Jordy langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dan segera mendapatkan pertolongan dari team dokter.
Mengetahui Jordy pingsan setelah menenggak kopi yang diperuntukkan Rama. Rama langsung meminta ruangan diamankan dan tidak boleh ada yang masuk sebelum hasil pemeriksaan dokter keluar.
Setelah hasil pemeriksaan keluar, Rama melapor pada polisi. Karena terindikasi ada racun yang mematikan. Jordy beruntung, karena langsung menegak habis kopi itu. Apabila di sesap beberapa kali nyawanya dipastikan akan langsung hilang di tempat.
CCTV diperiksa, OB dan security pun diperiksa. Membuat satu perusahaan heboh, saling curiga dan menduga-duga. Siapakah yang tega melakukan itu.
Keadaan Jordy makin kritis, karena sisa racun masih ada di dalam lambungnya. Papa dan mama Jordy sangat khawatir akan kondisi anaknya. Namun, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa menyerahkannya pada team dokter dan memohon pada Allah untuk kesembuhan anak mereka.
Kak Melani yang mendengar kabar itu, tidak kalah syoknya. Bahkan menyebabkan dia kontraksi hebat dan harus masuk meja operasi.
Keadaan makin tidak terkendali, ketika saham yang di beli Jordy beberapa waktu lalu anjlok. Membuat Papa dan kakak iparnya harus extra bekerja dan bolak-balik ke rumah sakit.
"Sepertinya ini ada sabotase, Pa!" ujar Iqbal.
Bu Ratna mendengar itu menangis.
"Sudah, Ma. Kita serahkan pada pihak berwajib!" Pak Gunawan mencoba menenangkan istrinya.
Ketika akan berbicara, Ponsel Bu Ratna berdering. Panggilan masuk dari Bu Anggit, segera di jawab oleh Bu Ratna.
Awalnya Bu Anggit menanyakan tentang uang yang ditransfer oleh Jordy, kenapa banyak sekali. Namun, Bu Ratna malah menangis.
Ponsel Bu Ratna di ambil alih oleh suaminya. Pak Gunawan menceritakan apa yang terjadi pada keluarganya, membuat Bu Anggit bersedih. Bu Anggit, ternyata berada di Jakarta karena ada satu hal yang sedang diurusnya. Dia meminta alamat pada Pak Gunawan, dan langsung diberikan.
Kemudian, Rama datang dan mengatakan jika dia tau siapa dalang dari semua ini. Mendengar itu, Iqbal dan Pak Gunawan menarik Rama menjauh dari Bu Ratna.
"Kita buat perhitungan!" Iqbal sudah sangat geram.
"Kita harus hati-hati, dia juga bagian dari keluarga kita!" Pak Gunawan mengingatkan mereka berdua.
"Dia sengaja ingin melenyapkan saya, paman." Rama menunduk sedih. "Maaf, yang terkena malah Jordy." tambah Rama dengan raut sedih.
Pak Gunawan menepuk pundak Rama, yang sudah dianggap anaknya sendiri itu.
"Apa baiknya kita laporkan saja pada polisi?" Rama bingung dengan dirinya sendiri.
"Kasus sudah di tangani polisi. Biarkan saja, nanti juga tertangkap." Pak Gunawan mencoba menenangkan Rama.
"Iya, kita tunggu hasil dari kepolisian dulu. Jika hasilnya tidak memuaskan baru kita bertindak." sambung Iqbal.
Ketika, tiga pria ini sedang asik mengobrol. Datang Pak Yunus dengan keluarga lengkapnya. Pak Gunawan yang masih mengenali Pak Yunus, langsung menyambut dan memeluknya hangat.
"Assalamu'alaikum, Pak Gunawan."
"Waalaikumsalam, Pak. Enggak nyangka, bisa ketemu di sini. ini?" Pak Gunawan menunjuk ke arah Rara.
"Ini gadis tomboy yang dulu, Pak." Kali ini Bu Anggit yang menjawab.
Pak Gunawan mendekati Rara, yang bersembunyi di balik tubuh Pak Yunus.
"Ini beneran Rara? Cantiknya." Pak Gunawan memujinya.
Rara masih diam dan berlindung di balik tubuh ayahnya. Dia seperti takut pada Pak Gunawan, yang kini memiliki jenggot cukup tebal.
"Ini Pak Gunawan, Nak. Masa kamu lupa!" Pak Yunus mengingatkan anaknya.
Rara berdiri di samping Pak Yunus dan mengulurkan tangannya, Pak Gunawan menyambutnya dengan senyuman.
