Share

Bab 9

"Kamu pikir menikah denganku nggak memerlukan restu dari keluargaku?" Zayden mengangkat sebelah alisnya. "Kamu pikir Keluarga Linwood, yang walaupun bereputasi buruk, itu nggak punya aturan?"

Madeline terdiam.

Peralihan topik ini agak melenceng jauh. Bukankah tadi mereka sedang membahas masalah panggilan?

"Aku tahu."

Meskipun sekarang sudah malam dan hanya sedikit orang di rumah sakit, Madeline tetap merasa agak aneh digendong seperti itu.

"Turunkan aku saja, aku bisa jalan sendiri."

Zayden melihatnya sekilas. "Diam, jangan bicara."

Madeline cemberut. "Nggak tahu diuntung."

"Apa katamu? Katakan sekali lagi."

"Memangnya salah? Biarpun ada beberapa orang biasa yang nggak mengenalmu, kamu itu terkenal. Entah apa yang akan orang lain katakan kalau melihatmu menggendong seorang wanita. Aku ini memikirkan reputasimu, makanya ingin kamu turunkan aku."

Zayden memandang wajah Madeline. "Kalau begitu apakah aku harus berterima kasih kepadamu?"

"Nggak perlu, cukup turunkan aku saja."

Zayden memelototi Madeline.

Madeline mengatupkan bibirnya, tidak berbicara lagi.

Baiklah, dia agak takut dipelototi Zayden.

Zayden meletakkan Madeline di jok samping pengemudi, kemudian dia membawa Madeline pulang.

Di jalan, Zayden berkata, "Kakekku agak keras kepala, sedangkan nenekku lebih baik. Jadi besok jaga sikapmu di depan kakekku."

"Oke," jawab Madeline dengan bibir cemberut.

"Satu lagi, berikan daftar barang yang kamu inginkan ketika kita menikah. Aku akan menyuruh seseorang untuk menyiapkannya."

Madeline menatap Zayden. "Aku nggak mau apa-apa."

Zayden menyeringai lalu mendengus. Langka juga. Wanita lain memikirkan segala cara untuk berhubungan dengan Zayden demi mendapatkan sesuatu, Madeline malah tidak menginginkan apa pun?

"Kamu yakin?"

"Sangat yakin." Nada Madeline terdengar yakin. "Aku nggak membutuhkan apa pun. Selain itu, sebelum kita menikah, aku akan menandatangani surat perjanjian harta. Kamu yang tentukan lamanya pernikahan kita. Begitu waktunya sampai, kalau kamu ingin cerai, aku nggak akan menolak apalagi meminta uangmu sepersen pun."

Bila nanti terbukti bahwa kematian ayahnya tidak ada kaitannya dengan Grup Sinclair, maka Madeline tidak punya alasan untuk menggunakan uang Zayden.

Namun jika itu sebaliknya, Madeline pun tidak mungkin menggunakan uang sekotor itu. Dia merasa jijik.

Ekspresi Zayden menjadi lebih serius. "Cerai? Huh, kamu bahkan sudah merencanakan tahap itu, Madeline?"

"Aku hanya sedang memberimu jaminan agar kamu nggak khawatir wanita yang kamu nikahi itu mengincar uangmu."

Zayden terdiam sesaat, ekspresinya menjadi muram. Kalau begitu apa yang menjadi incaran Madeline?

Melihat mobil Zayden melaju ke arah hotel, Madeline segera berujar, "Sebaiknya aku kembali ke Apartemen Calibrata saja."

"Apa hubungan antara kamu dan Silas?" Zayden tidak menggubris permintaan Madeline, melainkan menanyakan hal yang mengganggunya.

"Teman."

"Antara pria dan wanita mana ada yang namanya teman?"

"Tapi kami memang teman." Madeline menatap Zayden dengan tatapan tegas. "Aku dan Silas beranjak dewasa bersama."

"Huh."

Madeline tidak menyukai nada Zayden.

"Zayden, apakah kamu pernah ditipu wanita sebelumnya? Kenapa kamu begitu sulit untuk percaya pada orang lain?"

Zayden melirik Madeline.

Madeline pikir Zayden meliriknya karena masalah panggilan, jadi dia cemberut sambil berkata, "Tadi aku tanya aku harus memanggilmu apa, tapi kamu sendiri yang mengalihkan topik pembicaraan."

"Mungkinkah pria playboy seperti Silas mengabaikan wanita cantik yang ada di sisinya dengan hanya berteman denganmu?"

Ternyata Zayden kesal karena hal itu.

Madeline mencondongkan tubuhnya, lalu dia mengulas senyum. "Apakah kamu sedang memujiku cantik?"

Zayden mengangkat sebelah sudut bibirnya. "Jangan mengalihkan topik."

Madeline duduk tegak, kemudian tersenyum. "Aku dan Silas benar-benar teman. Dia bukan tipeku, aku juga bukan tipenya. Sebenarnya kami lebih seperti saudara. Kami bisa berjauhan dengan satu sama lain, tapi ke mana pun salah satu dari kami pergi, kami akan selalu mengingat satu sama lain, berharap satu sama lain baik-baik saja, bahkan berkorban untuk satu sama lain."

"Saudara? Siapa lebih tua?"

"Aku lebih tua dua bulan darinya." Madeline mengedikkan bahunya. "Aku nggak akan memacari pria yang lebih muda dariku, itu prinsipku."

Mendengar ucapan Madeline, Zayden yang sedang menyetir pun mengangkat sebelah alisnya. "Aku nggak peduli apa prinsipmu, kamu cukup ingat kalau aku nggak mengizinkan wanitaku melirik pria lain."

Katanya, rasa posesif pria sangatlah mengerikan. Ternyata itu benar.

Mereka hanya berhubungan intim satu kali, menikah saja belum, tetapi Zayden sudah menyebut Madeline sebagai "wanitanya".

"Bagaimana kalau aku melakukannya secara nggak sengaja?" Madeline mengerucutkan bibirnya.

Zayden menghentikan mobil di pinggir jalan untuk memandang Madeline. "Coba katakan sekali lagi."

Melihat tatapan Zayden, Madeline tampak ragu. Tadi dia pasti gila sehingga mengatakan hal seperti itu. Dia menggeleng. "Nggak jadi."

Zayden membuka sabuk pengamannya, menurunkan sandaran jok Madeline, lalu menindih wanita itu.

Madeline sangat gugup hingga dia meremas sabuk pengamannya. "Jangan begini, aku hanya bercanda. Tadi dokter bilang dengan kondisiku sekarang, aku nggak boleh melakukan itu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status