210“Masih ingat aku?” tanya laki-laki kurus yang terlihat lebih tua dari usianya. Tatapannya sengaja dibuat tajam. Sementara wanita yang kini berdiri di balik mejanya, hanya menanggapi dengan datar. Seperti kebiasaannya.“Tentu saja,” jawab sang wanita tenang, lalu mempersilakan laki-laki itu untuk duduk di kursi di hadapannya.“Kita pernah tinggal di rumah yang sama semala puluhan tahun, bagaimana saya tidak ingat anda, Tuan Muda Bastian Hanggara yang ….” Wanita itu seolah sengaja menggantung kalimat.“Yang apa?” Laki-laki yang tidak lain Bastian, mengerutkan kening. Ratri sekarang terlihat berbeda di matanya. Meski masih dengan style yang sama seperti dulu yang selalu menggunakan pakaian berwarna gelap, tetapi sikapnya jauh berbeda dengan Ratri saat masih menjadi asisten Widya. Jika dulu selalu menunduk dan tidak banyak bicara karena selalu berada di belakang Widya, kini wanita itu terlihat sangat percaya diri. Mungkin pekerjaan yang berbeda yang membuatnya tampak lain.Bastian seb
211Samudra berjalan lunglai melewati koridor rumah sakit yang entah berapa kali dalam sehari dilaluinya. Bila biasanya ia akan sangat bersemangat datang ke sana karena bisa dekat dengan anak-anaknya, berbeda untuk kali ini.Tangan pria tersebut menenteng sebuah tas di mana di dalamnya terdapat berkas untuk kelengkapan perceraian. Tak ada pilihan untuknya selain mengabulkan permintaan Mentari. Meski perih, tapi itu harus dilakukan asal Mentari bahagia. Yang penting baginya akses untuk menemui anak-anak tetap terbuka lebar.Samudra mengetuk pintu dan kemudian membukanya tanpa menunggu tanggapan dari dalam. Seperti biasa pemandangan yang membuat hatinya teriris, tersaji di depan mata. Bima duduk di sebuah kursi di dekat ranjang Barra. Sementara Mentari duduk di tepi ranjang sisi berbeda. Bulan tidur di ranjangnya.Awalnya Samudra tak ingin berkata apa pun dan memilih menunggu Bima pulang untuk bicara dengan Mentari. Namun, melihat ada pemandangan yang berbeda kali ini, tak ayal membuat
212Keadaan berbalik. Kini, Bima yang mundur teratur dengan perasaan tersisih sangat kuat setelah Barra tidak ingin disentuh sedikit pun olehnya. Laki-laki itu menatap nanar Samudra yang tengah asik melepas rindu dengan anak laki-lakinya.Tadi, Bima berusaha menarik perhatian Barra lagi, tetapi anak itu menolaknya. Bahkan menepis tangan Bima yang menyentuh tangannya.Bima menarik napas dalam sebelum membalikkan tubuhnya. Lalu, melirik Mentari yang merasa tidak enak hati.“Dek, bisa kita bicara dulu?” tanya Bima lirih. Tatapannya terlihat sendu. Sebenarnya, bukan hanya kali ini Mentari melihat tatapan Bima berbeda. Dalam beberapa pertemuan terakhir, ia melihat seolah Bima ingin menyampai sesuatu. Namun, tak kunjung bicara.Mentari melirik Samudra yang masih asik melepas rindu dengan Barra. Bahkan hingga tak peduli dengan sekeliling. Terlihat kebahagiaan Samudra yang natural. Tidak dibuat-buat. Mengerti apa yang dipikirkan Mentari, Bima mengalihkan pandangan searah tatapan wanita itu.“P
213“Jalan yang ditunjukkan Tuhan justru semakin mendekatkan kalian dengan Pak Samudra, Dek,” ujar Bima lagi serius.Kepala Mentari semakin menggeleng. Bibirnya bahkan kini digigit kuat. Matanya memanas.“Dek, maaf kalau aku lancang menasihatimu.” Bima memperbaiki posisi duduk agar menghadap tepat ke arah Mentari. “Saranku, Dek, cobalah berdamai dengan masa lalu agar hatimu lebih tenang menjalani masa yang akan datang. Ingat, kamu seorang ibu dua anak yang masih sangat kecil. Mereka punya hak untuk mereguk kebahagiaan dengan orang tua yang utuh. Mereka butuh seorang ayah, Dek. Dan sebaik-baik seorang ayah untuk anak-anak adalah ayah kandungnya.”“Cukup, Kak!” Mentari tidak tahan mendengar rentetan kalimat Bima yang terlontar dengan lancar itu. Entah kenapa laki-laki itu tiba-tiba bicara hal seperti ini.“Kakak bicara apa? Aku sama sekali tidak mengerti.” Suara Mentari timbul tenggelam karena menahan sesak di dadanya. Ia mencoba menyangkal jika Bima tidak sedang bicara demikian.Lagi,
