"Pakai uangku saja," potong Tamara saat Bina hendak bertanya lagi. Tamar dengan cepat mengeluarkan uangnya dan membeli beberapa botol minuman bersoda dari dalam Vending machine.
Mereka berlima akhirnya tiba di kantin kantor. Karena tidak mengenal karyawan yang lain, mau tidak mau mereka duduk bersama. "Kalian mau pesan apa, biar aku yang pesankan." kata Bina berinisiatif. "Lail, kamu lihat apa?" tanya Dimas yang melihat Lail celingukan. "Bukankah seharusnya kita mengantri makanan? Seperti prasmanan dimana kita bisa ambil sendiri makanan yang kita mau. Tapi kenapa tidak terlihat tempat antri?" tanya Lail keheranan. "Hahaha," Bina dan Dimas tertawa terbahak-bahak. Sementara Hersa dan Tamara hanya bisa menggelengkan kepalanya. Bina mengusap air matanya yang keluar akibat terlalu brutal saat tertawa melihat kepolosan Lail, "Kamu terlalu banyak menonton drama ya? Sistem makan seperti itu hanya ada di luar negeri, di Asia Timur atau di Eropa. Kalau di Indonesia mana ada kantin perusahaan seperti itu." kata Bina menjelaskan. "Jika pun ada sepertinya itu diperusahaan ternama. Atau diperusahaan cabang turunan dari negara China, Korea atau Jepang." timpal Dimas. Lail semalam sempat menonton banyak video menjadi pekerja kantoran biasa. Dari sana Lail belajar dan tahu hal-hal dan fasilitas umum seperti toilet, lift bersama, dan tempat mekan yang mengantri. Tentu saja pelajaran tentang Vending machine tidak ada di sana. Apa aku menonton video yang salah? batin Lail. "Sudahlah, ayo duduk dan pilih makanan kalian." ucap Bina lagi. Bina menyodorkan menu ke setiap rekan kerjanya, Lail mengerutkan keningnya tanda tak mengerti dengan nama-nama menu itu. Ini kali pertama dia membacanya. "Ayam Geprek?" tanya Lail kelepasan. Lail terheran-heran membaca menu Ayam yang begitu banyak, ayam bakar, ayam geprek, ayam rica-rica, lalapan ayam, steak ayam, dan masih banyak lagi ayam-ayam lainnya. "Oke, Lail satu ayam geprek." sahut Bina sembari mencatat pesanan bak pelayanan restaurant profesional. "Huh?" suara Lail terheran. Dia hanya bertanya-tanya seperti apa rupa ayam geprek. Dia bukannya bermaksud membelinya. Tapi Bina mengira Lail akan memesan menu tersebut. Lail membaca lagi secara sekilas semua menu yang ada di sana. Sebelum semua selesai memesan dia harus segera mengganti menu makannya. Lail melongo sejenak, kenapa tidak ada satupun makanan yang biasa ia makan di sana. Tidak ada salmon, tidak ada sup daging, dan tidak ada makanan khas yang biasa ia makan seperti biasanya. Hanya ada ayam, ayam dan mie-mie yang sama sekali tidak ia tahu. "Okey, kalau begitu aku antar kertas pesanan dulu ya!" kata Bina setelah semua menyebutkan pesanannya. Lail langsung menghela napas pasrah. Sudahlah, toh ia tidak tahu harus makan apa. "Sebentar, apa makan di sini juga kita bayar sendiri?" tanya Lail lagi. Dimas mengangguk, "Iya, yang gratis hanya kopi dan teh saja." "Astaga," jawab Lail pelan. "Benar juga, kamu kan tidak punya uang ya?" kata Dimas frontal, yang langsung mendapat sikutan tangan dari Tamara. "Tidak apa-apa, kamu bisa meminjam uangku dulu." kata Tamara pelan. *** Lail keluar dari gedung perusahaan HAZA Group saat waktu sudah menunjukkan tanda berakhirnya masa kerja. Lail terdiam sejenak, uang cash yang ia bawa tadi hanya ia gunakan untuk membayar taksi. Sekarang ia bingung