Ayah, ibu, kakak juga kakak iparnya menduga, jika yang sedang berbicara dengan, Jordy adalah pacarnya. Semua mereka tebak dari cara, Jordy menerima panggilan itu. Namun, semua terdiam ketika mengingat nama yang di sebut, Jordy. Mereka berempat saling pandang, dan menggelengkan kepala masing-masing. Menolak apa yang ada dipikiran, mereka.
"Mama, Papa, Kak Mey, Kak Iqbal! Kalian mau apa?" tanya, Jordy ketika membuka pintu kamarnya.
Empat orang dewasa terjatuh ketika, mereka berusaha mencuri dengar percakapan, Jordy. Membuat empunya kamar kesal dan mereka hanya bisa tersenyum kaku.
"Kalian pasti mau nguping, ya? Mau ngapain sih!" tanya, Jordy gemas.
Dari ke-empat orang itu, tidak ada satupun yang menjawab dengan benar. Alasan yang diutarakan semuanya, asal-asalan.
Jordy, menyodorkan kertas bertuliskan nomor telepon seseorang pada ibunya.
"Nomor siapa?" tanya Bu Ratna bingung.
"Bu Anggit," jawabnya singkat.
Jordy menyembunyikan debaran di jantungnya, agar tidak ada yang mengetahuinya. Namun, Kak Melani tau jika adiknya, sangat senang mendapatkan nomor itu.
Bu Ratna, langsung mengambil ponsel miliknya dan menyimpan nomor, Bu Anggit. Tidak lama, Bu Ratna menghubungi, Bu Anggit. Beberapa kali mencoba, tidak kunjung ada yang menerima.
"Mungkin lagi, sibuk!" gumam, Bu Ratna.
Ketika akan meletakkan ponselnya, Bu Ratna berteriak, "Bu Anggit, telepon!" ucapnya.
"Mama, kok norak!" ejek, Jordy sambil berlalu.
Bu Ratna menerima panggilan itu, dan mematikannya, lalu menghubungi kembali. Katanya, dia yang ada perlu bukan, Bu Anggit. Obrolan pun berlanjut, sampai berjam-jam. Jordy, bolak-balik melewati ibunya yang asik berbincang namun, tidak memperdulikan yang lain. Setelah itu, Bu Ratna menceritakan perihal utangnya dan meminta nomor rekening, Bu Anggit. Tak lama, panggilan di putus oleh, Bu Anggit setelah memberikan apa yang di inginkan oleh mantan tetangganya.
"Lama amat, Ma. Kayak ngobrol sama pacar!" keluh, Jordy.
"Kenapa kamu yang sewot, Papa aja enggak ada komentar!" ketus, Bu Anggit. "Kalau saja, Rara enggak kecelakaan, kami pasti masih ngobrol." tambahnya.
Hati Jordy berdebar-debar, ingin mengetahui keadaan temannya. Ingin bertanya tapi, rasanya gengsi. "Apa aku haus menelpon Wibowo?" tanyanya pada diri sendiri.
Jordy diam di kamarnya, menimbang-nimbang apa yang harus dia lakukan. Dengan mengesampingkan gengsinya, Jordy mengirimkan pesan pada Wibowo.
Jordy : Siang, Bro. Makasih ya, udah susah payah dapetin nomor Bu Anggit.
Wibowo : Santai, Bro. Oya, lo tau enggak si Rara kecelakaan, enggak parah sih. Kaki kanannya aja yang pincang. Ngomong-ngomong, doi tambah cantik loh, bro!
Pesan yang di baca Jordy, membuatnya meremas guling yang ada di pangkuannya dan membayangkan jika mata Wibowo jelalatan melihat ke arah Rara. "Awas aja! Berani macam-macam." oceh Jordy.
Jordy : Tapi, enggak parahkan? Pastilah, cewek itu makin dewasa makin cantik.
'Entahlah, kenapa aku enggan berbincang langsung dengannya dan memilih mengirim pesan.'
Wibowo : Kata cewek gue, enggak sih. Enggak tau deh, aslinya.
Wibowo : Sayang ya, gue dah punya pacar. Coba kalau belum, gue deketin dia. Hahahahaha,
Pesan Wibowo makin membuatnya kesal.
