"Apa mereka berbicara pada kita?" tanya Bina yang berdiri ketakutan di belakang Lail.
Lail menyadarinya, Bina adalah gadis yang terlihat pering, berani dan penuh semangat. Tapi sebenarnya dia adalah gadis lugu yang penakut. "Jangan pedulikan, ayo kembali saja." kata Lail. Bina mengangguk dan mengikuti langkah Lail. "Wah, si culun ini pura-pura tidak mendengarku ya?" suara Nana terdengar jelas di telinga Lail dan Bina. Beberapa rekan kerja Nana yang mendengar suara bising di depan ruangan mereka dengan cepat keluar. Mereka berdiri di samping Nana, menatap Lail dan Bina dengan penuh harap. Seakan-akan mereka adalah tontonan bagus yang dapat mereka nikmati hari ini. "Kamu bisa menyuruh pegawai yang bertugas membuat kopi, maaf, tapi kami punya pekerjaan lain," akhirnya Lail buka suara. Jika tidak membalas, bisa-bisa mereka tidak akan dibiarkan pergi oleh Nana dan rekan-rekannya yang lain. "Hahaha, ternyata kamu bisa melawan ya?" "Ini bukan perlawanan, ini hanya pengingat saja, kamu harus tahu cara membedakan tupoksi setiap pegawai." sahut Lail lagi. Nana mengepalkan tangannya saking terlalu kesal, "Kamu berani menceramahiku?" Lail mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Ia menyadari jika semakin lama terlibat dengan Nana bisa-bisa dia akan telat. Lail mengenggam pergelangan tangan Bina. Kemudian melangkah cepat meninggalkan Nana dan gerombolannya. "Hey!" pekik Nana dengan wajah yang sudah merah padam. Ia amat sangat tersinggung dengan perilaku Lail dan Bina barusan. Lail dan Bina akhirnya tiba di ruangan mereka. Ruangan yang cukup dekat dengan Tim A pemasaran. Ruangan Tim B dan tim A hanya dipisahkan oleh ruangan ketua tim. "Kalian telat!" suara menghakimi seorang wanita menekan kedatangan Lail dan Bina. Suasana di dalam ruangan terkesan sangat tidak bersahabat. Dimas, Hersa dan Tamara terlihat tertunduk ketakutan. "Cepat duduk!" perintah wanita itu lagi. Dengan patuh Lail dan Bina segera duduk di kursi kerja mereka. "Sungguh tidak profesional jika kalian telat di hari pertama. Jika ini terlurang lagi jangan harap aku akan lembek pada kalian."ucapan wanita itu membuat Lail tertohok. Ia ingin melakukan pembelaan, tapi wanita itu tidak memberinya kesempatan untuk berbicara. "Seperti yang kalian tahu. Tim B adalah tim baru yang dibentuk dalam divisi Pemasaran. Pak Manager berharap dengan dibentuknya kalian, hal ini dapat menguatkan branding perusahaan. Semoga tim pemasaran tahun ini bisa membawa banyak gebrakan positif yang akan membawa kejayaan bagi HAZA Group. Jika keberadaan kalian tidak menimbulkan perubahan yang signifikan maka lebih baik kalian dibubarkan saja," ucapan wanita itu membuat kelima pegawai baru saling tatap. "Apa itu artinya kita dipecat?" tanya Bina setengah berbisik. "Tidak dipecat, aku minta kalian mengundurkan diri." sambung wanita itu saat mendengar bisikan Bina. "Aku Serena, sebagai ketua tim A sebelumnya, dan kini harus mengurus tim kalian juga. Jadi jika kerjaan kalian tidak menyentuh standar tim A. Maka akan kupastikan kalian hengkang dari sini." kata Serena menutup pidato. *** "Kak Seren, apa anda mau kopi?" tanya Nana pada Serena yang baru saja keluar dari ruangan Tim B. "Nana memang pengertian ya," puji Seren. Nana dan Serena berjalan menuju dapur kantor, berniat membuat kopi sendiri. Sebenarnya memang ada petugas pembuat kopi untuk para karyawan. Biasanya mereka yang suka meracik sendiri lebih memilih untuk membuat sendiri