"Enggak nyangka, kamu sudah sebesar ini. Ayo kita ke kamar Jordy," ajak Pak Gunawan.
Pak Yunus dan keluarga bertemu dengan bu Anggit yang masih terus menangis di temani oleh seorang wanita yang seumuran dengannya.
Bu Ratna langsung memeluk Bu Anggit dan menangis tersedu-sedu di pundak mantan tetangganya itu.
Bu Ratna yang menyadari sosok Rara, langsung menghentikan tangisnya.
"Ini Rara?" dan di jawab dengan anggukan Bu Anggit. "Bukannya, mengalami kecelakaan?" sambungnya.
"Iya, ini mau berobat juga. Bagian luar hanya luka biasa dan ini patah tangan kirinya, sedangkan yang di dalam kepala cukup fatal kata dokter." Bu Anggit menjelaskan.
Rara mendengar itu hanya diam, ingatannya tidak sepenuhnya kembali. Mungkin akibat benturan di kepalanya.
"Bagaimana, keadaan Jordy dan Melani?" Bu Anggit mengalihkan pembicaraan.
"Melani sudah melahirkan, karena kontraksi mendadak saat mendengar adiknya diracuni. Mari, kita lihat Jordy ke dalam." Bu Ratna berdiri dan mengajak mereka masuk.
"MasyaAllah, sabar ya Bu." Bu Ratna menggenggam tangan sahabat lamanya itu.
Rara yang melihat Jordy terbaring, menitikkan air mata. Dia mengingat Jordy yang meninggalkannya, dia melepaskan cincin pemberian Jordy dulu dan di taruh pada tangan Jordy. Tidak ada yang melihat Rara melakukan itu. Entah bagaimana, kenangan Jordy masih tersimpan di memori otaknya.
Rara mundur dan mendekati ayahnya yang berdiri di sisi Jordy.
"Grafik di mesin itu turun naik, baiknya panggil dokter, Bu." Bu Anggit yang menyadari itu mengatakan pada Bu Ratna.
Bel yang terhubung ke tempat suster berada, dipencet berkali-kali oleh, Bu Ratna. Suara derap kaki mendekat dan segera memberikan pertolongan untuk Jordy. Setelah penanganan yang cepat dan baik, keadaan Jordy mulai membaik.
Rara menatap Jordy, dari kejauhan. Dia ingin memeluk Jordy untuk yang terakhir kalinya namun, dia tidak berani untuk meminta ijin. Rara merasa semuanya asing, hanya Jordy yang di kenalnya.
"Kamu mau menemui Jordy, sebelum kita ke dokter?" Seperti mengatahui keinginan Rara, Bu Ratna bertanya padanya dan di jawab dengan anggukan. "Masuklah, Nak." tambah Bu Ratna.
Rara melangkahkan kakinya perlahan mendekati Jordy, yang terbaring tak berdaya. "Jo, selamat tinggal." Rara membisikkan kata-kata itu setelah mendekat.
Mata Jordy terbuka dan dia menatap Rara dengan lekat.
"Ka-kamu!" Rara tergagap dan berlari dari dalam ruangan.
"Jo-Jordy!" Rara berusaha memberitahu semua orang namun, dia bingung dan hanya menunjuk ke dalam ruangan.
Bu Ratna dan keluarganya masuk ke dalam. Sedangkan Rara dan keluarganya pergi, karena dokter sudah menunggu mereka.
"Nanti, Ibu kirim pesan pada Bu Ratna," ujar Bu Anggit.
Mereka bertiga menelusuri beberapa lorong, untuk sampai keruangan dokter.
"Kamu harus sembuh, Nak." Bu Anggit, menggenggam tangan Putrinya.
Rara mengangguk patuh.
"Kita langsung periksa saja ya," ujar dokter. "Silahkan kamu berbaring di sana!" Pinta dokter tersebut.
Rara segera menaiki ranjang yang di lengkapi dengan alat medis. Kepalanya akan di CT-scan, untuk mengetahui luka yang menyebabkan dia lupa beberapa ingatannya.
Dua jam berlalu, Rara sudah selesai di periksa. Rara tetap terbaring, sedangkan ke-dua orang tuanya menemui dokter untuk mengetahui hasilnya.
"Dok, bagaimana hasil pemeriksaan anak saya?" tanya Bu Anggit.
"Anak ibu dan Bapak mengalami amnesia Retrograde, ada bagian ingatan yang hilang dan bagian ingatan yang masih ada di memorinya. Semoga saja, ingatannya bisa kembali normal. Ini saya resepkan beberapa obat untuk meredakan nyeri dan berbagai vitamin. Akan tetapi, harus di bantu untuk mengulang ingatannya. Ingat, jangan sampai terjadi benturan lagi." Dokter menerangkan dengan sangat baik, sehingga tidak perlu di ulang.