Jordy : Jaga pandangan, jangan liat yang bening dikit langsung berpaling. Kamu dekat dengan siapa, sekarang?
Wibowo : Teman dekat Rara, si Tantri.
Deg!
Jantung Jordy berdegup seakan-akan berhenti. Bukannya Tantri dulu saingan dengan Rara. Kenapa bisa jadi teman dekat. Lama Jordy berpikir, sampai-sampai Wibowo telpon diabaikannya.
Wibowo : Kaget lo ya? Wkwkwkwkkk.
Pesan Wibowo membuat Jordy mengangkat kedua alisnya.
Jordy : Iya. Aneh aja! Mereka'kan musuh bebuyutan.
Wibowo : Panjang ceritanya. Lo enggak kangen dengan Rara?
Wibowo : BTW, kenapa telpon gue enggak lo angkat?
Jordy : Sebagai teman lama, pasti gue rindu. Tadi, nyokap gue nanya sesuatu dan gue harus nyari barang yang di mintanya. Gue mau berangkat ngampus nich, nanti gue sambung lagi. Oya, kalau lo enggak keberatan, gue minta nomor Tantri.
Begitu pesan terkirim, Jordy beranjak dan mengambil tablet miliknya. Melihat progres laporan Reno, untuk perusahaan barunya.
"Jo ... Jo, Mama mau minta tolong!" pekik Bu Ratna dari arah dapur.
Tanpa menjawab, Jordy mendekati mamanya.
"Ada apa mamaku tercinta?" Jordy duduk dihadapan Bu Ratna dan bertanya.
"Ini nomor rekening Rara, kamu kirim uang ke dia. Tapi kamu hitung dulu berapa yang harus mama bayarkan. Biar Ibu Anggit, enggak menolak." ucap Bu Ratna dengan menyodorkan selembar kertas bertuliskan angka-angka.
"Hitung apa?"
"Mama dulu dipinjamkan, emas sekitar 5 suku. Atau bulatkan aja jadi 6 suku. Harga jual sekarang berapa per gram, tinggal di kali'kan saja." ujar Bu Ratna.
"Harga emas saat ini, sekitar 100.000 rupiah. Kalau satu suku, Jo enggak faham. Nanti, Jo tanya dulu." Ucapku seraya memasukan beberapa buah anggur ke dalam mulut.
"Ya udah sana, ngantor!" Mama mengusirku dan memukul tanganku yang mengambil buah kesukaannya.
Jordy berlalu untuk bersiap-siap pergi ke kantor. Saham di perusahaannya belumlah stabi, mengharuskannya ikut memantau. "Jika kamu mau terus sukses, jangan biarkan orang yang mengendalikan usahamu!" itu pesan papa yang selalu dia ingat. Apalagi, ini perusahaan benar-benar masih baru.
Begitu sampai di gedung yang sebagian baru digunakan, Jordy langsung di sambut Asisten pribadi yang sengaja ditunjuk oleh papa-nya untuk membantu.
"Pak, maaf. Ini ada mitting mendadak dari PT Cakra Buana Mandiri, untung saja bapak datang." ucapnya.
"Apa permintaan mereka?" tanya Jordy.
"Mereka minta pembagian secara adil dan mereka minta ruangan khusus." Lapor Andri.
Jordy menghentikan langkahnya dan bertanya,
"Kamu tau harga emas sekarang? Untuk satu suku berapa rupiah. Tolong secepatnya cari tau!" pintar Jordy. "Dan rincian laporan, taruh di meja saya." tambahnya.
Permintaan Jordy membuat Andri menganga namun, dia secepatnya mencari tahu harga emas.
Tok! Tok! Tok!
"Pak ini laporannya, dan ini harga emas per gram dan suku."
Andri menghampiri Jordy, setelah menutup pintu dan dia menyodorkan map holder yang berbeda dan langsung meninggalkan ruangan, setelah meminta ijin.
Map yang berisi pekerjaan, di singkirkan sejenak oleh Jordy, dia beralih pada map rincian jual beli emas. Mama-nya memang berpesan untuk mentransfer langsung, saat sudah mengetahui harganya.
Setelah yakin semuanya, Jordy mengirimkan sejumlah uang ke rekening Rara. Lalu memberitahu mama jika tugas yang dia berikan sudah selesai. Kini tugas Jordy untuk melindungi Rara, meski jarak terpisah.