sendiri bagaimana caranya untuk pulang. "Orang bodoh mana yang hanya membawa uang taksi untuk pergi dan tidak membawa uang taksi untuk pulang?" maki Lail pada dirinya. Gadis itu melihat sekelilingnya. Ia hanya berpikir bahwa tidak perlu membawa uang ke kantor. Ia lupa, bahwa untuk kembali dari kantor juga membutuhkan uang transportasi. Lail merasa sangat sial hari ini. Terlalu banyak yang tidak ia tahu. Ia bahkan sampai berutang pada Tamara. Selain itu, Lail merasa sedikit mulas karena kepedasan saat memakan ayam gepreknya tadi saat makan siang. "Nona, hey Nona kacamata!" teriak seorang supir taksi. Lail melihat ke arah sumber suara, gadis itu membenarkan kacamatanya, "Eh, bukannya dia supir taksi yang tadi pagi?" Supir itu berjalan mendekati Lail, "Untung saja kita bertemu, ini yang kembalian Nona tadi lagi, seratus ribu itu kebanyakan." kata supir taksi itu sopan. Kos-kosan Lail berjarak kurang dari 5 km ke perusahaan HAZA Group. Biaya perjalanan biasanya hanya 50 ribu. Lail melihat uang kembalian itu, sebenarnya dia tak tahu berapa yang harus dibayar untuk sekali naik taksi. Sejak kemarin saat ia mencari makan dan bolak balik ke kos nya, ia selalu memberi uang seratus ribu tanpa kembalian, jadi ia pikir itu juga akan sama. "Apa saya bisa kembali pulang dengan uang ini?" tanya Lail. Supir taksi itu sedikit tertawa, "Tentu saja." "Kalau begitu antar saya pulang kembali Pak!" Lail kembali menyodorkan uang kembalian itu. Bapak supir taksi dengan perawakan pendek dan tubuh lebar serta kumis tebal itu mengernyit sebentar. Bapak berumur 50-an tahun dengan name tag bertulis Ali itu berpikir sejenak hingga ia sadar maksud Lail. Ali hanya berpikir untuk mengembalikan uang Lail, tidak perkir jika Lail akan menumpangi taksinya lagi. "Sebenarnya berapa biaya perjalanan dengan taksi?" tanya Lail saat dia masuk ke dalam mobil taksi itu. "Murah, hanya 7.500 per kilometer Nona." kata supir itu sembari mengenakan sabuk pengamannya. "Owalah begitu rupanya," Supir taksi itu kembali terkekeh, "Anda seperti orang yang tidak pernah menaiki taksi saja." "Benar, ini kali pertama. Ini kali pertama aku membayar transportasi." jawab Lail dengan jujur. Lail berpikir sejenak, bukankah jika tarifnya memang seperti itu. Berarti dari kemarin dia telah dibodohi oleh tukang taksi. Perjalanannya mencari tempat makan tidak terlalu jauh tapi ketika dia menyodorkan uang seratus ribu dan beranjak pergi tanpa menunggu kembalian tidak pernah ada supir taksi yang menghentikannya sebagai mana Pak Ali menunggunya pulang bekerja hari ini. Dia orang yang baik, batin Lail.Lail langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur setelah tiba di kosnya. Hari pertama sebagai seorang pekerja biasa ternyata cukup merepotkan. Matanya menatap lantai-lantai kamarnya yang begitu sederhana, polos tanpa gantungan lampu kristal seperti yang biasa ia lihat selama ini. "Aku lapar, tapi jika makan uangku tidak akan cukup sampai satu bulan ke depan," Lail bergumam sendiri. "Apa aku menyerah saja?" "Tidak, tidak, kenapa mentalku selemah ini? Aku kan keturunan Salim dan Prakusya. Aku harus bermental prajurit!" tegasnya menyemangati diri sendiri. Lail kemudian bangkit dari posisi tidurnya. Dia bergerak ke meja kecil yang terletak di pojok ruangan. Tangannya terulur menekan tombol power pada komputer di atas sana. "Mari belajar ulang bagaimana cara menjadi orang miskin!" katanya dengan penuh semangat. Lail mencari di internet seperti apa cara menghemat uang sebagai orang miskin. Dia juga mencari manakan apa yang dimakan untuk menghemat uang. "Mie instan? Ini makanan apa, be
