Share

Bab 4

Madeline melihat ibunya sekilas, kemudian berbalik, berjalan ke luar.

Chiara tiba-tiba tersadar. Dia berjalan melewati ibunya, yaitu Helen, lalu menghalangi jalan Madeline.

"Kamu nggak boleh pergi. Jelaskan dulu soal foto itu."

Madeline mengangkat sebelah alisnya. "Apa lagi? Sama seperti apa yang kamu pikirkan dan lihat."

Sesaat setelah Chiara menggertakkan giginya dengan geram, ekspresinya pun menjadi tenang. "Dasar wanita murahan yang nggak tahu malu. Dengarkan baik-baik, Tuan Muda Zayden itu milikku, kami akan segera bertunangan. Namanya juga pria, apalagi pria yang memiliki status seperti Tuan Muda Zayden. Aku bisa mengerti kalau dia bermain-main sebelum bertunangan. Bagaimanapun, hal yang aku ketahui lebih banyak darimu, tapi jangan berharap kamu bisa merebutnya dengan satu kali tidur. Seandainya kamu bisa merebutnya dariku, kamu nggak mungkin diterima oleh Keluarga Linwood. Tuan Muda Zayden bukan pria yang dangkal."

Madeline tersenyum sinis. Menikahinya disebut dangkal?

Dia menyingkirkan Chiara, kemudian berjalan keluar dengan dagu terangkat.

Bukan Chiara yang menentukan apakah Madeline bisa mendapatkan Zayden.

Madeline naik taksi untuk pergi dari Kediaman Clover.

Di dalam mobil, Madeline mengeluarkan selembar foto dari dompetnya. Foto itu adalah foto keluarganya ketika Madeline berusia 18 tahun.

Mereka bertiga tersenyum begitu gembira, begitu bahagia dalam foto itu. Akan tetapi, seberapa bahagianya masa lalu, sekecewa itulah Madeline sekarang.

Ayah Madeline selalu mengatakan bahwa wanita yang paling dia cintai adalah Helen, lalu disusul oleh Madeline, putri kesayangannya.

Namun kurang dari seratus hari setelah ayah Madeline pergi, wanita yang paling dia cintai sudah menikah dengan Jett Clover.

Helen telah berubah setelah dia menikah lagi.

Madeline bisa mengerti inferioritas yang Helen rasakan sebagai janda. Akan tetapi, sebagai seorang istri, Helen seharusnya lebih mengerti suaminya dibandingkan siapa pun. Ayah Madeline meninggal secara tidak adil. Walaupun semua orang mencelanya, Helen tidak seharusnya tidak percaya pada mendiang mantan suaminya.

Bagaimanapun, mereka telah menjadi suami istri selama dua puluh tahun.

Madeline memejamkan mata, membuang napas, kemudian menyimpan foto tersebut ke dalam dompet. Dia mengeluarkan ponsel untuk menelepon seseorang.

"Pagi, Pak Zayden."

Suara pria itu terdengar dingin seperti biasanya. "Sudah siang."

"Aku pikir tadi malam kamu kelelahan dan seharusnya sekarang masih tidur."

Zayden yang sedang membaca dokumen di kantor pun menutup dokumennya. Tatapannya menjadi tajam. "Apakah kamu sedang meremehkan staminaku?"

"..."

Bukan itu maksud Madeline.

"Aku hanya mengira kamu belum bangun."

"Katakan, ada apa kamu meneleponku?"

"Malam ini, Pak Julius dari Grup Somore mengadakan sebuah pesta amal. Grup Somore adalah perusahaan yang menawarkan proyek Sterling, kita nggak boleh melewatkannya."

Zayden mengangkat sebelah alisnya. "Kamu yang nggak boleh melewatkannya. Menerima proyek Sterling atau nggak, nggak ada pengaruh pasti terhadap Grup Sinclair."

Tak bisa dimungkiri bahwa Madeline tidak bisa menyangkal hal tersebut.

Dengan kekayaan serta kekuasaan Grup Sinclair di Kota Bjorn, proyek Sterling itu memang bukan apa-apa. Bahkan dari sudut pandang Zayden, dia seharusnya berharap proyek itu dibatalkan. Dengan begitu, musuhnya dalam keluarga akan kalah telak tanpa perlu dia berusaha.

Madeline cekikikan. "Kalau begitu, tolong temani aku ya, Pak Zayden."

"Kamu benar-benar fleksibel demi menikah denganku."

"Mencapai tujuan dengan segala cara, bukankah itu kepercayaan kalian para pebisnis?" Madeline menggertakkan giginya ketika mengingat akibat yang ayahnya tanggung.

"Itu kepercayaanmu, bukan aku."

Madeline terkekeh pelan. "Oke, tapi karena aku sudah begitu berusaha, temani aku pergi, oke? Aku mohon," bujuk Madeline dengan suara manja.

Sebelah sudut bibir Zayden terangkat. Dia ingin melihat bagaimana cara wanita itu mendapatkan proyek tersebut.

"Temui aku di perusahaan, jam 5."

Madeline tidur sejenak di sebuah hotel terdekat.

Dia benar-benar lelah karena tidak tidur satu hari, satu malam.

Alarm ponsel berdering pukul empat sore. Madeline bangun, mandi, kemudian meninggalkan hotel. Dia pergi membeli pakaian, lalu merias wajahnya.

Karena Madeline memiliki tubuh yang indah, gaun pesta yang hanya seharga enam ratus ribu pun membuatnya terlihat elegan.

Madeline naik taksi ke Grup Sinclair. Setibanya di depan perusahaan itu, dia tidak masuk, melainkan hanya menelepon Zayden.

Zayden baru datang pukul enam, sepertinya dia sengaja.

Ketika Zayden melihat Madeline di dekat hamparan bunga dari jauh, matanya pun berbinar.

Wanita itu benar-benar mahakarya.

Saat melihat batang hidung Zayden, seulas senyum sontak terbit di wajah Madeline yang tadinya berekspresi dingin.

"Kamu terlambat, Pak Zayden."

"Kamu keberatan?" Zayden mengulurkan tangannya untuk menyingkirkan anak rambut pada kening Madeline. Gerakannya begitu natural.

Madeline sedikit memalingkan wajahnya. "Nggak. Ayo kita berangkat."

Madeline membuka pintu mobil Zayden. Ketika dia hendak masuk, Zayden mendorongnya ke jok belakang, kemudian memberi perintah kepada sopir. "Kamu turun dulu."

Sopir itu segera turun tanpa berani menoleh ke jok belakang. Dia menutup pintu mobil, kemudian menjauh.

Madeline mengernyit. "Apa yang sedang kamu lakukan, Pak Zayden?"

Zayden mencondongkan tubuhnya. "Dengan posisi kita sekarang, menurutmu apa yang akan aku lakukan?"

"Kita ada di depan perusahaanmu."

"Lalu?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status