Perusahaan Jordy bergerak di bidang jasa, kontruksi dan lainnya. Dia ingin membangun perusahaan bukan hanya terpaku pada satu jenis pekerjaan dan yang pastinya, sebelum aku mempersunting Rara.
Jordy membuka tasnya dan mengeluarkan diary milik Rara, yang dia jaga dengan baik. "Apa dia memakai cincin itu, ya." gumamnya.
Jordy teringat pada Wibowo yang tadi dia ajak berbincang. Ponsel disaku celananya dia ambil dan langsung mengecek pesan yang masuk.
Wibowo : Ini nomor Tantri 0852******890, awas! Jangan macem-macem, cukup tanya tentang Rara!
Jordy tersenyum, dia tidak menyangka jika Wibowo tau tentang perasaannya pada Rara. Tanpa menunggu, Jordy menyimpan nomor Tantri dan langsung mengirimkan pesan.
Jordy : Hai.
Jordy : Assalamu'alaikum, Tantri. Masih inget dengan Jordy?
Pesan tidak langsung berbalas.
Jordy melanjutkan mengecek laporan yang di berikan oleh Andri. Sambil sesekali melirik ponselnya.
Acara mitting yang diagendakan, tidak bisa di tunda atau di pindah hari. Dengan terpaksa Jordy menghadirinya. Mitting cukup alot, setiap orang kukuh pada pendapatnya. Berbeda dengan Jordy yang tidak fokus pada mitting, saat ini.
Begitu ponselnya berdering, Jordy pamit ke toilet. Membuat kliennya melongok.
"Kenapa sih? Lagi mitting juga!" ketus Mariana, Klien terkukuh.
"Maklum, anak muda." Bela klien Rama, klien pemerhati Mariana.
Bisikan itu, masih terdengar di telinga Jordy namun, dia abaikan.
Tantri ...
Nama yang tertera dilayar ponsel milik Jordy. Sepertinya, Jordy belum sanggup untuk berbicara, dia takut jika Rara mendengar percakapannya dengan Tantri. Jordy memutuskan mengirim pesan pada Tantri.
Jordy : Maaf, saat ini saya sedang sibuk. Bisa kita bicara nanti?
Tantri : Baiklah, Jordy. Jam berapa? Gue harus ngampus juga nih!
Jordy : Tiga puluh menit dari sekarang.
Tantri : Oke.
Jordy kembali bergulat pada pekerjaan dan mitting yang membosankan.
"Bagaimana, jika kita makan di Hotel Indonesia besok?" tawar Jordy ketika dua kliennya sedang berdebat.
Pada dasarnya, kliennya itu sahabat Jordy sendiri. Namun, mereka harus berpura-pura demi menyusupkan orang-orang terbaik.
"Terbaik!" Mariana memberikan dia jempolnya pada Jordy.
"Eleh, paling juga kita suruh mengamati situasi. Supaya kita bisa melihat apa hebatnya hotel itu! Dan bisa menerapkannya di hotel yang akan kita bangun!" sela, Rama.
Jordy terkekeh mendengarnya. Tebakan sahabatnya itu tidak pernah meleset.
"Sekalian belanja!" Rayu Mariana.
Kedua lelaki yang ada di dalam satu ruangan itu menghela nafas berat dan menggelengkan kepalanya secara bersamaan pula.
"Oke, kalau kalian keberatan aku enggak jadi ikut!" Mariana mulai merajuk.
Rama dan Jordy saling bertatapan. "Oke," balas mereka berdua.
"Sorry, enggak bisa bareng kalian ya, ada sesuatu yang penting!" Jordy mengutarakan keinginannya.
"Lo ga ke kampus?" tanya Rama.
"Lo aja masih nangkring disini!" ejek Jordy.
"Kapan kita sukses kalau kuliah aja males" Mariana mendengkus kesal.
Ketika akan menjawab, Ponsel Jordy berbunyi.
"Lo mau pacaran? Dengan siapa? Kita-kita enggak pernah tau lo deketin cewek! Enggak kayak buaya di sebelah gue!" cecar Mariana.
Jordy diam dan sedikit agak menjauh dari kedua sahabatnya.
