Share

Bab 10

Pandangan Zayden fokus pada wajah Madeline.

Zayden merasa bahwa dirinya adalah pria yang kendali dirinya kuat.

Bagaimanapun, tidak ada satu pun dari sekian banyak wanita yang berhasil naik ke atas ranjangnya.

Akan tetapi, kendali dirinya seolah menghilang entah ke mana di depan Madeline.

Zayden jelas-jelas tahu bahwa sekarang Madeline tidak bisa menerima dirinya, tetapi benaknya hanya memikirkan pemandangan ketika dia meniduri wanita itu tadi malam.

Apakah wanita ini beracun?

Atau ....

Namun, tidak masuk akal. Hari ini Zayden melihat banyak wanita di perusahaan, tetapi tidak ada satu pun yang dapat membuatnya merasa bergairah.

Melihat Zayden tidak berniat untuk menjauh dari atas tubuhnya, Madeline pun berujar lagi, "Bagian bawahku ada luka, nggak baik juga bagimu. Kalau kamu terinfeksi, bukankah itu akan memengaruhi kebahagiaanmu ke depannya?"

"Siapa yang bernyali besar tadi malam? Menjebak orang lain, tapi nggak tahu batas. Bukankah kamu pantas mendapatkannya?"

Madeline menatap Zayden dengan melas. Jadi, Zayden menyalahkannya kelewatan batas?

Saat ini, Madeline tidak boleh menyinggung Zayden atau dirinya yang akan sial.

"Omonganmu benar. Aku memang salah tadi malam."

Tadi malam ....

Madeline mana tahu bahwa alat itu begitu hebat.

Akhirnya dia sendiri yang kena getahnya.

"Aku salah. Aku jamin aku nggak akan mengulanginya lagi."

Melihat Madeline bersikap patuh, Zayden baru bangun dari atas tubuh Madeline, kembali ke jok pengemudi dan lanjut menyetir.

Madeline duduk tegak, lalu menghela napas lega dalam hati. Hm, benar, wanita yang baik itu seharusnya bisa bersikap fleksibel. Hal itu bukan apa-apa.

Pagi hari, Madeline terbangun di ranjang Zayden dengan lingkaran hitam pada bawah matanya. Meskipun pria itu tidak melakukan apa-apa kepadanya, bahu Madeline terasa pegal.

Karena tadi malam terlalu gugup, Madeline tidur tanpa mengubah posisi. Pantas saja bahunya sakit.

Kedua insan itu turun ke lantai bawah usai makan sarapan.

Madeline ikut Zayden ke perusahaan untuk mengurus kontrak Jembatan Sterling.

Pukul sebelas, Zayden membawa Madeline ke butik untuk membeli satu set pakaian. Setelah Madeline berganti pakaian, mereka pun pergi ke Kediaman Linwood.

Kediaman Linwood adalah bangunan bergaya taman yang relatif terkenal di Kota Bjorn.

Neneknya Zayden berasal dari Kota Fokosa, jadi dia menyukai bangunan tradisional khas Kota Fokosa.

Kakeknya Zayden sangat memanjakan istrinya, jadi dia membangun gunung palsu yang penuh dengan bebatuan, dilengkapi dengan paviliun dari taman Kota Fokosa untuk istrinya.

Begitu masuk, Madeline merasa seperti mengunjungi bangunan tradisional di Kota Fokosa.

Saat melihat Zayden, pembantu di rumah segera melangkah maju, lalu dengan hormat menyapa, "Halo, Tuan Muda."

"Apakah Kakek dan Nenek ada di rumah?"

"Tuan Besar sedang memberi makan burung beo di halaman belakang, Nyonya Besar sedang menonton film di ruang nonton."

Zayden berpikir sebelum berkata, "Persilakan Kakek pergi ke ruang nonton."

"Baik, Tuan Muda."

Setelah pembantu itu pergi, Madeline pun tak tahan untuk tidak berkomentar, "Rumah kalian ...."

Ucapannya terputus.

Zayden melirik Madeline. "Katakan apa yang ingin kamu katakan."

"Terlalu boros."

Zayden menyeringai. "Kamu tahu apa?"

"Benar, 'kan? Kalian hanya beberapa orang, tapi tinggal di rumah sebesar ini. Rasanya seperti keluarga pejabat pada zaman kuno. Aku merasa kalau baik keluarga pejabat maupun bangsawan dari zaman kuno itu sangat boros."

Mendengar Madeline mengungkapkan pikirannya, Zayden pun tersenyum tipis. "Sudah kubilang kalau kamu nggak paham. Rumah ini adalah bukti cinta kakekku kepada nenekku."

Kata-kata Zayden membuat Madeline terdiam sejenak.

Hubungan antara kakek dan neneknya Zayden memang menjadi topik hangat selama beberapa puluh tahun terakhir.

Mereka pergi ke ruang nonton. Sang nenek sedang menikmati film romantisnya.

"Nenek," panggil Zayden.

Sang nenek menoleh. Melihat cucunya pulang, wanita berusia 79 tahun itu pun tersenyum bak anak kecil. "Cucu kesayanganku, akhirnya kamu mengunjungi Nenek hari ini."

Kemudian tatapan sang nenek berlabuh pada wajah Madeline.

Mata sang nenek pun berbinar ketika melihat Madeline. "Hei, siapa gadis ini?"

Zayden menarik Madeline ke sisinya, lalu dia merangkul Madeline sembari berujar, "Perkenalkan, Nek, ini adalah gadis yang akan menikah denganku, Madeline."

Nenek menatap Madeline dengan puas. "Bagus, gadis ini cantik, selera cucuku memang bagus. Nak, sini, biar Nenek lihat."

Madeline menghampiri sang nenek dengan malu, lalu membungkuk. "Halo, Nenek."

"Hei, nggak perlu begitu sungkan. Beri tahu Nenek, apakah Zayden yang memaksamu atau kamu melakukannya dengan suka rela?"

Madeline tersenyum sembari berkata, "Aku suka rela."

"Kalau begitu oke. Kamu itu gadis pertama yang dibawa pulang oleh cucuku. Dia sudah nggak muda, jadi lebih baik kalian cepat menikah, lalu memberiku cicit."

"Menikah? Aku nggak setuju." Teriakan tegas tiba-tiba terdengar dari depan pintu.

Mendengar suara tersebut, beberapa orang itu menoleh, kemudian mendapati Tuan Besar Linwood berjalan masuk dengan raut dingin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status