"Hahaha," Lail tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu adalah orang pertama yang mengatakan aku orang kaya, padahal tampilanku begitu miskin seperti ini," kata Lail. Jika dia ingat kembali, semua karyawan HAZA Group tidak ada yang pernah bilang dia orang kaya, lebih banyak yang bilang dia kolot dan miskin. "Aku tidak pernah memandang kekayaan orang dari tampilannya." jawab Dio singkat. Aku lihat kamu mengelap tempat duduk dan meja saat datang, wajahmu terlihat kaku, apa tempat ini kotor? Tidak seperti tempatmu makan biasanya? Kamu bahkan memilih menu pasta tanpa melihat price tag nya. Tahukah kamu ini makanan paling mahal di sini? Orang miskin biasanya akan melihat harga dulu sebelum memesan, tapi orang kaya mereka akan memesan yang mereka suka tanpa memikirkan harganya. Kamu bilang pasta ini rasanya kuat? Bagi orang biasa yang makan, ini hal biasa yang sudah menyatu dengan lidah mereka. Tahukah kamu kenapa ini terasa menyengat di lidahmu? Karena lidah orang kaya lebih sensitif, orang
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Yang benar saja? Menikah?!" pekik Lail di ruang keluarga. Suaranya yang setengah berteriak bahkan membuat para pelayan yang berdiri sejauh sepuluh meter darinya ikut terkejut. Ayah Lail memberi intruksi pada seluruh pelayan untuk keluar dari ruangan besar itu. Para pelayan dan bodyguard yang biasanya berdiri di samping lorong dan dinding ruangan kini perlahan menarik diri. Menyisakan Lail dan Ayahnya di ruang keluarga. "Bukan menikah, tapi tunangan saja,""Tunangan? Apa bedanya dengan menikah? Toh ujungnya menikah juga kan?" suara Lail tidak menurun satu oktaf pun. "Sayang, Ayah cuman mau kamu ada yang jaga. Lagipula Kenzo itu anak Pak Harto, dia orang baik-baik. Kamu sudah setua ini dan tidak pernah pacaran satu kalipun." ucap Salim pada anak satu-satunya. "Ayah, ini bukan zaman Siti Nurbaya, ini zaman modern. Orangtua mana yang masih menjodohkan anaknya seperti ini?" Lail benar-benar tak habis pikir dengan pikiran kolot Ayahnya. Padahal Ayahnya merupakan seorang tirani dan raks
Lail menyeret masuk koper hitam besar yang susah payah ia bawa dari lantai bawah. Ini pertama kalinya gadis itu membawa barang seberat itu dengan tangannya sendiri."Huh, hah," napas Lail terdengar memburu saat memasuki tempat tinggalnya yang baru."Bahkan tempat tidur ini terlihat sangat usang," katanya berkomentar.Salim hanya memberikan Lail uang sebanyak 10 juta sebagai uang hidup sebelum putrinya bisa menerima gaji pertamanya bulan depan. Semua kartu kredit dan black card yang biasa Lail pakai telah disita sepenuhnya. Semua mobil dan transportasi juga sudah ditangguhkan. Lail juga dilarang membawa semua barang branded nya. Tas, sepatu, dan pakaiannya yang biasanya bernilai ratusan juta kini tak boleh ia kenakan lagi.Lail membongkar koper yang telah disiapkan oleh Mamanya, "Ah gila, yang benar saja. Ini baju apaan?" tanya Lail bergumam. Satu koper penuh dengan pakaian sederhana ala wanita kantor. Sebuah kemeja polos dan celana panjang, ada juga beberapa rok polos yang terlihat ku
Kelima pegawai baru itu dengan cepat menuju ruang kerja di bagian pemasaean setelah penandatanganan penerimaan pegawai baru. Raut wajah Lail terlihat kusut dan lesu, kontras dengan wajah empat pegawai baru lainnya yang memancarkan senyum ceria dan sumringah. "Tujuh juta," gumam Lail. Sehari saja ia bisa menghabiskan satu juta lebih untuk makan dan transportasi. Akan semelarat apa hidupnya jika hanya dapat tujuh juta. Pikiran Lail terus berkecamuk sejak mengetahui nominal gajinya. Jangankan mengumpulkan uang 500 juta seperti yang dijanjikan, untuk hidup normal saja dia tidak yakin. Mereka berlima ditempatkan dalam satu team yang disebut tim B pemasaran. Saat ini mereka tengah merapikan tempat kerja mereka masing-masing sembari menunggu kedatangan ketua tim pemasaran yang nantinya akan mengarahkan mereka tentang perkerjaan mereka. "Sebelum ketua tim datang, ayo berkenalan," kata Bina memulai percakapan. "Ide yang bagus," sambung pria yang tadi sempat berbicara perihal gaji dengan La
