Setiap hari mereka habiskan dengan bercanda dan tertawa, tanpa melepaskan pegangan tangan mereka disaat mereka sedang bersama. Gunjingan para tetangga sampai di telinga, Bu Ratna. Namun, dia tidak bertindak. Bu Ratna berpikir jika, Jordy dan Rara menganggap hubungan mereka seperti kakak adik. Lagi pula tiga hari ke depan mereka akan pindah.
"Jo, kamu pacaran dengan, Rara?" tegur, Bu Ratna ketika, Jordy baru pulang sekolah.
Jordy menatap, ibunya lama.
"Enggak, Bu. Jordy tetap seperti biasa, hanya saja--," Jordy menghentikan, ucapanya.
Ibunya menarik tangan, Jordy untuk duduk. Menanti kelanjutan cerita dari anaknya.
"Terus, hanya apa?" tanya, Bu Ratna kepo.
"Sebentar lagi, Kita'kan pindah. Jo, ingin memberi kenangan terbaik untuk, Rara. Berharap suatu saat nanti, akan bersama lagi." ucapnya lirih dan berlalu dari hadapan, ibunya.
Bu Ratna, hanya bisa melihat punggung anaknya menjauh, sembari menghela nafas. Dia tahu jika hal ini berat untuk, Jordy dan Rara. Namun, apa daya. Semua demi keluarganya.
Jordy yang bingung dengan hatinya, terdiam. Memandang poto yang baru saja diambil, di taman kota. Dia benar-benar, jatuh cinta pada sahabatnya, itu. Bukan ... bukan karena perubahannya. Namun, karena terbiasa bersamanya. Dia memikirkan, bagaimana bisa hidup tanpa, Rara disampingnya.
Diseberang jalan, di kamarnya. Rara pun menatap poto, dirinya dan Jordy. Kemudian dia menulis di diary-nya, lalu menempel Poto itu dengan apik.
Rara beranjak dari ranjang kesayangannya, membantu ibunya yang tengah sibuk menerima pesanan. Ya, ibunya Rara berjualan secara online, untuk tambahan kuliah anaknya kelak. Rara selalu sigap membantu ibunya.
****
Hari perpisahan sudah dekat tapi, Jordy belum juga memberitahu, Rara. Dia bingung bagaimana caranya. Ketika dia akan berbicara, Rara mengajaknya bercanda dan membuatnya gagal memberitahunya. Berulang kali seperti itu membuat, Jordy bersedih.
Rara merasa kebersamaannya dengan, Jordy makin dekat. Dia berencana mengungkapkan perasaannya, besok. Tepat di hari ulang tahun mereka.
Rara mendapat suprise dari bapak dan ibunya, juga dari keluarga, Jordy. Namun semua masih baik-baik saja, hingga saat malam kian larut,
"Ini buat anak mama yang cantik," Bu Ratna menyodorkan kotak berwarna ungu. "Semoga kita tetap bersama," ujarnya lirih.
Rara sempat tertegun, ketika Bu Ratna mengucapkan kata 'Mama' ketika memberikan hadiah.
Tampak setitik air mata turun dari netra, Bu Ratna. Tak lama, ibunya pun menangis. Rara sempat heran dengan kedua ibu dihadapannya namun, jika Rara bertanya, mereka hanya menjawab terharu. Namun, kesedihan yang terpancar dari kedua ibu yang disayangi Rara berbeda.
"Ra, ikut aku sebentar." Jordy langsung menarik Rara.
Jordy lebih memilih diam, dan tidak mau bertengkar dengan, Rara. Sesampainya di taman, Jordy memeluk Rara tanpa sadar. Pelukan itu sangat erat membuat, Rara sesak. Namun, cepat di lepaskan Jordy, dan dia mengulurkan kotak kecil berwarna merah.
"Aku pasti akan datang, untukmu!" ujar, Jordy.
"Ini ada apa sih, kenapa semua sedih. Lagi pula, ya. Kenapa kamu ngajak ngobrolnya di sini?" tunjuk, Rara pada area taman.
"Ini ulang tahun kita, pasti aku bahagia." Rara merasa, ucapan Jordy datar dan dingin. "Kamu buka hadiah dariku!" pinta, Jordy.
Rara bergegas membuka kotak pemberian, Jordy. Matanya berbinar ketika melihat sepasang cincin ada di sana.
"Kamu pakai, sampai aku datang," perintah Jordy, sambil memakaikan cincin ke jari manis, Rara.
Saat, Rara ingin memakaikan cincin satunya pada, Jordy. Lelaki berperawakan tinggi dengan rambut tebal itu mencegahnya dan langsung memakainya sendiri.
"Boleh aku memelukmu, sekali lagi?" pinta, Jordy.
Rara, tersipu malu dengan permintaan, Jordy. Tanpa persetujuan Rara, Jordy memeluknya lagi, lama dan erat. Gadis tomboy itu, bingung harus bagaimana. Dia diam membiarkan, Jordy memeluknya.
"Ingat, tunggu aku ... tunggu aku," ucap Jordy, lalu melepaskan pelukannya.
Jordy menggenggam tangan Rara, dan kembali bergabung bersama keluarganya.
"Oya, Jo. Sebentar!" Rara, berlari masuk ke kamarnya.
Tak lama, Rara keluar dengan membawa sebuah kotak berukuran sedang.
"Aku hanya bisa memberikan ini," ucapnya malu.
Jordy menerimanya tanpa ekspresi membuat, Rara kesal. Ketika ingin marah, Ayah Jordy mengajak keluarganya pulang.
Ada raut kesedihan yang terpancar dari wajah keluarga Jordy, tidak seperti malam-malam dulu, saat merayakan ulang tahun anak-anak mereka.
"Yah, Bu. Kenapa pada sedih gitu, ya? Ibu juga nangis, dan enggak biasanya meluk, Jordy!" Rasa penasaran meliputi hati Rara, dan dia mulai bertanya.
"Sudah malam, kita tidur ya. Hadiah dari om dan Tante juga Melani simpan baik-baik!" perintah ayahnya.
Rara, masih penasaran. Namun, dia urungkan, karena malam sudah larut.
Rara, tertidur dengan rasa penasarannya. Sedangkan diseberang sana keluarga, Jordy bersiap-siap untuk pindah. Barang yang di bawa mereka tidaklah banyak, sehingga tidak butuh waktu untuk mengangkatnya.
Dua keluarga, saling support dalam derai air mata. Jordy meminta pada semuanya, untuk tidak memberitahu, Rara. Dia tidak ingin, Rara kecewa. Namun, semuanya salah. Justru, Rara sangat kecewa dan marah.
****
Kepergian, Jordy membuat luka tersendiri di hati, Rara. Dia bertanya, untuk apa cincin yang dia pakai saat ini, Namun, dia juga tidak mau melepaskan cincin itu dari jari manisnya. Kehidupan, Rara menjadi monoton tanpa kehadiran, Jordy. Ibu dan ayahnya, tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa mensupport anaknya dengan kemampuan mereka.
~Kediaman Pak Gunawan, Jakarta.~
Di lain kota, Jordy tersenyum membaca setiap lembar diary milik, Rara. Meskipun telah berulang kali hingga, Kak Melani bosan melihatnya.
Jordy memakai cincin couple, yang dia beli secara khusus dengan uang tabungannya. Saat ini, dia semakin giat belajar. Terlebih tentang bisnis, perlahan dia membangun bisnisnya sejak kelas tiga SMA, didukung oleh ibu dan ayahnya. Mereka tidak pernah melupakan keluarga, Rara. Hanya tidak pernah membahasnya.
Ketika kelulusan, sudah dekat. Bu Ratna teringat hutangnya pada, Bu Anggit. Entah bagaimana dia bisa melupakan hal sepenting itu, dia membicarakan hal ini pada suaminya. Ternyata, suaminya pun lupa. Mereka pernah di pinjami emas, untuk menutup kasus yang menimpa mereka. Bu Anggit dan Pak Yunus, tidak pernah menagihnya. Membuat mereka menjadi lalai.
Dua tahun telah berlalu, setelah kepindahan mereka. Baik, Jordy maupun Rara, masih saling menjaga hati mereka. Jordy, tak pernah absen membaca diary milik Rara, dan gadis tomboy itu tak pernah absen memandang rumah dan cincin pemberian, Jordy.
"Jo, kamu menyimpan nomor telepon, Bu Anggit enggak?" tanya, Bu Ratna pada putranya yang sedang melamun.
"E-enggak, Ma!" jawabnya tergagap.
"Kamu lagi ngapain sih? Jangan bilang sedang melihat sesuatu yang tidak baik!" ketus, Bu Ratna.
"Enggak, Ma. Aku lagi nyari tempat kuliah yang bagus dan supaya bisa memanage waktuku!" ucapnya santai namun, mengena.
"Kamu masih muda, nikmati masa mudamu. Jangan terlalu tenggelam dalam dunia pekerjaan, yang melalaikan!" Bu Ratna, memberikan nasihatnya.
"Ma, banyak anak muda yang melalaikan masa depannya, hanya demi masa muda yang hanya sesaat!" balasan telak dari, Jordy.
Bu Ratna tersenyum pada anak lelakinya.
"Keren, anak mama. Sudah tambah dewasa!" sanjung, Bu Ratna.
"Iya dong," jawab, Jordy pongah. "Oya, Mah. Kenapa mama tanya nomor, Ibu Anggit?" tanya, Jordy penasaran.
"Mama, mau bayar hutang, ya sudah kalau kamu enggak punya." Bu Ratna, menepuk pundak anaknya dan berlalu pergi.
Jordy, jadi tambah penasaran. Hutang apa yang di miliki oleh ibunya. Jordy membuka facebooknya dan mencari nama, Rara. Dari nama lengkap hingga nama panggilan tidak dia temukan.
"Apakah, dia tidak pernah main sosmed!" gumam, Jordy.
Hingga, Jordy teringat ketua tim basketnya, dulu. Di ketik di mesin pencarian nama dari Wibowo Angga Kusuma dan ketemu. Hati, Jordy berdebar-debar, ketika akan mengirimkan chat pada, Wibowo.
Berkali-kali, dia menghapus pesan yang akan dikirimnya dan hanya mengirimkan kata-kata salam. Setelah itu, Jordy menghembuskan nafas berat.
Chatting dengan temannya yang di kenal beberapa bulan, sudah membuat Jordy gerogi. Bagaimana jika dia berbincang dengan sahabat yang dia cintai! Pikir, Jordy.
Balasan, tidak langsung diterima oleh, Jordy. Sehingga dia menutup akunnya lagi, Jordy sudah memberikan nomor telepon miliknya agar mudah dihubungi, karena dia jarang membuka akun Facebooknya.
Jordy, masuk ke universitas ternama di Jakarta. Sedangkan Rara, diterima di universitas di kota tempat tinggalnya. Jordy dan Rara, memilih jurusan yang sama, tanpa berkomunikasi. Keterbatasan biaya, membuat Rara memilih kuliah di kota-nya.
****
Pagi itu, Jordy bersantai dirumahnya.
"Kamu enggak kuliah?" tanya, Kak Melani yang sedang menyantap mangga mudanya.
"Enggak kak, cuma ospek aja. Enggak ngaruh di penilaian!" jawab, Jordy datar. "Kak, ini masih pagi! Kenapa makan mangga muda, sih!" keluh, Jordy.
Kak Melani hanya tertawa mendengar ucapan adiknya yang manja.
"Kamu hebat, Dek! Usia seperti ini, sudah punya perusahaan sendiri. Meski, masih atas nama Papa." Puji, Kak Melani. "Kakak, liat. Kamu enggak pernah pacaran! Apakah kamu benar-benar cinta dengan, Rara yang tomboy itu?" tambah, Kak Melani dengan pertanyaan.
Jordy mendekati kakaknya dan meletakan jari telunjuknya di bibir kakaknya.
"Kakak, jangan ember, ya! Awas, jatah bulanan, enggak bakalan aku kasih!" ancam, Jordy.
Melani tertawa, saat tebakannya benar dan membuatnya leluasa memeras adiknya.
"Oke. Tapi, beliin kakak tas, ini." tunjuk, Kak Melani pada salah satu katalog di majalah yang dia baca.
"Dasar matre! Kenapa, Kak Iqbal mau dengan, Kakak!" keluh, Jordy dengan mengerucutkan bibirnya.
"Karena sama sepertimu!" ucap, Kak Melani dengan tawa terbahak-bahak, sehingga mencuri perhatian orang tua dan suaminya.
"Melani! Jangan godain adiknya!" sergah, ibunya.
"Habisnya, udah sebesar ini belum punya pacar, Bu!" Kak Melani, kembali meledek adiknya.
"Kak Iqbal, kenapa mau sih dengan Kakak Melani! MATRE!" Jordy balik mengejek, Kakaknya.
Semua tertawa namun, terhenti ketika suara dering ponsel berbunyi.
"Tu HP kamu! Cie ... cie, dari cewek!" ledek, Kak Melani.
"Hust!" cegah, Bu Ratna.
Jordy mengambil ponselnya, tidak ada nama yang tertera di layar ponselnya. Dia ragu saat menerima panggilan itu, takut ada yang iseng. Namun, akhirnya dia memutuskan untuk menerima panggilan itu,
"Wibowo?" ucapnya terkejut, ketika orang diseberang sana berbicara.
Terlihat di wajahnya, senyum melengkung indah. Membuat seisi rumah, menjadi penasaran. Sayangnya, Jordy masuk ke kamarnya dan berbincang di dalam, agar percakapannya tidak dapat didengar.
Ayah, ibu, kakak juga kakak iparnya menduga, jika yang sedang berbicara dengan, Jordy adalah pacarnya. Semua mereka tebak dari cara, Jordy menerima panggilan itu. Namun, semua terdiam ketika mengingat nama yang di sebut, Jordy. Mereka berempat saling pandang, dan menggelengkan kepala masing-masing. Menolak apa yang ada dipikiran, mereka."Mama, Papa, Kak Mey, Kak Iqbal! Kalian mau apa?" tanya, Jordy ketika membuka pintu kamarnya.Empat orang dewasa terjatuh ketika, mereka berusaha mencuri dengar percakapan, Jordy. Membuat empunya kamar kesal dan mereka hanya bisa tersenyum kaku."Kalian pasti mau nguping, ya? Mau ngapain sih!" tanya, Jordy gemas.Dari ke-empat orang itu, tidak ada satupun yang menjawab dengan benar. Alasan yang diutarakan semuanya, asal-asalan.
Jordy langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat dan segera mendapatkan pertolongan dari team dokter.Mengetahui Jordy pingsan setelah menenggak kopi yang diperuntukkan Rama. Rama langsung meminta ruangan diamankan dan tidak boleh ada yang masuk sebelum hasil pemeriksaan dokter keluar.Setelah hasil pemeriksaan keluar, Rama melapor pada polisi. Karena terindikasi ada racun yang mematikan. Jordy beruntung, karena langsung menegak habis kopi itu. Apabila di sesap beberapa kali nyawanya dipastikan akan langsung hilang di tempat.CCTV diperiksa, OB dan security pun diperiksa. Membuat satu perusahaan heboh, saling curiga dan menduga-duga. Siapakah yang tega melakukan itu.Keadaan Jordy makin kritis, karena sisa racun masih ada di dalam lambungnya. Papa dan mama Jordy sangat khawatir akan ko
"Kamu enggak apa-apa, Nak?" tanya Bu Anggit yang bergegas mendekati anaknya. Rara hanya tersenyum ringan, dan menggelengkan kepalanya. Lalu berusaha untuk berdiri. "Maaf, saya yang salah. Tadi saya terburu-buru, karena ada berkas yang tertinggal. Apa ada yang luka Mbak?" tanya lelaki di depan mereka. "Oh, ya maaf. Perkenalkan nama saya Bagas Aripin." Lelaki itu memperkenalkan diri. Pak Yunus memperhatikan lelaki muda di depannya, dengan pandangan teduh. "Mas dokter?" tanya Pak Yunus. Bagas hanya tersenyum lebar sembari menggaruk lehernya yang tidak gatal. Saat ingin bertanya, seorang suster menghampiri Bagas. "Maaf dok, ini berkasnya. Maaf saya teledor." ujar suster itu dengan rasa bersalah. "Enggak apa-apa, Sus. Terimakasih, ya." Bagas tersenyum, dan suster itu pergi setelah mengucapkan salam. "Bu, Yah. Ayo!" ajak Rara. "Bapak mau kemana?" tanya Bagas ketika keluarga Pak Yunus hendak pergi "Mau pu
~ Rumah sakit, Jakarta. ~Jordy mulai sadar dari komanya namun, dia belum pulih sepenuhnya. Dia masih merasa sakit di perutnya, ketika dia memegang perutnya. Jordy menyadari ada sesuatu di tangannya, begitu dia membuka tangannya."Kenapa cincin ini ada ditanganku?" Gumamnya yang di dengar oleh Bu Ratna."Kamu sudah sadar, Nak?" Wajah sembab Bu Ratna, mengalihkan perhatian Jordy."Maafkan Jordy, Ma." ujar Jordy."Emang kamu salah apa? Sudah, jangan bicara dulu. Kamu harus banyak istirahat." pinta Bu Ratna."Ma, apa Rara di sini?" tanya Jordy, ketika mamanya sibuk menyelimutinya.Bu Ratna memandangi anaknya dengan wajah kaget, mana mungkin Jordy tau tentang Rara yang datang."Iya, tapi cuma sebentar. Mereka ada perlu di Jakarta dan sekalian meriksain kepala Rara, kayaknya sih baik-baik saja, tapi--," Bu Ratna menghentikan kata-katanya."Tapi, apa Ma?" Jordy bertanya sembari menahan rasa sakit di perutnya."Entahlah
Di kamar, Jordi memandang diary milik Rara. matanya berkaca-kaca, dan berdegup kencang. 'Ra, aku salah. Akan tetapi, jangan menghukumku seperti ini. Sangat menyakitkan!' Jordi tersenyum masam dalam gumamanya.Jordi mengambil ponselnya, karena tadi terdengar suara pesan masuk beberapa kali. Wibowo! Nama itu tertera sebagai pemilik akun yang mengiriminya pesan. Begitu membukanya, mata Jordi mengambil.
Bagas terus memandangi Rara hingga dua jam lamanya, tanpa dia sadari ada sepasang mata yang berbinar melihat kelakuan manis sang dokter muda itu."A--aku di mana?" Rara terperanjat, melihat keadaan sekitar. "Ayah dan ibu ke mana?" Tambahnya lagi.Bagas tersenyum, melihat Rara kebingungan. Kemudian menghembuskan napasnya dengan panjang, "Kamu di rumah sakit! Kalau Orang tua kamu, aku suruh pulang! Mereka butuh istirahat." Bagas berdiri dan kembali ke mejanya. "Jika sudah merasa baikan, aku akan mengantar kamu pulang." Tambah Bagas kemudian.Rara menatap tajam ke arah Bagas, dia merasa aneh dekat dengan pria itu. Bukan karena dia memiliki istri, akan tetapi karena tatapannya mengingatkan dia pada Jordy."Aku ingin pulang sekarang dan tidak perlu di antar!" ucap gadis keras kepala itu.Rara duduk untuk menetralkan sakit kepala ketika berdiri, kemudian beringsut dari ranjang yang membuatnya tidur terlelap.Bagas berdecak, "Kamu mau orang tuamu m
Rara mengomel, karena tidurnya terganggu. Namun, mulutnya terkunci ketika melihat Bagas yang ada di luar rumah. "Kita pindah sekarang, Bu?" Rara sepertinya tidak ingin pindah. Bu Anggit yang membawa tas berisi pakaian, menghentikan langkahnya dan menatap putrinya lama. Kemudian mengangguk, ketika Bagas masuk ke dalam rumah mereka. "Semoga membawa berkah, ya." Bagas berucap ketika mengetahui keberatan Rara. Mereka semua sibuk mengangkat barang, sedangkan Rara hanya menatap tak berdaya. Padahal, tidak semua barang yang mereka bawa. Namun, tetap saja memenuhi mobil bak terbuka. "Mari!" ajak Bagas. Rara berdiri dan mengikuti langkah kedua orang tuanya. Lalu menatap sendu ke arah rumah lama jordy yang telah di tempati orang lain, dan memutar tubuhnya menatap rumah yang menjadi saksi perjalanan hidupnya, hingga hari ini. ~ Kediama
~ Rumah sakit, Semarang. ~Bagas langsung memarkirkan mobilnya dan membuka pintu belakang, meraih tubuh istrinya."Ayo!" Sinta mengajak Rara dengan mengulurkan tangannya.Entah mengapa, Rara menurut dan menggenggam tangan Sinta. Mengikuti langkah panjang Bagas yang tergesa-gesa, dan meneriaki suster penjaga. Sinta tidak meminta di temani oleh Bagas namun, oleh Rara ketika berada di ruang operasi.Bagas melongok tidak percaya, karena istrinya lebih memilih Rara untuk menemaninya dibanding dirinya sebagai suami."Ada apa dengan istrimu?" tanya mamanya, yang sama tidak percayanya dengan apa yang di lihatnya."Entahlah, Ma." Bagas duduk di kursi tunggu dengan frustasi, mengacak-acak rambutnya dengan kasar."Gas! Apa kamu menyukai gadis itu?" Kali ini, nada suara mamanya tidak enak di dengar."Ma, jangan bahas itu sekarang!" Bagas memohon."Ya Allah, Gas! Ma---mama," ucapan mama