Jordy : Hallo, Assalamu'alaikum. Apa kabar, Tantri?
Tantri : Waalaikumsalam. Lo mau nanya kabar gue atau Rara?
Pertanyaan Tantri yang to the poin membuat Jordy salah tingkah meski tidak kentara.
Jordy : Apa Rara, ada di samping kamu?
Tantri : Enggak, gue di rumah. Dia lagi di rumah sakit. Tangannya harus di gips!
Jordy : Separah apa?
Tantri : Apa kamu mencintai Rara? Lalu, untuk apa kamu ninggalin dia, tanpa mengatakan perpisahan? Sekarang, untuk apa cari tau tentang dia? Kamu tau dia terluka akibat kepergian kamu! Gue yang dulu jadi musuh bebuyutan dia saja paham!
Tantri terus berbicara, tanpa memberikan kesempatan Jordy untuk mengatakan satu patah kata.
Tantri : Enggak usah telepon gue, deh. Yang ada nanti, Rara marah sama gue. Udah dulu ya! Bye.
Tantri memutuskan sambungan telepon secara sepihak, membuat Jordy bingung.
"Tadi baik-baik saja! Kenapa berubah drastis dalam hitungan menit!" oceh Jordy, sambil menatap ponselnya.
"Banting .... banting aja!" Rama sekarang jadi tukang kompor di sambut Mariana yang tukang belanja, "Beli baru, gress!"
Jordy ingin sekali melempar kedua sahabatnya dengan ponsel miliknya namun, dia berusaha sabar agar terlihat berwibawa.
Jordy : Tantri, saya butuh bantuan kamu. Hanya kamu yang bisa. Pleeease!
Setelah mengirim pesan, Jordy duduk dan meminum kopi milik Rama hingga tandas dan tiba-tiba jatuh tersungkur.
Jordy langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dan segera mendapatkan pertolongan dari team dokter.Mengetahui Jordy pingsan setelah menenggak kopi yang diperuntukkan Rama. Rama langsung meminta ruangan diamankan dan tidak boleh ada yang masuk sebelum hasil pemeriksaan dokter keluar.Setelah hasil pemeriksaan keluar, Rama melapor pada polisi. Karena terindikasi ada racun yang mematikan. Jordy beruntung, karena langsung menegak habis kopi itu. Apabila di sesap beberapa kali nyawanya dipastikan akan langsung hilang di tempat.CCTV diperiksa, OB dan security pun diperiksa. Membuat satu perusahaan heboh, saling curiga dan menduga-duga. Siapakah yang tega melakukan itu.Keadaan Jordy makin kritis, karena sisa racun masih ada di dalam lambungnya. Papa dan mama Jordy sangat khawatir akan ko
"Kamu enggak apa-apa, Nak?" tanya Bu Anggit yang bergegas mendekati anaknya. Rara hanya tersenyum ringan, dan menggelengkan kepalanya. Lalu berusaha untuk berdiri. "Maaf, saya yang salah. Tadi saya terburu-buru, karena ada berkas yang tertinggal. Apa ada yang luka Mbak?" tanya lelaki di depan mereka. "Oh, ya maaf. Perkenalkan nama saya Bagas Aripin." Lelaki itu memperkenalkan diri. Pak Yunus memperhatikan lelaki muda di depannya, dengan pandangan teduh. "Mas dokter?" tanya Pak Yunus. Bagas hanya tersenyum lebar sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Saat ingin bertanya, seorang suster menghampiri Bagas. "Maaf dok, ini berkasnya. Maaf saya teledor." ujar suster itu dengan rasa bersalah. "Enggak apa-apa, Sus. Terimakasih, ya." Bagas tersenyum, dan suster itu pergi setelah mengucapkan salam. "Bu, Yah. Ayo!" ajak Rara. "Bapak mau kemana?" tanya Bagas ketika keluarga Pak Yunus hendak pergi "Mau pu
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