"Hey tunggu!" Lail berlari mengejar pria itu. Gadis itu bahkan meninggalkan troli yang ia dorong sedari tadi. Terlalu lama jika dia harus mengantri untuk bayar, sementara pria yang ia kejar tidak mengantri di kasir untuk melakukan pembayaran karena sudah membayar secara online saat proses pembuatan mie cup tadi.Lail menarik jaket pria itu kuat, "Astaga, maaf, maaf." kata Lail cepat ketika menyadari tindakan bodohnya. Pria itu berbalik menoleh ke arah Lail."Itu, saya merasa bersalah, jadi biarkan saya membersihkan jaket anda." kata Lail lagi, bermaksud hendak melaundry jaket itu sebagai tanda permintaan maaf."Tidak perlu," balas pria itu singkat."Tapi saya su-"Perkataan Lail terhenti saat Pria itu berlari cepat ke belakangnya, dia masuk ke sebuah gang kecil di samping mobil yang terparkir. Laik yang menyaksikan aksi pria itu terkesiap beberapa detik hingga akhirnya ia ikut berlari mengikutinya.Sreg..."Siapa kamu?!" tanyanya penuh penekanan. Pria itu mencengkram leher seseorang d
Setelah belajar banyak hal baru semalam suntuk. Lail merasa lebih siap menjalani hari ini daripada hari sebelumnya. Darah keturunan Merissa mengalir di dalam nadinya, bagaimana mungkin dia akan menyerah secepat itu. "Huh, harus aku apakan jaket ini?" Lail memegang jaket hitam milik pria misterius yang ia temui semalam. Jangankan nomer telepon pria itu, namanya saja dia tidak tahu. "Sudahlah, yang penting aku laundry saja dulu." Lail memasukkan jaket itu ke dalam totebag kemudian bergegas keluar dari kos. Gadis itu menuruni tangga kosan dan berjalan menyusuri trotoar, dia berbelok ke kanan untuk mampir sebentar ke tempat laundry, kemudian melanjutkan perjalanannya sampai ke halte bus. Dia telah mensurvei dengan teliti tips berhemat seperti orang miskin. Hal pertama yang harus dia lakukan adalah berhenti menaiki taksi dan mulailah menaiki kendaraan umum seperti bus. Langkah kaki Lail terhenti saat merasakan seseorang mengikutinya, ia menoleh ke belakang, Nihil, tak ada satupun orang
Setelah rapat perdana usai. Tim B dengan langkah lunglai berjalan kembali ke ruangan. Tidak dapat dipungkiri mereka akan kalah saing dengan Tim A. Itu benar-benar pertempuran yang tidak adil. Tim A telah mendalami konsep proyek Jalan Tol itu lebih dari dua bulan. Sementara tim B harus memahaminya hanya dalam waktu satu jam. Tentu saja Tim B kalah telak. "Benar-benar tidak adil. Ini namanya penyiksaan." kata Bina yang melihat tumpukan kertas data dan map berkas proyek dari luar ruangan. Tumpukan berkas itu terlalu banyak hingga menyerupai gunung-gunung yang menutup meja kerja tim B. "Tidak adil darimana? Kalian hanya tidak mampu." cibir Nana dari Tim A. "Jangankan untuk mengurus proyek utama Jalan Tol. Aku yakin kalian bahkan tidak bisa menyelesaikan sisa-sisa kerjaan di proyek sebelumnya. Aku ingatkan, kalau tidak salah ada 42 proyek yang harus kalian cek kembali dan perbaiki selama satu bulan. Aku akan bersujud pada kalian jika kalian berhasil menyelesaikannya." kata Nana perca
Lail menghembuskan napas lega. Dia hampir saja memencet tombol bahaya di jam tangannya. Tapi melihat wajah pria jaket hitam itu membuatnya merasa aman seketika. Padahal Laik tidak tahu pria itu jahat atau baik. Entah kenapa Laik seakan tersihir, dan merasa selama ada pria jaket hitam itu makan tidak akan terjadi apa-apa. "Hey, kamu panggil apa bos kami?" pria yang berwajah lebih mudah dari lainnya itu tak terima saat bosnya dipanggil dengan nama yang aneh. "Siapa?" tanya pria yang Lail panggil pria jaket hitam. Berbeda dengan Laik yang mengingat betul memon pertemuan pertama mereka, pria itu sama sekali tak mengenali Lail. "Ah benar juga," gumam Lail. Dia menyadari kalau mereka belum sempat berkenalan. "Kemarin kita bertemu di supermarket! Masa tidak ingat? Anda menjatuhkan kuah ke hoodie saya, ah bukan anda, tapi saya yang membuat kuah itu jatuh, ah bukan, itu" Lail terus mengoceh. "Mata-mata ini sangat berisik, apa kita buat pingsan saja. Bos bagaimana?" "Lepaskan di
Keempat pria yang duduk di depan Dio dan Lail menatap intens pertunjukan di depan mata mereka. "Apa sekarang Nona mata-mata akan berlari ketakutan seperti orang-orang sebelumnya?" bisik Zul pada Ogik yang duduk di sampingnya. "Hey Nona mata-mata, apa kamu tidak dengar?" Ogik bertanya. "Pergilah dari sini!" tekan Ogik sekali lagi. "Nona anda tidak kenapa-kenapa?" tanya si bungsu Rivaldi saat melihat Lail yang hanya diam terpaku menatap bosnya. "Dia sangat keren," gumam Lail terkagum melihat sosok Dio saat berbicara dengan nada serius. Zul, Ogik, Rival dan Galih saling bertukar tatap untuk beberapa waktu. "Aku tidak salah dengar kan?" "Iya, dia bilang keren," sahut Rival tak percaya. Lail melepaskan sendok makannya, dia beralih menatap intens ke arah Dio, "Aku telah meninjau proposal penawaran kerjasama di tahun-tahun sebelumnya. Jika menurutmu harga penawaran kami kurang, kami bisa menaikkannya sampai batas tertentu. Tanah milikmu menjadi satu-satunya kunci peng-"Brak! Dio me
"Ah, kamu mengagetkanku saja," protes Lail pelan. "Kenapa kamu kesini? Jangan bilang kamu mengkhawatirkanku?" tanya Lail dengan nada bercanda. Dio memasukkan kedua tangannya ke dalam saku cardingan hitam yang menutup tubuh besarnya, "Aku hanya lewat," jawabnya singkat. Lail diam sesaat, Dio pun sama hanya berdiri tanpa suara. Lail menunggu kalimat Dio selanjutnya, tapi Dio sama sekali tak buka suara. Dio hanya menatap lurus ke depan. Dia tidak tahu harus memulai darimana, karena sebelumnya tidak pernah berada dalam kondisi yang seperti itu. Dia sebenarnya mau ngapain? tanya Lail membatin."Jika kamu tidak berniat mengatakan apapun padaku, sepertinya kamu bisa pergi sekarang," kata Lail mengingatkan. Lagipula itu lebih baik daripada harus diam-diaman satu sama lain seperti itu. "Kamu bisa ikut denganku kalau mau," ucap Dio dengan pelan. "Huh, maafkan aku, tapi bisakah kamu memperbesar suaramu?" Lail hampir tak mendengar apa yang Dio katakan. "Menginaplah di tempatku kalau kamu m
"Mmh, kalian memang terlihat sedikit tidak sedap untuk dipandang," kata Lail ragu-ragu. Meski wajah mereka kadang terlihat baik. Lail harus tetap waspada mengingat kejadian saat dia disandera tadi. "Apa maksudnya tidak sedap dipandang?" tanya Ogik. "Maksudnya mungkin kita terlihat gagah dan menyeramkan." sahut Galih. "Benar, kami orang yang menyeramkan. Kamu harus tahu kami bukan orang sembarangan!" tekan Ogik. "Kenapa? Apa kalian seoarang preman? Mafia? Penjahat?" tanya Lail. Bug! Ogik meninju pintu yang berjarak setengah meter dari tempat Lail berdiri. Ogik sedikit mendekat ke arah Lail, "Kamu tau kami seorang penjahat, jadi jaga sikapmu baik-baik!" ancam Ogik. "Ayo kita kembali!" kata Ogik pada tiga pria lainnya. Lail mengerjap kaget atas kejadian singkat barusan. Dia menghela napas panjang kemudian segera menutup rapat pintu kamar itu. "Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini," kata Lail yang langsung merogoh ponselnya. Ia kembali mendengus kesal
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Hahaha," Lail tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu adalah orang pertama yang mengatakan aku orang kaya, padahal tampilanku begitu miskin seperti ini," kata Lail. Jika dia ingat kembali, semua karyawan HAZA Group tidak ada yang pernah bilang dia orang kaya, lebih banyak yang bilang dia kolot dan miskin. "Aku tidak pernah memandang kekayaan orang dari tampilannya." jawab Dio singkat. Aku lihat kamu mengelap tempat duduk dan meja saat datang, wajahmu terlihat kaku, apa tempat ini kotor? Tidak seperti tempatmu makan biasanya? Kamu bahkan memilih menu pasta tanpa melihat price tag nya. Tahukah kamu ini makanan paling mahal di sini? Orang miskin biasanya akan melihat harga dulu sebelum memesan, tapi orang kaya mereka akan memesan yang mereka suka tanpa memikirkan harganya. Kamu bilang pasta ini rasanya kuat? Bagi orang biasa yang makan, ini hal biasa yang sudah menyatu dengan lidah mereka. Tahukah kamu kenapa ini terasa menyengat di lidahmu? Karena lidah orang kaya lebih sensitif, orang
Dio langsung bergerak menolong Lail yang terkapar di tanah, "Apa yang kalian lakukan?!" kata Dio setengah berteriak. "Kenapa diam saja? Cepat ambilkan obat P3K!" bentak Dio lagi. Rival dan Zul segera berlari masuk mencari obat. Ogik hanya diam mematung. Dia merasa sangat bersalah hingga tidak bisa bereaksi apapun. Kecelakaan itu membuat pagi hari mereka lebih ribut dari hari biasanya. *** Lail menatap tak percaya kedua pergelangan tangannya yang dibungkus layaknya mumi oleh Galih. "Bagaimana caraku bisa hidup kalau begini?" Mata Lail mengerjap tak percaya melihat kedua tangannya yang terbungkus kain kasa. Belum lagi skill Galih yang tidak bersertifikat membuat bungkusan tangannya yang membulat mirip seperti bola bisbol. Tidak ada satupun jemari Laik yang terlihat karenanya. "Nona mata-mata, aku benar-benar minta maaf. Aku refleks jadi tidak sengaja," kata Ogik. Meski Ogik adalah lelaki yang menggebu-gebu dan sukar menahan amarahnya, tapi Dio selalu mendidiknya untuk menjad
"Mmh, kalian memang terlihat sedikit tidak sedap untuk dipandang," kata Lail ragu-ragu. Meski wajah mereka kadang terlihat baik. Lail harus tetap waspada mengingat kejadian saat dia disandera tadi. "Apa maksudnya tidak sedap dipandang?" tanya Ogik. "Maksudnya mungkin kita terlihat gagah dan menyeramkan." sahut Galih. "Benar, kami orang yang menyeramkan. Kamu harus tahu kami bukan orang sembarangan!" tekan Ogik. "Kenapa? Apa kalian seoarang preman? Mafia? Penjahat?" tanya Lail. Bug! Ogik meninju pintu yang berjarak setengah meter dari tempat Lail berdiri. Ogik sedikit mendekat ke arah Lail, "Kamu tau kami seorang penjahat, jadi jaga sikapmu baik-baik!" ancam Ogik. "Ayo kita kembali!" kata Ogik pada tiga pria lainnya. Lail mengerjap kaget atas kejadian singkat barusan. Dia menghela napas panjang kemudian segera menutup rapat pintu kamar itu. "Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini," kata Lail yang langsung merogoh ponselnya. Ia kembali mendengus kesal
"Ah, kamu mengagetkanku saja," protes Lail pelan. "Kenapa kamu kesini? Jangan bilang kamu mengkhawatirkanku?" tanya Lail dengan nada bercanda. Dio memasukkan kedua tangannya ke dalam saku cardingan hitam yang menutup tubuh besarnya, "Aku hanya lewat," jawabnya singkat. Lail diam sesaat, Dio pun sama hanya berdiri tanpa suara. Lail menunggu kalimat Dio selanjutnya, tapi Dio sama sekali tak buka suara. Dio hanya menatap lurus ke depan. Dia tidak tahu harus memulai darimana, karena sebelumnya tidak pernah berada dalam kondisi yang seperti itu. Dia sebenarnya mau ngapain? tanya Lail membatin."Jika kamu tidak berniat mengatakan apapun padaku, sepertinya kamu bisa pergi sekarang," kata Lail mengingatkan. Lagipula itu lebih baik daripada harus diam-diaman satu sama lain seperti itu. "Kamu bisa ikut denganku kalau mau," ucap Dio dengan pelan. "Huh, maafkan aku, tapi bisakah kamu memperbesar suaramu?" Lail hampir tak mendengar apa yang Dio katakan. "Menginaplah di tempatku kalau kamu m
Keempat pria yang duduk di depan Dio dan Lail menatap intens pertunjukan di depan mata mereka. "Apa sekarang Nona mata-mata akan berlari ketakutan seperti orang-orang sebelumnya?" bisik Zul pada Ogik yang duduk di sampingnya. "Hey Nona mata-mata, apa kamu tidak dengar?" Ogik bertanya. "Pergilah dari sini!" tekan Ogik sekali lagi. "Nona anda tidak kenapa-kenapa?" tanya si bungsu Rivaldi saat melihat Lail yang hanya diam terpaku menatap bosnya. "Dia sangat keren," gumam Lail terkagum melihat sosok Dio saat berbicara dengan nada serius. Zul, Ogik, Rival dan Galih saling bertukar tatap untuk beberapa waktu. "Aku tidak salah dengar kan?" "Iya, dia bilang keren," sahut Rival tak percaya. Lail melepaskan sendok makannya, dia beralih menatap intens ke arah Dio, "Aku telah meninjau proposal penawaran kerjasama di tahun-tahun sebelumnya. Jika menurutmu harga penawaran kami kurang, kami bisa menaikkannya sampai batas tertentu. Tanah milikmu menjadi satu-satunya kunci peng-"Brak! Dio me
Lail menghembuskan napas lega. Dia hampir saja memencet tombol bahaya di jam tangannya. Tapi melihat wajah pria jaket hitam itu membuatnya merasa aman seketika. Padahal Laik tidak tahu pria itu jahat atau baik. Entah kenapa Laik seakan tersihir, dan merasa selama ada pria jaket hitam itu makan tidak akan terjadi apa-apa. "Hey, kamu panggil apa bos kami?" pria yang berwajah lebih mudah dari lainnya itu tak terima saat bosnya dipanggil dengan nama yang aneh. "Siapa?" tanya pria yang Lail panggil pria jaket hitam. Berbeda dengan Laik yang mengingat betul memon pertemuan pertama mereka, pria itu sama sekali tak mengenali Lail. "Ah benar juga," gumam Lail. Dia menyadari kalau mereka belum sempat berkenalan. "Kemarin kita bertemu di supermarket! Masa tidak ingat? Anda menjatuhkan kuah ke hoodie saya, ah bukan anda, tapi saya yang membuat kuah itu jatuh, ah bukan, itu" Lail terus mengoceh. "Mata-mata ini sangat berisik, apa kita buat pingsan saja. Bos bagaimana?" "Lepaskan di