kopi mereka. "Bagaimana kondisi anak-anak di Tim B?" tanya Nana. "Sangat menjengkelkan. Aku disuruh memegang dua Tim sekaligus, yang artinya pekerjaanku akan bertambah juga, tapi gajiku bahkan tidak bertambah sepeserpun. Benar-benar beban yang merepotkan." kata Seren pada Nana. *** Kelima anggota tim B setelah melakukan adaptasi dan perkenalan target perusahaan mereka keluar bersama saat jan istirahat. Mereka melangkah menuju kantin kantor. Semenjak pertemuan dengan Serena tadi, ikatan mereka semakin dalam karena rasa senasib dan seperjuangan yang terbentuk. "Hari ini menu kantor apa ya?" celetuk Dimas. "Aku dengar menu di kantin selalu enak. Aku tidak sabar," balas Bina. "Lail, apa menu makanan yang kamu inginkan?" tanya Bina pada Lail yang berdiri di sampingnya. "Aku tidak nafsu makan, aku hanya haus." balas Lail. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di HAZA Group, Lail sudah berjalan kesana kemari tanpa pernah minum sedikitpun. Kini ia merasa lelah dan dehidrasi. Bina dengan antusi menarik tangan Lail saat melihat Vending machine minuman yang berjarak beberapa meter di depan mereka. Bina melihat beberapa jenis meniuman di dalamnya. "Apa ini?" tanya Lail dengan polosnya. Tangannya menyentuh mesin di depannya. Keempat rekan kerjanya menatap tak percaya ke arah Lail. Manusia mana yang tidak tahu Vending machine, selama ini Lail hidup dimana, di goa? "Masukkan uangmu kalau kamu mau minum," ucap Bina menunjuk ke arah lubang tempat memasukkan uang. Lail terdiam sesaat, "Aku tidak punya uang." jawabnya polos. Sepanjang hidup Lail tak pernah membawa uang cash kemanapun, karena ia tidak perlu membayar untuk segala sesuatu yang dia inginkan. Pertama kali ia membawa uang cash untuk mekan adalah kemarin saat baru tiba di kos-kosannya. Itu pun Lail bawa karena Ayahnya hanya memberikannya uang 10 juta dalam bentuk cash. Selama 24 tahun kehidupannya, Lail tidak pernah merasa membutuhkan uang. Baik ketika di sekolah, tempat latihan musik, dan les-les lainnya, Lail tidak perlu membawa uang karena semua kebutuhannya sudah terjamin. Jadi Lail berpikir bahwa pergi bekerja juga tidak perlu membawa uang. "Kamu serius tidak punya uang?" tanya Bina. "Dia sepertinya sangat miskin ya," bisik Dimas pada Bina yang kemudian mendapat sikutan tajam dari Bina."Pakai uangku saja," potong Tamara saat Bina hendak bertanya lagi. Tamar dengan cepat mengeluarkan uangnya dan membeli beberapa botol minuman bersoda dari dalam Vending machine. Mereka berlima akhirnya tiba di kantin kantor. Karena tidak mengenal karyawan yang lain, mau tidak mau mereka duduk bersama. "Kalian mau pesan apa, biar aku yang pesankan." kata Bina berinisiatif. "Lail, kamu lihat apa?" tanya Dimas yang melihat Lail celingukan. "Bukankah seharusnya kita mengantri makanan? Seperti prasmanan dimana kita bisa ambil sendiri makanan yang kita mau. Tapi kenapa tidak terlihat tempat antri?" tanya Lail keheranan. "Hahaha," Bina dan Dimas tertawa terbahak-bahak. Sementara Hersa dan Tamara hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bina mengusap air matanya yang keluar akibat terlalu brutal saat tertawa melihat kepolosan Lail, "Kamu terlalu banyak menonton drama ya? Sistem makan seperti itu hanya ada di luar negeri, di Asia Timur atau di Eropa. Kalau di Indonesia mana ada kantin perusah
Lail langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah tiba di kosnya. Hari pertama sebagai seorang pekerja biasa ternyata cukup merepotkan. Matanya menatap lantai-lantai kamarnya yang begitu sederhana, polos tanpa gantungan lampu kristal seperti yang biasa ia lihat selama ini. "Aku lapar, tapi jika makan uangku tidak akan cukup sampai satu bulan ke depan," Lail bergumam sendiri. "Apa aku menyerah saja?" "Tidak, tidak, kenapa mentalku selemah ini? Aku kan keturunan Salim dan Prakusya. Aku harus bermental prajurit!" tegasnya menyemangati diri sendiri. Lail kemudian bangkit dari posisi tidurnya. Dia bergerak ke meja kecil yang terletak di pojok ruangan. Tangannya terulur menekan tombol power pada komputer di atas sana. "Mari belajar ulang bagaimana cara menjadi orang miskin!" katanya dengan penuh semangat. Lail mencari di internet seperti apa cara menghemat uang sebagai orang miskin. Dia juga mencari manakan apa yang dimakan untuk menghemat uang. "Mie instan? Ini makanan apa, be
"Hey tunggu!" Lail berlari mengejar pria itu. Gadis itu bahkan meninggalkan troli yang ia dorong sedari tadi. Terlalu lama jika dia harus mengantri untuk bayar, sementara pria yang ia kejar tidak mengantri di kasir untuk melakukan pembayaran karena sudah membayar secara online saat proses pembuatan mie cup tadi.Lail menarik jaket pria itu kuat, "Astaga, maaf, maaf." kata Lail cepat ketika menyadari tindakan bodohnya. Pria itu berbalik menoleh ke arah Lail."Itu, saya merasa bersalah, jadi biarkan saya membersihkan jaket anda." kata Lail lagi, bermaksud hendak melaundry jaket itu sebagai tanda permintaan maaf."Tidak perlu," balas pria itu singkat."Tapi saya su-"Perkataan Lail terhenti saat Pria itu berlari cepat ke belakangnya, dia masuk ke sebuah gang kecil di samping mobil yang terparkir. Laik yang menyaksikan aksi pria itu terkesiap beberapa detik hingga akhirnya ia ikut berlari mengikutinya.Sreg..."Siapa kamu?!" tanyanya penuh penekanan. Pria itu mencengkram leher seseorang d
Setelah belajar banyak hal baru semalam suntuk. Lail merasa lebih siap menjalani hari ini daripada hari sebelumnya. Darah keturunan Merissa mengalir di dalam nadinya, bagaimana mungkin dia akan menyerah secepat itu. "Huh, harus aku apakan jaket ini?" Lail memegang jaket hitam milik pria misterius yang ia temui semalam. Jangankan nomer telepon pria itu, namanya saja dia tidak tahu. "Sudahlah, yang penting aku laundry saja dulu." Lail memasukkan jaket itu ke dalam totebag kemudian bergegas keluar dari kos. Gadis itu menuruni tangga kosan dan berjalan menyusuri trotoar, dia berbelok ke kanan untuk mampir sebentar ke tempat laundry, kemudian melanjutkan perjalanannya sampai ke halte bus. Dia telah mensurvei dengan teliti tips berhemat seperti orang miskin. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah berhenti menaiki taksi dan mulailah menaiki kendaraan umum seperti bus. Langkah kaki Lail terhenti saat merasakan seseorang mengikutinya, ia menoleh ke belakang, Nihil, tak ada satupun orang
Setelah rapat perdana usai. Tim B dengan langkah lunglai berjalan kembali ke ruangan. Tidak dapat dipungkiri mereka akan kalah saing dengan Tim A. Itu benar-benar pertempuran yang tidak adil. Tim A telah mendalami konsep proyek Jalan Tol itu lebih dari dua bulan. Sementara tim B harus memahaminya hanya dalam waktu satu jam. Tentu saja Tim B kalah telak. "Benar-benar tidak adil. Ini namanya penyiksaan." kata Bina yang melihat tumpukan kertas data dan map berkas proyek dari luar ruangan. Tumpukan berkas itu terlalu banyak hingga menyerupai gunung-gunung yang menutup meja kerja tim B. "Tidak adil darimana? Kalian hanya tidak mampu." cibir Nana dari Tim A. "Jangankan untuk mengurus proyek utama Jalan Tol. Aku yakin kalian bahkan tidak bisa menyelesaikan sisa-sisa kerjaan di proyek sebelumnya. Aku ingatkan, kalau tidak salah ada 42 proyek yang harus kalian cek kembali dan perbaiki selama satu bulan. Aku akan bersujud pada kalian jika kalian berhasil menyelesaikannya." kata Nana perca
