Share

4. Kamu Sangat Miskin?

"Apa mereka berbicara pada kita?" tanya Bina yang berdiri ketakutan di belakang Lail.

Lail menyadarinya, Bina adalah gadis yang terlihat pering, berani dan penuh semangat. Tapi sebenarnya dia adalah gadis lugu yang penakut.

"Jangan pedulikan, ayo kembali saja." kata Lail. Bina mengangguk dan mengikuti langkah Lail.

"Wah, si culun ini pura-pura tidak mendengarku ya?" suara Nana terdengar jelas di telinga Lail dan Bina.

Beberapa rekan kerja Nana yang mendengar suara bising di depan ruangan mereka dengan cepat keluar. Mereka berdiri di samping Nana, menatap Lail dan Bina dengan penuh harap. Seakan-akan mereka adalah tontonan bagus yang dapat mereka nikmati hari ini.

"Kamu bisa menyuruh pegawai yang bertugas membuat kopi, maaf, tapi kami punya pekerjaan lain," akhirnya Lail buka suara. Jika tidak membalas, bisa-bisa mereka tidak akan dibiarkan pergi oleh Nana dan rekan-rekannya yang lain.

"Hahaha, ternyata kamu bisa melawan ya?"

"Ini bukan perlawanan, ini hanya pengingat saja, kamu harus tahu cara membedakan tupoksi setiap pegawai." sahut Lail lagi.

Nana mengepalkan tangannya saking terlalu kesal, "Kamu berani menceramahiku?"

Lail mengecek jam tangan yang melingkar di tangan kanannya. Ia menyadari jika semakin lama terlibat dengan Nana bisa-bisa dia akan telat. Lail mengenggam pergelangan tangan Bina. Kemudian melangkah cepat meninggalkan Nana dan gerombolannya.

"Hey!" pekik Nana dengan wajah yang sudah merah padam. Ia amat sangat tersinggung dengan perilaku Lail dan Bina barusan.

Lail dan Bina akhirnya tiba di ruangan mereka. Ruangan yang cukup dekat dengan Tim A pemasaran. Ruangan Tim B dan tim A hanya dipisahkan oleh ruangan ketua tim.

"Kalian telat!" suara menghakimi seorang wanita menekan kedatangan Lail dan Bina. Suasana di dalam ruangan terkesan sangat tidak bersahabat. Dimas, Hersa dan Tamara terlihat tertunduk ketakutan.

"Cepat duduk!" perintah wanita itu lagi. Dengan patuh Lail dan Bina segera duduk di kursi kerja mereka.

"Sungguh tidak profesional jika kalian telat di hari pertama. Jika ini terlurang lagi jangan harap aku akan lembek pada kalian."ucapan wanita itu membuat Lail tertohok. Ia ingin melakukan pembelaan, tapi wanita itu tidak memberinya kesempatan untuk berbicara.

"Seperti yang kalian tahu. Tim B adalah tim baru yang dibentuk dalam divisi Pemasaran. Pak Manager berharap dengan dibentuknya kalian, hal ini dapat menguatkan branding perusahaan. Semoga tim pemasaran tahun ini bisa membawa banyak gebrakan positif yang akan membawa kejayaan bagi HAZA Group. Jika keberadaan kalian tidak menimbulkan perubahan yang signifikan maka lebih baik kalian dibubarkan saja," ucapan wanita itu membuat kelima pegawai baru saling tatap.

"Apa itu artinya kita dipecat?" tanya Bina setengah berbisik.

"Tidak dipecat, aku minta kalian mengundurkan diri." sambung wanita itu saat mendengar bisikan Bina.

"Aku Serena, sebagai ketua tim A sebelumnya, dan kini harus mengurus tim kalian juga. Jadi jika kerjaan kalian tidak menyentuh standar tim A. Maka akan kupastikan kalian hengkang dari sini." kata Serena menutup pidato.

***

"Kak Seren, apa anda mau kopi?" tanya Nana pada Serena yang baru saja keluar dari ruangan Tim B.

"Nana memang pengertian ya," puji Seren.

Nana dan Serena berjalan menuju dapur kantor, berniat membuat kopi sendiri. Sebenarnya memang ada petugas pembuat kopi untuk para karyawan. Biasanya mereka yang suka meracik sendiri lebih memilih untuk membuat sendiri kopi mereka.

"Bagaimana kondisi anak-anak di Tim B?" tanya Nana.

"Sangat menjengkelkan. Aku disuruh memegang dua Tim sekaligus, yang artinya pekerjaanku akan bertambah juga, tapi gajiku bahkan tidak bertambah sepeserpun. Benar-benar beban yang merepotkan." kata Seren pada Nana.

***

Kelima anggota tim B setelah melakukan adaptasi dan perkenalan target perusahaan mereka keluar bersama saat jan istirahat. Mereka melangkah menuju kantin kantor. Semenjak pertemuan dengan Serena tadi, ikatan mereka semakin dalam karena rasa senasib dan seperjuangan yang terbentuk.

"Hari ini menu kantor apa ya?" celetuk Dimas.

"Aku dengar menu di kantin selalu enak. Aku tidak sabar," balas Bina.

"Lail, apa menu makanan yang kamu inginkan?" tanya Bina pada Lail yang berdiri di sampingnya.

"Aku tidak nafsu makan, aku hanya haus." balas Lail. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di HAZA Group, Lail sudah berjalan kesana kemari tanpa pernah minum sedikitpun. Kini ia merasa lelah dan dehidrasi.

Bina dengan antusi menarik tangan Lail saat melihat Vending machine minuman yang berjarak beberapa meter di depan mereka. Bina melihat beberapa jenis meniuman di dalamnya.

"Apa ini?" tanya Lail dengan polosnya. Tangannya menyentuh mesin di depannya. Keempat rekan kerjanya menatap tak percaya ke arah Lail. Manusia mana yang tidak tahu Vending machine, selama ini Lail hidup dimana, di goa?

"Masukkan uangmu kalau kamu mau minum," ucap Bina menunjuk ke arah lubang tempat memasukkan uang.

Lail terdiam sesaat, "Aku tidak punya uang." jawabnya polos. Sepanjang hidup Lail tak pernah membawa uang cash kemanapun, karena ia tidak perlu membayar untuk segala sesuatu yang dia inginkan. Pertama kali ia membawa uang cash untuk mekan adalah kemarin saat baru tiba di kos-kosannya. Itu pun Lail bawa karena Ayahnya hanya memberikannya uang 10 juta dalam bentuk cash.

Selama 24 tahun kehidupannya, Lail tidak pernah merasa membutuhkan uang. Baik ketika di sekolah, tempat latihan musik, dan les-les lainnya, Lail tidak perlu membawa uang karena semua kebutuhannya sudah terjamin. Jadi Lail berpikir bahwa pergi bekerja juga tidak perlu membawa uang.

"Kamu serius tidak punya uang?" tanya Bina.

"Dia sepertinya sangat miskin ya," bisik Dimas pada Bina yang kemudian mendapat sikutan tajam dari Bina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status