Lail menyeret masuk koper hitam besar yang susah payah ia bawa dari lantai bawah. Ini pertama kalinya gadis itu membawa barang seberat itu dengan tangannya sendiri.
"Huh, hah," napas Lail terdengar memburu saat memasuki tempat tinggalnya yang baru. "Bahkan tempat tidur ini terlihat sangat usang," katanya berkomentar. Salim hanya memberikan Lail uang sebanyak 10 juta sebagai uang hidup sebelum putrinya bisa menerima gaji pertamanya bulan depan. Semua kartu kredit dan black card yang biasa Lail pakai telah disita sepenuhnya. Semua mobil dan transportasi juga sudah ditangguhkan. Lail juga dilarang membawa semua barang branded nya. Tas, sepatu, dan pakaiannya yang biasanya bernilai ratusan juta kini tak boleh ia kenakan lagi. Lail membongkar koper yang telah disiapkan oleh Mamanya, "Ah gila, yang benar saja. Ini baju apaan?" tanya Lail bergumam. Satu koper penuh dengan pakaian sederhana ala wanita kantor. Sebuah kemeja polos dan celana panjang, ada juga beberapa rok polos yang terlihat kusam. Kedua orang tuanya benar-benar totalitas menjadikannya seorang gadis miskin. "Apa aku cari tahu dulu bagaimana cara menjadi orang miskin? Aku kan harus segera beradaptasi." Tekad Lail menggebu-gebu, dia ingin sekali membuktikan pada Ayahnya bahwa dia sangat mampu. Kruk.. Perut Lail berbunyi tatkala dia hendak menyalakan komputernya, "Aku lapar, apa sebaiknya aku makan dulu?" tanya Lail pada dirinya sendiri. Dia mengangguk pelan, "Benar, langkah pertama dalam berperang adalah mengisi amunisi. Tentu saja aku harus mengisi perutku dan memastikan hidup dengan layak!" katanya berujar mantap, tangannya mengepal seperti gaya memberi semangat pada umumnya. Lail merangsek keluar dari kamar kosnya. Gadis itu menuruni tangga dan berjalan ke luar. Ia memesan taksi dan mampir ke salah satu restaurant terdekat dari kos nya. Untuk kali pertama, Lail memeriksa dulu harga makanan di restaurant. Biasanya ia selalu makan apapun yang ia mau tanpa pernah mempertimbangkan harga makanannya. Kini ia paham bahwa semua yang ia makan harus sesuai dengan uang terbatas yang ia punya. "Ah gila," gumam Lail. Sudah tidak terhitung berapa kali gadis itu mengucap kata gila. Terlalu banyak hal di luar ekspektasi yang terjadi padanya. Satu porsi harganya tiga juta, batin Lail. Jika kehidupannya yang kemarin, makanan seharga tiga juta tidak berarti apa-apa. Tapi hari ini berbeda, Lail hanya memegang uang 10 juta untuk satu bulan ke depan. Ia tidak akan bisa makan nantinya jika uangnya habis dalam satu hari. Lail memutuskan keluar dari restaurant itu. Dia beralih mencari restaurant yang lebih murah. Pilihannya jatuh pada salah satu restaurant khas China yang menyajikan makanan dengan kisaran harga 300-500 ribu per porsi. "Aku rasa ini boleh juga," gumamnya pelan. *** Satu hari berlalu dan Lail telah menghabiskan dua juta uang sakunya. Hari ini merupakan hari pertama dia bekerja di salah satu kantor cabang milik keluarganya. Lail masuk sebagai salah satu pegawai di bagian pemasaran di perusahaan HAZA Group yang berfokus pada properti. "Permisi, ruangan HRD di mana?" tanya Lail pada resepsionis kantor. Dua wanita yang berprofesi sebagai resepsionis itu melihat sosok Lail dari ujung kepala sampai kaki. Kemudian memasang wajah meremehkan, "Di sana," jawab mereka singkat tanpa penjelasan lebih lanjut. Lail mengerutkan keningnya heran, gadis itu menoleh ke arah yang ditunjukkan oleh para resepsionis kantor. Kemudian dengan ragu-ragu ia berjalan ke sana. Lail melihat sebuah papan informasi di sana, ternyata para resepsionis itu tidak mengantarkannya pada ruangan HRD, tapi mengantarkannya pada papan informasi yang memuat semua lokasi dan informasi ruangan, ibaratnya