Bu Anggit tertunduk lesu, tidak menyangka akan dilupakan anaknya meskipun sesaat. Tapi, anaknya tidak lupa pada Jordy, mungkin karena mereka bersama sejak masih bayi dan pertemuan mereka lebih intens.
Setelah mendapatkan resep, Bu Anggit menghampiri Rara yang sedang tertidur. Diusapnya wajah lembut, anaknya.
"Sembuh, Nak. Ibu rindu." Bu Anggit meratap.
Pak Yunus memegang pundak istrinya, memberi dukungan dengan caranya.
"Sini, Ayah tebus obatnya. Nanti kalau Rara bangun, kita langsung pulang ke desa." Pak Yunus mengulurkan tangannya meminta resep yang di pegang istrinya.
Bu Anggit menatap sayu suaminya di balas dengan senyum menenangkan.
"Ujian dari Allah datangnya dari mana saja, Bu. Kita harus bersabar." Pak Yunus menasehati istrinya. "Ya sudah, Ayah pergi dulu. Assalamu'alaikum." Pak Yunus berlalu dari ruangan.
"Wa'alaikumussalam," jawab Bu Anggit.
Bu Anggit menggenggam tangan anaknya dan sesekali menciumnya berulang. Rasa cintanya sebagai ibu sedang di uji, dia merasa tidak mampu melalui ujian itu.
"Bu, kenapa ibu nangis?" tanya Rara dan dia berusaha untuk duduk.
"Rara sudah bangun, Nak. Apanya yang sakit? Ibu panggilkan dokter, ya." Kepanikan Bu Anggit membuat Rara terkekeh. "Apanya yang lucu, Nak?" tanya Bu Anggit heran.
"Ibu ini, seperti Rara sedang sakit parah saja!" keluh Rara yang membuat ibunya tersenyum.
'Ya Allah, terimakasih. Ingatan Rara tentang kami sudah berangsur-angsur membaik.'
"Ayah ke mana, Bu?" tanya Rara.
"Ayah ambil obat di apotik." jelas ibunya.
"Kita di mana Bu?" tanya Rara lagi.
"Kamu banyak tanya, ya!" Ibunya kini yang terkekeh.
Pintu di ketuk dan salam terdengar dari penghuni kamar.
"Ayah, ibu enggak sayang aku!" keluh Rara pada ayahnya yang baru kembali.
Pak Yunus menatap istrinya namun, tak ada jawaban dari istrinya hanya matanya yang berbinar.
"Biarin saja. Rara sama ayah saja!" jawab Pak Yunus santai.
"Yah, Rara enggak suka di sini. Kita pulang yuk!" ajak Rara.
Pak Yunus mengangguk dan segera membereskan barang mereka.
"Ayo, kita langsung pulang atau jalan-jalan dulu? Mumpung ada di kota Jakarta!" tawar ayahnya.
"Langsung pulang, Yah." jawab Rara mendadak melow.
"Ya, sudah."
Mereka keluar dan berjalan menyusuri lorong rumah sakit dengan bercanda ria.
Di persimpangan lorong, Rara yang berjalan duluan mengaduh dan terjatuh.
"Akh!" teriak Rara.
"Eh, maaf. Kamu enggak kenapa-kenapa?" Suara serak dan khas terdengar.
"Kamu enggak apa-apa, Nak?" tanya Bu Anggit yang bergegas mendekati anaknya. Rara hanya tersenyum ringan, dan menggelengkan kepalanya. Lalu berusaha untuk berdiri. "Maaf, saya yang salah. Tadi saya terburu-buru, karena ada berkas yang tertinggal. Apa ada yang luka Mbak?" tanya lelaki di depan mereka. "Oh, ya maaf. Perkenalkan nama saya Bagas Aripin." Lelaki itu memperkenalkan diri. Pak Yunus memperhatikan lelaki muda di depannya, dengan pandangan teduh. "Mas dokter?" tanya Pak Yunus. Bagas hanya tersenyum lebar sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Saat ingin bertanya, seorang suster menghampiri Bagas. "Maaf dok, ini berkasnya. Maaf saya teledor." ujar suster itu dengan rasa bersalah. "Enggak apa-apa, Sus. Terimakasih, ya." Bagas tersenyum, dan suster itu pergi setelah mengucapkan salam. "Bu, Yah. Ayo!" ajak Rara. "Bapak mau kemana?" tanya Bagas ketika keluarga Pak Yunus hendak pergi "Mau pu
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N