Sesampainya di kampus, Rara uring-uringan tidak henti. Dia akan diam ketika sedang memegangi bibirnya yang sudah tidak peraw*n lagi.Tantri yang melihat sahabatnya itu kesal, menghampirinya."Kenapa, apakah kepalamu sakit lagi?" Tantri khawatir mengenai keadaan Rara."Bukan hanya kepala, tapi semuanya." Rara tertunduk lesu, dan hanya membolak-balikan bukunya."Kamu mau minum apa?" Tantri menjauh ketika tanyanya tidak di jawab.Tantri tahu, jika Rara bukan sakit yang sebenarnya. Dia hanya bingung dengan perasaannya."Minum dulu, biar enggak galau." Tantri menyodorkan segelas minuman pada sahabatnya yang sedang tertunduk lesu."Tri, dugaanmu benar. Bagas melamarku, tadi dia berani menciumku!" Rara menutup wajahnya dan terdengar isakan."Uhuk! Uhuk!" Tantri tersedak jus yang baru saja diminumnya. "Ternyata, agresif juga tu duda!" Kali ini, Tantri tertawa."Cinta tidak bisa berpaling
Bu Fitri hanya bisa mengomel melihat kelakuan anaknya yang berubah drastis ketika bersama Rara. Awalnya dia berharap jika Rara bisa menggantikan Sinta, seperti keinginan almarhumah menantunya. Di sofa depan, Pak Arief hanya mengulum senyum melihat tingkah istrinya yang memegang sapu. Angannya melayang ke masa lalu, yang belum baik dan ketika itu Bagas masih kecil. Betapa bandelnya Bagas saat itu, membuat ibunya selalu naik darah. "Pa, gimana itu?" Bu Fitri bertanya pada suaminya yang sedang berpura-pura membaca koran. "Biarkan saja dulu, jika mereka jodoh dan bisa menikah. Lagi pula, Rara senang merawat Abimanyu." Pak Arief meletakkan korannya, dan menatap istrinya. "Mah, kita pergi ke Malang, yuk!" ajak Pak Arief. Bu Fitri tidak menjawab, dia seakan-akan memikirkan sesuatu dari ajakan suaminya. "Hmmm apa hanya kita berdua?" tanya Bu Fitri kemudian. "Gimana kalau kita ajak Pak Yunus dan Bu Anggit." t
"Aku menunggu Rara!" ucap Sinta dengan menahan sakit yang dia rasakan.Bagas hanya mendengkus kasar, bingung cara memaksa Sinta yang sudah tidak berdaya."Mas, aku mohon. Ini yang terakhir kalinya!" Sontak saja, Bagas marah dengan apa yang di katakan istrinya."Ngomong apa kamu!" Bagas membentak istrinya.Bagas berdiri dan menjauh dari ranjang, memandang ke arah luar dengan hati bergetar. Dia tahu, istrinya sudah berusaha bertahan hingga kini. Namun, dirinya masih belum bisa menerima kenyataan yang ada. Meskipun dia tidak mencintai Sinta akan tetapi, rasa sayangnya sangatlah dalam.Lamunan Bagas buyar ketika langkah kaki yang cepat mendekat."Mbak ... mbak! Mbak bisa dengar aku, hiks!" Rara memanggil Sinta dengan suara is akan yang tertahan."Pak! Kenapa enggak langsung membawa Mbak Sinta kerumah sakit!" Rara langsung mengamuk pada Bagas, begitu lelaki tinggi itu mendekat.N
"Ada apa dengan tu bocah?" tanya Rara dengan mulut menggap-menggap.Seketika ruangan menjadi hening, hanya beberapa pasang mata yang menatap tajam ke arah Rara. Rara diam, ketika semua orang menatapnya namun, dia lekas menyadarkan diri dan mendekati si bayi yang di panggilnya bocah. Di perhatikan wajahnya, tapi tidak ada yang aneh. Hanya matanya yang memerah."Yah!" Rara membalikan tubuhnya, memanyunkan bibirnya dan melempar tatapan tajam pada Ayahnya."Tadi, bayi itu enggak bisa diem. Tanya aja semua, tu juga sama suster." tunjuk Pak Yunus.Rara hanya menghembuskan napasnya kasar. "Mana ada bayi aneh gini!" geramnya."Maksud kamu apa?" tanya Bagas, dia berdiri danendekati Rara dengan menaikan dagunya."Bu, aku mau pindah aja! Ngontrak di mana saja, jangan dengan dia!" tunjuk Rara pada Bagas."La kok malah berantem?" Mamanya Bagas menengahi."Saya mohon maaf Bu Fitri." Bu Anggit m
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah