Share

5. Kali Pertama

"Pakai uangku saja," potong Tamara saat Bina hendak bertanya lagi. Tamar dengan cepat mengeluarkan uangnya dan membeli beberapa botol minuman bersoda dari dalam Vending machine.

Mereka berlima akhirnya tiba di kantin kantor. Karena tidak mengenal karyawan yang lain, mau tidak mau mereka duduk bersama.

"Kalian mau pesan apa, biar aku yang pesankan." kata Bina berinisiatif.

"Lail, kamu lihat apa?" tanya Dimas yang melihat Lail celingukan.

"Bukankah seharusnya kita mengantri makanan? Seperti prasmanan dimana kita bisa ambil sendiri makanan yang kita mau. Tapi kenapa tidak terlihat tempat antri?" tanya Lail keheranan.

"Hahaha," Bina dan Dimas tertawa terbahak-bahak. Sementara Hersa dan Tamara hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Bina mengusap air matanya yang keluar akibat terlalu brutal saat tertawa melihat kepolosan Lail, "Kamu terlalu banyak menonton drama ya? Sistem makan seperti itu hanya ada di luar negeri, di Asia Timur atau di Eropa. Kalau di Indonesia mana ada kantin perusahaan seperti itu." kata Bina menjelaskan.

"Jika pun ada sepertinya itu diperusahaan ternama. Atau diperusahaan cabang turunan dari negara China, Korea atau Jepang." timpal Dimas.

Lail semalam sempat menonton banyak video menjadi pekerja kantoran biasa. Dari sana Lail belajar dan tahu hal-hal dan fasilitas umum seperti toilet, lift bersama, dan tempat mekan yang mengantri. Tentu saja pelajaran tentang Vending machine tidak ada di sana.

Apa aku menonton video yang salah? batin Lail.

"Sudahlah, ayo duduk dan pilih makanan kalian." ucap Bina lagi.

Bina menyodorkan menu ke setiap rekan kerjanya, Lail mengerutkan keningnya tanda tak mengerti dengan nama-nama menu itu. Ini kali pertama dia membacanya.

"Ayam Geprek?" tanya Lail kelepasan. Lail terheran-heran membaca menu Ayam yang begitu banyak, ayam bakar, ayam geprek, ayam rica-rica, lalapan ayam, steak ayam, dan masih banyak lagi ayam-ayam lainnya.

"Oke, Lail satu ayam geprek." sahut Bina sembari mencatat pesanan bak pelayanan restaurant profesional.

"Huh?" suara Lail terheran. Dia hanya bertanya-tanya seperti apa rupa ayam geprek. Dia bukannya bermaksud membelinya. Tapi Bina mengira Lail akan memesan menu tersebut.

Lail membaca lagi secara sekilas semua menu yang ada di sana. Sebelum semua selesai memesan dia harus segera mengganti menu makannya. Lail melongo sejenak, kenapa tidak ada satupun makanan yang biasa ia makan di sana. Tidak ada salmon, tidak ada sup daging, dan tidak ada makanan khas yang biasa ia makan seperti biasanya. Hanya ada ayam, ayam dan mie-mie yang sama sekali tidak ia tahu.

"Okey, kalau begitu aku antar kertas pesanan dulu ya!" kata Bina setelah semua menyebutkan pesanannya. Lail langsung menghela napas pasrah. Sudahlah, toh ia tidak tahu harus makan apa.

"Sebentar, apa makan di sini juga kita bayar sendiri?" tanya Lail lagi.

Dimas mengangguk, "Iya, yang gratis hanya kopi dan teh saja."

"Astaga," jawab Lail pelan.

"Benar juga, kamu kan tidak punya uang ya?" kata Dimas frontal, yang langsung mendapat sikutan tangan dari Tamara.

"Tidak apa-apa, kamu bisa meminjam uangku dulu." kata Tamara pelan.

***

Lail keluar dari gedung perusahaan HAZA Group saat waktu sudah menunjukkan tanda berakhirnya masa kerja. Lail terdiam sejenak, uang cash yang ia bawa tadi hanya ia gunakan untuk membayar taksi. Sekarang ia bingung sendiri bagaimana caranya untuk pulang.

"Orang bodoh mana yang hanya membawa uang taksi untuk pergi dan tidak membawa uang taksi untuk pulang?" maki Lail pada dirinya. Gadis itu melihat sekelilingnya. Ia hanya berpikir bahwa tidak perlu membawa uang ke kantor. Ia lupa, bahwa untuk kembali dari kantor juga membutuhkan uang transportasi.

Lail merasa sangat sial hari ini. Terlalu banyak yang tidak ia tahu. Ia bahkan sampai berutang pada Tamara. Selain itu, Lail merasa sedikit mulas karena kepedasan saat memakan ayam gepreknya tadi saat makan siang.

"Nona, hey Nona kacamata!" teriak seorang supir taksi.

Lail melihat ke arah sumber suara, gadis itu membenarkan kacamatanya, "Eh, bukannya dia supir taksi yang tadi pagi?"

Supir itu berjalan mendekati Lail, "Untung saja kita bertemu, ini yang kembalian Nona tadi lagi, seratus ribu itu kebanyakan." kata supir taksi itu sopan. Kos-kosan Lail berjarak kurang dari 5 km ke perusahaan HAZA Group. Biaya perjalanan biasanya hanya 50 ribu.

Lail melihat uang kembalian itu, sebenarnya dia tak tahu berapa yang harus dibayar untuk sekali naik taksi. Sejak kemarin saat ia mencari makan dan bolak balik ke kos nya, ia selalu memberi uang seratus ribu tanpa kembalian, jadi ia pikir itu juga akan sama.

"Apa saya bisa kembali pulang dengan uang ini?" tanya Lail.

Supir taksi itu sedikit tertawa, "Tentu saja."

"Kalau begitu antar saya pulang kembali Pak!" Lail kembali menyodorkan uang kembalian itu.

Bapak supir taksi dengan perawakan pendek dan tubuh lebar serta kumis tebal itu mengernyit sebentar. Bapak berumur 50-an tahun dengan name tag bertulis Ali itu berpikir sejenak hingga ia sadar maksud Lail. Ali hanya berpikir untuk mengembalikan uang Lail, tidak perkir jika Lail akan menumpangi taksinya lagi.

"Sebenarnya berapa biaya perjalanan dengan taksi?" tanya Lail saat dia masuk ke dalam mobil taksi itu.

"Murah, hanya 7.500 per kilometer Nona." kata supir itu sembari mengenakan sabuk pengamannya.

"Owalah begitu rupanya,"

Supir taksi itu kembali terkekeh, "Anda seperti orang yang tidak pernah menaiki taksi saja."

"Benar, ini kali pertama. Ini kali pertama aku membayar transportasi." jawab Lail dengan jujur.

Lail berpikir sejenak, bukankah jika tarifnya memang seperti itu. Berarti dari kemarin dia telah dibodohi oleh tukang taksi. Perjalanannya mencari tempat makan tidak terlalu jauh tapi ketika dia menyodorkan uang seratus ribu dan beranjak pergi tanpa menunggu kembalian tidak pernah ada supir taksi yang menghentikannya sebagai mana Pak Ali menunggunya pulang bekerja hari ini.

Dia orang yang baik, batin Lail.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status