"Apa mereka berbicara pada kita?" tanya Bina yang berdiri ketakutan di belakang Lail.Lail menyadarinya, Bina adalah gadis yang terlihat pering, berani dan penuh semangat. Tapi sebenarnya dia adalah gadis lugu yang penakut. "Jangan pedulikan, ayo kembali saja." kata Lail. Bina mengangguk dan mengikuti langkah Lail."Wah, si culun ini pura-pura tidak mendengarku ya?" suara Nana terdengar jelas di telinga Lail dan Bina. Beberapa rekan kerja Nana yang mendengar suara bising di depan ruangan mereka dengan cepat keluar. Mereka berdiri di samping Nana, menatap Lail dan Bina dengan penuh harap. Seakan-akan mereka adalah tontonan bagus yang dapat mereka nikmati hari ini. "Kamu bisa menyuruh pegawai yang bertugas membuat kopi, maaf, tapi kami punya pekerjaan lain," akhirnya Lail buka suara. Jika tidak membalas, bisa-bisa mereka tidak akan dibiarkan pergi oleh Nana dan rekan-rekannya yang lain. "Hahaha, ternyata kamu bisa melawan ya?" "Ini bukan perlawanan, ini hanya pengingat saja, kamu h
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Ada apa?" tanya Daniel yang melihat kedatangan Reyhan di pintu masuk ke ruang makan. "Bukankah kalian yang memanggilku kesini?" tanya Reyhan balik. "Huh, kapan kami memanggilmu?" tanya Janice yang sedang asyik menyantap makan malamnya. "Istriku bilang kalian mencariku, jadi aku sebaiknya makan malam di kediaman Dirgantara saja." kata Reyhan menimpali. "Aku yang memanggil kalian," suara rendah Hazel terdengar saat memasuki ruang makan. Reyhan, Janice dan Daniel menatap tak percaya saat mendapati sosok Hazel melangkah masuk. Dahulu, jika Hazel keluar dari percakapan seperti yang dilakukannya tadi pagi. Hazel tidak akan kembali ke kediaman 3 sampai 5 hari. Bahkan bisa sampai satu minggu. Ini pertama kalinya Hazel langsung kembali setelah beradu melarikan diri tadi pagi. Reyhan mengambil posisi duduk di sebelah saudarinya. Sementara Hazel duduk di depan 3 keluarga yang paling ia sayangi. "Maafkan aku," kata Hazel lirih. "Maafkan aku, karena tidak dewasa menyikapi perbedaa
"Hahaha," Lail tertawa terpingkal-pingkal. "Kamu adalah orang pertama yang mengatakan aku orang kaya, padahal tampilanku begitu miskin seperti ini," kata Lail. Jika dia ingat kembali, semua karyawan HAZA Group tidak ada yang pernah bilang dia orang kaya, lebih banyak yang bilang dia kolot dan miskin. "Aku tidak pernah memandang kekayaan orang dari tampilannya." jawab Dio singkat. Aku lihat kamu mengelap tempat duduk dan meja saat datang, wajahmu terlihat kaku, apa tempat ini kotor? Tidak seperti tempatmu makan biasanya? Kamu bahkan memilih menu pasta tanpa melihat price tag nya. Tahukah kamu ini makanan paling mahal di sini? Orang miskin biasanya akan melihat harga dulu sebelum memesan, tapi orang kaya mereka akan memesan yang mereka suka tanpa memikirkan harganya. Kamu bilang pasta ini rasanya kuat? Bagi orang biasa yang makan, ini hal biasa yang sudah menyatu dengan lidah mereka. Tahukah kamu kenapa ini terasa menyengat di lidahmu? Karena lidah orang kaya lebih sensitif, orang
Dio langsung bergerak menolong Lail yang terkapar di tanah, "Apa yang kalian lakukan?!" kata Dio setengah berteriak. "Kenapa diam saja? Cepat ambilkan obat P3K!" bentak Dio lagi. Rival dan Zul segera berlari masuk mencari obat. Ogik hanya diam mematung. Dia merasa sangat bersalah hingga tidak bisa bereaksi apapun. Kecelakaan itu membuat pagi hari mereka lebih ribut dari hari biasanya. *** Lail menatap tak percaya kedua pergelangan tangannya yang dibungkus layaknya mumi oleh Galih. "Bagaimana caraku bisa hidup kalau begini?" Mata Lail mengerjap tak percaya melihat kedua tangannya yang terbungkus kain kasa. Belum lagi skill Galih yang tidak bersertifikat membuat bungkusan tangannya yang membulat mirip seperti bola bisbol. Tidak ada satupun jemari Laik yang terlihat karenanya. "Nona mata-mata, aku benar-benar minta maaf. Aku refleks jadi tidak sengaja," kata Ogik. Meski Ogik adalah lelaki yang menggebu-gebu dan sukar menahan amarahnya, tapi Dio selalu mendidiknya untuk menjad
