti saya akali, supaya mbaknya tidak merasa sakit atau kecapekan." Bagas meyakinkan Pak Yunus dan Rara.
Bu Anggit menyetujui perkataan Bagas, membuat Rara kesal meski harus dia tahan.
"Ya sudah, kita cari penginapan dulu." Pak Yunus menengahi, Bagas dan Rara.
Bagas tersenyum dan beranjak dari duduknya untuk membayar makanan yang sudah mereka makan. Lagi-lagi terjadi perdebatan, sekarang antara Bagas dan Pak Yunus. Namun, tetap saja Bagas yang menang dan Pak Yunus menepuk pundak Bagas.
Mereka langsung mendapatkan hotel setelah bertanya pada penjual seafood, ternyata tidak terlalu jauh dari tempat mereka makan.
"Pak Yunus satu kamar dengan saya saja, ibu dan mbaknya satu kamar juga." Bagas meminta dengan sedikit memaksa namun, disetujui oleh Pak Yunus.
Lagi-lagi, masalah pembayaran menjadi perdebatan. Entah bagaimana, Bagas bisa selalu menang dengan berbagai alasan yang di ungkapkannya.
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N
Bu Fitri hanya bisa mengomel melihat kelakuan anaknya yang berubah drastis ketika bersama Rara. Awalnya dia berharap jika Rara bisa menggantikan Sinta, seperti keinginan almarhumah menantunya. Di sofa depan, Pak Arief hanya mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang memegang sapu. Angannya melayang ke masa lalu, yang belum baik dan ketika itu Bagas masih kecil. Betapa bandelnya Bagas saat itu, membuat ibunya selalu naik darah. "Pa, gimana itu?" Bu Fitri bertanya pada suaminya yang sedang berpura-pura membaca koran. "Biarkan saja dulu, jika mereka jodoh dan bisa menikah. Lagi pula, Rara senang merawat Abimanyu." Pak Arief meletakkan korannya, dan menatap istrinya. "Mah, kita pergi ke Malang, yuk!" ajak Pak Arief. Bu Fitri tidak menjawab, dia seakan-akan memikirkan sesuatu dari ajakan suaminya. "Hmmm apa hanya kita berdua?" tanya Bu Fitri kemudian. "Gimana kalau kita ajak Pak Yunus dan Bu Anggit." t