Lail menghembuskan napas lega. Dia hampir saja memencet tombol bahaya di jam tangannya. Tapi melihat wajah pria jaket hitam itu membuatnya merasa aman seketika. Padahal Laik tidak tahu pria itu jahat atau baik. Entah kenapa Laik seakan tersihir, dan merasa selama ada pria jaket hitam itu makan tidak akan terjadi apa-apa. "Hey, kamu panggil apa bos kami?" pria yang berwajah lebih mudah dari lainnya itu tak terima saat bosnya dipanggil dengan nama yang aneh. "Siapa?" tanya pria yang Lail panggil pria jaket hitam. Berbeda dengan Laik yang mengingat betul memon pertemuan pertama mereka, pria itu sama sekali tak mengenali Lail. "Ah benar juga," gumam Lail. Dia menyadari kalau mereka belum sempat berkenalan. "Kemarin kita bertemu di supermarket! Masa tidak ingat? Anda menjatuhkan kuah ke hoodie saya, ah bukan anda, tapi saya yang membuat kuah itu jatuh, ah bukan, itu" Lail terus mengoceh. "Mata-mata ini sangat berisik, apa kita buat pingsan saja. Bos bagaimana?" "Lepaskan di
Keempat pria yang duduk di depan Dio dan Lail menatap intens pertunjukan di depan mata mereka. "Apa sekarang Nona mata-mata akan berlari ketakutan seperti orang-orang sebelumnya?" bisik Zul pada Ogik yang duduk di sampingnya. "Hey Nona mata-mata, apa kamu tidak dengar?" Ogik bertanya. "Pergilah dari sini!" tekan Ogik sekali lagi. "Nona anda tidak kenapa-kenapa?" tanya si bungsu Rivaldi saat melihat Lail yang hanya diam terpaku menatap bosnya. "Dia sangat keren," gumam Lail terkagum melihat sosok Dio saat berbicara dengan nada serius. Zul, Ogik, Rival dan Galih saling bertukar tatap untuk beberapa waktu. "Aku tidak salah dengar kan?" "Iya, dia bilang keren," sahut Rival tak percaya. Lail melepaskan sendok makannya, dia beralih menatap intens ke arah Dio, "Aku telah meninjau proposal penawaran kerjasama di tahun-tahun sebelumnya. Jika menurutmu harga penawaran kami kurang, kami bisa menaikkannya sampai batas tertentu. Tanah milikmu menjadi satu-satunya kunci peng-"Brak! Dio me
"Ah, kamu mengagetkanku saja," protes Lail pelan. "Kenapa kamu kesini? Jangan bilang kamu mengkhawatirkanku?" tanya Lail dengan nada bercanda. Dio memasukkan kedua tangannya ke dalam saku cardingan hitam yang menutup tubuh besarnya, "Aku hanya lewat," jawabnya singkat. Lail diam sesaat, Dio pun sama hanya berdiri tanpa suara. Lail menunggu kalimat Dio selanjutnya, tapi Dio sama sekali tak buka suara. Dio hanya menatap lurus ke depan. Dia tidak tahu harus memulai darimana, karena sebelumnya tidak pernah berada dalam kondisi yang seperti itu. Dia sebenarnya mau ngapain? tanya Lail membatin."Jika kamu tidak berniat mengatakan apapun padaku, sepertinya kamu bisa pergi sekarang," kata Lail mengingatkan. Lagipula itu lebih baik daripada harus diam-diaman satu sama lain seperti itu. "Kamu bisa ikut denganku kalau mau," ucap Dio dengan pelan. "Huh, maafkan aku, tapi bisakah kamu memperbesar suaramu?" Lail hampir tak mendengar apa yang Dio katakan. "Menginaplah di tempatku kalau kamu m