"Mmh, kalian memang terlihat sedikit tidak sedap untuk dipandang," kata Lail ragu-ragu. Meski wajah mereka kadang terlihat baik. Lail harus tetap waspada mengingat kejadian saat dia disandera tadi. "Apa maksudnya tidak sedap dipandang?" tanya Ogik. "Maksudnya mungkin kita terlihat gagah dan menyeramkan." sahut Galih. "Benar, kami orang yang menyeramkan. Kamu harus tahu kami bukan orang sembarangan!" tekan Ogik. "Kenapa? Apa kalian seoarang preman? Mafia? Penjahat?" tanya Lail. Bug! Ogik meninju pintu yang berjarak setengah meter dari tempat Lail berdiri. Ogik sedikit mendekat ke arah Lail, "Kamu tau kami seorang penjahat, jadi jaga sikapmu baik-baik!" ancam Ogik. "Ayo kita kembali!" kata Ogik pada tiga pria lainnya. Lail mengerjap kaget atas kejadian singkat barusan. Dia menghela napas panjang kemudian segera menutup rapat pintu kamar itu. "Aku benar-benar tidak menyangka akan berakhir seperti ini," kata Lail yang langsung merogoh ponselnya. Ia kembali mendengus kesal
"Ah, kamu mengagetkanku saja," protes Lail pelan. "Kenapa kamu kesini? Jangan bilang kamu mengkhawatirkanku?" tanya Lail dengan nada bercanda. Dio memasukkan kedua tangannya ke dalam saku cardingan hitam yang menutup tubuh besarnya, "Aku hanya lewat," jawabnya singkat. Lail diam sesaat, Dio pun sama hanya berdiri tanpa suara. Lail menunggu kalimat Dio selanjutnya, tapi Dio sama sekali tak buka suara. Dio hanya menatap lurus ke depan. Dia tidak tahu harus memulai darimana, karena sebelumnya tidak pernah berada dalam kondisi yang seperti itu. Dia sebenarnya mau ngapain? tanya Lail membatin."Jika kamu tidak berniat mengatakan apapun padaku, sepertinya kamu bisa pergi sekarang," kata Lail mengingatkan. Lagipula itu lebih baik daripada harus diam-diaman satu sama lain seperti itu. "Kamu bisa ikut denganku kalau mau," ucap Dio dengan pelan. "Huh, maafkan aku, tapi bisakah kamu memperbesar suaramu?" Lail hampir tak mendengar apa yang Dio katakan. "Menginaplah di tempatku kalau kamu m
Keempat pria yang duduk di depan Dio dan Lail menatap intens pertunjukan di depan mata mereka. "Apa sekarang Nona mata-mata akan berlari ketakutan seperti orang-orang sebelumnya?" bisik Zul pada Ogik yang duduk di sampingnya. "Hey Nona mata-mata, apa kamu tidak dengar?" Ogik bertanya. "Pergilah dari sini!" tekan Ogik sekali lagi. "Nona anda tidak kenapa-kenapa?" tanya si bungsu Rivaldi saat melihat Lail yang hanya diam terpaku menatap bosnya. "Dia sangat keren," gumam Lail terkagum melihat sosok Dio saat berbicara dengan nada serius. Zul, Ogik, Rival dan Galih saling bertukar tatap untuk beberapa waktu. "Aku tidak salah dengar kan?" "Iya, dia bilang keren," sahut Rival tak percaya. Lail melepaskan sendok makannya, dia beralih menatap intens ke arah Dio, "Aku telah meninjau proposal penawaran kerjasama di tahun-tahun sebelumnya. Jika menurutmu harga penawaran kami kurang, kami bisa menaikkannya sampai batas tertentu. Tanah milikmu menjadi satu-satunya kunci peng-"Brak! Dio me
Lail menghembuskan napas lega. Dia hampir saja memencet tombol bahaya di jam tangannya. Tapi melihat wajah pria jaket hitam itu membuatnya merasa aman seketika. Padahal Laik tidak tahu pria itu jahat atau baik. Entah kenapa Laik seakan tersihir, dan merasa selama ada pria jaket hitam itu makan tidak akan terjadi apa-apa. "Hey, kamu panggil apa bos kami?" pria yang berwajah lebih mudah dari lainnya itu tak terima saat bosnya dipanggil dengan nama yang aneh. "Siapa?" tanya pria yang Lail panggil pria jaket hitam. Berbeda dengan Laik yang mengingat betul memon pertemuan pertama mereka, pria itu sama sekali tak mengenali Lail. "Ah benar juga," gumam Lail. Dia menyadari kalau mereka belum sempat berkenalan. "Kemarin kita bertemu di supermarket! Masa tidak ingat? Anda menjatuhkan kuah ke hoodie saya, ah bukan anda, tapi saya yang membuat kuah itu jatuh, ah bukan, itu" Lail terus mengoceh. "Mata-mata ini sangat berisik, apa kita buat pingsan saja. Bos bagaimana?" "Lepaskan di