peta perusahaan. Ternyata mereka ingin agar Lail mencari tahu sendiri ruangan HRD. "Mereka keterlaluan," cibir Lail. Ini kali pertama ia bertemu seorang resepsionis yang apatis seperti itu. Ingin sekali ia langsung memecatnya sekarang, tapi mengingat kembali perjanjian dengan Ayahnya, ia tidak mungkin melakukan hal itu dan membongkar rahasianya. "Lantai lima ruang 3D," kata Lail yang kemudian berjalan menuju lift kantor. Lail memencet tombol lift dan berdiri menunggu di depan pintu lift. "Hey, anak baru juga ya?" seorang gadis dengan rambut sebahu dan dua lesung pipi yang tergambar jelas di wajahnya saat tersenyum itu bertanya pada Lail. "Ah, iya." balas Lail tersenyum. "Mohon bimbingannya ya, aku rasa kamu orang yang bisa diandalkan," kata gadis itu lagi. Lail memiringkan wajahnya, "Aku? Dapat diandalkan? Kenapa?" "Tidak ada, hanya saja kamu terlihat seperti itu." kata gadis itu sembari menatap Lail dari ujung kepala hingga kaki. Lail lupa bagaimana ia berpakaian hari ini. Rambutnya yang bergelombang dengan warna sedikit kecoklatan diikat tanpa poni. Kacamata dengan lensa tebal menghiasi wajahnya, kemeja lengan panjang, celana hitam panjang, dan sepatu kulit yang tampak lusuh, serta tas kantor yang terlihat tua. Siapapun yang melihat akan menilainya sebagai orang kuno yang ketinggalan zaman. Berarti gadis yang ia temui beberapa menit yang lalu bisa disebut sopan dengan mengatakannya sebagai orang yang bisa diandalkan dari tampilan awalnya. "Kamu juga karyawan baru?" tanya Lail pada gadis itu saat pintu lift terbuka. "Iya, kenalkan namaku Bina, panggilan sayangku Binbin," gadis itu mengulurkan tangannya untuk berkenalan. "Aku Lail," katanya membalas uluran tangan Bina. Mereka berdua tiba di lantai lima. Langkah kaki mereka berjalan beriringan menuju ruang HRD. Sesampainya di sana, terlihat tiga orang lainnya yang diyakini merupakan karyawan baru juga. "Tolong berkumpul di sini!" teriak seorang wanita tua berumur 50- an tahun pada seluruh karyawan baru. Kelima karyawan baru termasuk Lail langsung berkumpul. Seoarang asisten yang berdiri di belakang wanita tua itu kini bergerak membagikan semua berkas ke setiap pegawai baru. "Silahkan pelajari dan pahami serta dalami SOP perusahaan ini. Detail perusahaan bisa kalian lihat di buku panduan yang telah dibagikan." jelasnya. Lail membuka buku panduan itu perlahan, tangannya berhenti saat melihat nominal gaji yang tertera. "Tujuh juta?" ucap Lail kelepasan. Suaranya yang terbilang besar membuat keempat rekan kerjanya yang lain menoleh ke arahnya. "Kenapa? Kamu kaget ya saking banyaknya? Anak perusahaan Salim Group memang terkenal loyal terhadap gaji pegawai. Pegawai baru seperti kita saja bisa dapat tujuh juta." sahut seorang pria dengan wajah cengegesan yang duduk di samping Lail. "Jangan ribut, silahkan baca secara seksama. Jam 9 tepat segera menuju ruang kerja kalian di bagian pemasaran," ucap Ibu bagian HRD yang sedari tadi bertugas sebagai penerima pegawai baru hari ini. Tujuh juta? Kenapa sedikit sekali? tanya Lail membatin.Kelima pegawai baru itu dengan cepat menuju ruang kerja di bagian pemasaean setelah penandatanganan penerimaan pegawai baru. Raut wajah Lail terlihat kusut dan lesu, kontras dengan wajah empat pegawai baru lainnya yang memancarkan senyum ceria dan sumringah. "Tujuh juta," gumam Lail. Sehari saja ia bisa menghabiskan satu juta lebih untuk makan dan transportasi. Akan semelarat apa hidupnya jika hanya dapat tujuh juta. Pikiran Lail terus berkecamuk sejak mengetahui nominal gajinya. Jangankan mengumpulkan uang 500 juta seperti yang dijanjikan, untuk hidup normal saja dia tidak yakin. Mereka berlima ditempatkan dalam satu team yang disebut tim B pemasaran. Saat ini mereka tengah merapikan tempat kerja mereka masing-masing sembari menunggu kedatangan ketua tim pemasaran yang nantinya akan mengarahkan mereka tentang perkerjaan mereka. "Sebelum ketua tim datang, ayo berkenalan," kata Bina memulai percakapan. "Ide yang bagus," sambung pria yang tadi sempat berbicara perihal gaji dengan La
"Apa mereka berbicara pada kita?" tanya Bina yang berdiri ketakutan di belakang Lail.Lail menyadarinya, Bina adalah gadis yang terlihat pering, berani dan penuh semangat. Tapi sebenarnya dia adalah gadis lugu yang penakut. "Jangan pedulikan, ayo kembali saja." kata Lail. Bina mengangguk dan mengikuti langkah Lail."Wah, si culun ini pura-pura tidak mendengarku ya?" suara Nana terdengar jelas di telinga Lail dan Bina. Beberapa rekan kerja Nana yang mendengar suara bising di depan ruangan mereka dengan cepat keluar. Mereka berdiri di samping Nana, menatap Lail dan Bina dengan penuh harap. Seakan-akan mereka adalah tontonan bagus yang dapat mereka nikmati hari ini. "Kamu bisa menyuruh pegawai yang bertugas membuat kopi, maaf, tapi kami punya pekerjaan lain," akhirnya Lail buka suara. Jika tidak membalas, bisa-bisa mereka tidak akan dibiarkan pergi oleh Nana dan rekan-rekannya yang lain. "Hahaha, ternyata kamu bisa melawan ya?" "Ini bukan perlawanan, ini hanya pengingat saja, kamu h
"Pakai uangku saja," potong Tamara saat Bina hendak bertanya lagi. Tamar dengan cepat mengeluarkan uangnya dan membeli beberapa botol minuman bersoda dari dalam Vending machine. Mereka berlima akhirnya tiba di kantin kantor. Karena tidak mengenal karyawan yang lain, mau tidak mau mereka duduk bersama. "Kalian mau pesan apa, biar aku yang pesankan." kata Bina berinisiatif. "Lail, kamu lihat apa?" tanya Dimas yang melihat Lail celingukan. "Bukankah seharusnya kita mengantri makanan? Seperti prasmanan dimana kita bisa ambil sendiri makanan yang kita mau. Tapi kenapa tidak terlihat tempat antri?" tanya Lail keheranan. "Hahaha," Bina dan Dimas tertawa terbahak-bahak. Sementara Hersa dan Tamara hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bina mengusap air matanya yang keluar akibat terlalu brutal saat tertawa melihat kepolosan Lail, "Kamu terlalu banyak menonton drama ya? Sistem makan seperti itu hanya ada di luar negeri, di Asia Timur atau di Eropa. Kalau di Indonesia mana ada kantin perusah
Lail langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah tiba di kosnya. Hari pertama sebagai seorang pekerja biasa ternyata cukup merepotkan. Matanya menatap lantai-lantai kamarnya yang begitu sederhana, polos tanpa gantungan lampu kristal seperti yang biasa ia lihat selama ini. "Aku lapar, tapi jika makan uangku tidak akan cukup sampai satu bulan ke depan," Lail bergumam sendiri. "Apa aku menyerah saja?" "Tidak, tidak, kenapa mentalku selemah ini? Aku kan keturunan Salim dan Prakusya. Aku harus bermental prajurit!" tegasnya menyemangati diri sendiri. Lail kemudian bangkit dari posisi tidurnya. Dia bergerak ke meja kecil yang terletak di pojok ruangan. Tangannya terulur menekan tombol power pada komputer di atas sana. "Mari belajar ulang bagaimana cara menjadi orang miskin!" katanya dengan penuh semangat. Lail mencari di internet seperti apa cara menghemat uang sebagai orang miskin. Dia juga mencari manakan apa yang dimakan untuk menghemat uang. "Mie instan? Ini makanan apa, be
"Hey tunggu!" Lail berlari mengejar pria itu. Gadis itu bahkan meninggalkan troli yang ia dorong sedari tadi. Terlalu lama jika dia harus mengantri untuk bayar, sementara pria yang ia kejar tidak mengantri di kasir untuk melakukan pembayaran karena sudah membayar secara online saat proses pembuatan mie cup tadi.Lail menarik jaket pria itu kuat, "Astaga, maaf, maaf." kata Lail cepat ketika menyadari tindakan bodohnya. Pria itu berbalik menoleh ke arah Lail."Itu, saya merasa bersalah, jadi biarkan saya membersihkan jaket anda." kata Lail lagi, bermaksud hendak melaundry jaket itu sebagai tanda permintaan maaf."Tidak perlu," balas pria itu singkat."Tapi saya su-"Perkataan Lail terhenti saat Pria itu berlari cepat ke belakangnya, dia masuk ke sebuah gang kecil di samping mobil yang terparkir. Laik yang menyaksikan aksi pria itu terkesiap beberapa detik hingga akhirnya ia ikut berlari mengikutinya.Sreg..."Siapa kamu?!" tanyanya penuh penekanan. Pria itu mencengkram leher seseorang d
Setelah belajar banyak hal baru semalam suntuk. Lail merasa lebih siap menjalani hari ini daripada hari sebelumnya. Darah keturunan Merissa mengalir di dalam nadinya, bagaimana mungkin dia akan menyerah secepat itu. "Huh, harus aku apakan jaket ini?" Lail memegang jaket hitam milik pria misterius yang ia temui semalam. Jangankan nomer telepon pria itu, namanya saja dia tidak tahu. "Sudahlah, yang penting aku laundry saja dulu." Lail memasukkan jaket itu ke dalam totebag kemudian bergegas keluar dari kos. Gadis itu menuruni tangga kosan dan berjalan menyusuri trotoar, dia berbelok ke kanan untuk mampir sebentar ke tempat laundry, kemudian melanjutkan perjalanannya sampai ke halte bus. Dia telah mensurvei dengan teliti tips berhemat seperti orang miskin. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah berhenti menaiki taksi dan mulailah menaiki kendaraan umum seperti bus. Langkah kaki Lail terhenti saat merasakan seseorang mengikutinya, ia menoleh ke belakang, Nihil, tak ada satupun orang
Setelah rapat perdana usai. Tim B dengan langkah lunglai berjalan kembali ke ruangan. Tidak dapat dipungkiri mereka akan kalah saing dengan Tim A. Itu benar-benar pertempuran yang tidak adil. Tim A telah mendalami konsep proyek Jalan Tol itu lebih dari dua bulan. Sementara tim B harus memahaminya hanya dalam waktu satu jam. Tentu saja Tim B kalah telak. "Benar-benar tidak adil. Ini namanya penyiksaan." kata Bina yang melihat tumpukan kertas data dan map berkas proyek dari luar ruangan. Tumpukan berkas itu terlalu banyak hingga menyerupai gunung-gunung yang menutup meja kerja tim B. "Tidak adil darimana? Kalian hanya tidak mampu." cibir Nana dari Tim A. "Jangankan untuk mengurus proyek utama Jalan Tol. Aku yakin kalian bahkan tidak bisa menyelesaikan sisa-sisa kerjaan di proyek sebelumnya. Aku ingatkan, kalau tidak salah ada 42 proyek yang harus kalian cek kembali dan perbaiki selama satu bulan. Aku akan bersujud pada kalian jika kalian berhasil menyelesaikannya." kata Nana perca
Lail menghembuskan napas lega. Dia hampir saja memencet tombol bahaya di jam tangannya. Tapi melihat wajah pria jaket hitam itu membuatnya merasa aman seketika. Padahal Laik tidak tahu pria itu jahat atau baik. Entah kenapa Laik seakan tersihir, dan merasa selama ada pria jaket hitam itu makan tidak akan terjadi apa-apa. "Hey, kamu panggil apa bos kami?" pria yang berwajah lebih mudah dari lainnya itu tak terima saat bosnya dipanggil dengan nama yang aneh. "Siapa?" tanya pria yang Lail panggil pria jaket hitam. Berbeda dengan Laik yang mengingat betul memon pertemuan pertama mereka, pria itu sama sekali tak mengenali Lail. "Ah benar juga," gumam Lail. Dia menyadari kalau mereka belum sempat berkenalan. "Kemarin kita bertemu di supermarket! Masa tidak ingat? Anda menjatuhkan kuah ke hoodie saya, ah bukan anda, tapi saya yang membuat kuah itu jatuh, ah bukan, itu" Lail terus mengoceh. "Mata-mata ini sangat berisik, apa kita buat pingsan saja. Bos bagaimana?" "Lepaskan di