214Mentari mengusap pipinya yang walaupun sudah berkali-kali dihalau, air dari matanya terus saja berjatuhan.“Dek Violet, berbahagialah dengan Pak Samudra. Aku akan ikut bahagia dengan hanya melihat dan mendengar kamu dan anak-anak bahagia. Jika kamu butuh bantuanku, jangan segan untuk menghubungi. Aku akan dengan senang hati membantu, tapi dengan catatan atas izin suamimu. Aku juga mohon diizinkan untuk bertemu anak-anak jika aku merindukannya, ya. Nanti aku akan menghubungi Pak Samudra juga.“Tidak akan ada yang berubah, Dek. Aku akan tetap menemui kalian, yang harus diubah hanya perasaan dan harapan kita. Hubungan kita hanya akan menjadi pertemanan. Semoga kita bisa melakukannya.”Lagi, air mata Mentari mengalir setiap kalimat kebesaran hati Bima terngiang di telinganya. Sakit, pedih, dan entah apa lagi. Selama hampir dua tahun dibersamai dengan segala kebaikannya, kini tiba-tiba saja pemuda itu melepasnya begitu saja.“Lalu, dengan apa aku bisa membalas kebaikan Kakak selama ini
215Mentari menelan ludahnya dengan susah payah. Tubuhnya membeku. Bagaimana ini? Di saat Bima mundur agar dirinya bisa bersama Samudra, justru pria itu memberikan berkas perceraian. Kenapa waktunya bisa bertepatan seperti ini? Apa ini hanya kebetulan semata?Mentari bergeming. Tidak tahu harus bagaimana. Bahkan tidak tahu harus mengatakan apa. Haruskah mengatakan jika Bima memintanya kembali bersama Samudra? Apa Samudra tidak akan mengatai dirinya menjilat ludah sendiri?“Tari ….” Panggilan Samudra membuat wanita itu mengerjap.“Kamu tidak apa-apa?” Suara sang pria sarat kekhawatiran.Mentari menggeleng cepat, tangannya refleks meraih amplop di tangan Samudra. Lalu membukanya dengan gerakkan tergesa.“Di mana aku harus tanda tangan?” tanyanya dengan menekan perasaan. Tangannya memeriksa setiap kertas dengan tak beraturan. Hingga kening Samudra berkerut karenanya. Sungguh, Mentari terlihat tidak baik-baik saja. Wanita itu tidak fokus, gerakkannya kacau hingga membuat berantakan kertas
216“Maaf, izin memeriksa pasien, Pak, Bu.” Perawat wanita mengangguk ramah ke arah Mentari dan Samudra.“Ini juga kebetulan ada keluarga Bapak dan Ibu ingin menjenguk. Jadi ikut saya sekalian,” lanjutnya, kemudian berjalan mendekati ranjang Barra.Mentari yang beberapa saat lalu salah tingkah, mengikuti langkah sang perawat menuju ranjang Barra. Sementara Samudra yang sempat menghujamkan tatapan tajam pada Ratri, kembali berjongkok. Kemudian mengumpulkan kertas-kertas yang berserakkan di lantai. Memasukkan kembali ke dalam aplop besar, dan menaruhnya di laci meja.“Ibu, anaknya bisa dibangunkan dulu?” tanya perawat. “Saya mau memeriksa mata dan tenggorokannya. Juga rekam jantungnya.”“Tapi anak saya baru saja tidur, Sus. Kasihan.” Samudra yang menyusul dan kini sudah berdiri di samping Mentari keberatan. Dengan susah payah ia menidurkan Barra tanpa bantuan siapa pun. Rasanya kasihan jika harus dibangunkan secepat ini.“Tapi dedeknya harus diperiksa dalam keadaan terjaga, Pak.” Perawa
217Mentari memejamkam matanya dengan perih. Punggungnya bersandar lemas di belakang pintu ruangan. Beberapa saat lalu ia mendorong tubuh Samudra agar keluar dari sana setelah sebelumnya Ratri keluar lebih dulu.“Silakan kalian bicara di mana pun asal tidak di sini!” desisnya tadi di depan dua manusia yang membuat kepalanya berdenyut nyeri.“Mbak Ratri tenang saja. Jangan merasa terancam. Aku tidak akan merebut calon suamimu, Mbak. Kalian bisa menjalankan amanat ibunya Pak Samudra sesegera mungkin. Aku dan anak-anakku … tidak akan menjadi penghalang rencana kalian. Jadi, aku tekankan jangan pernah datang lagi dengan alasan apa pun hanya untuk mengingatkanku jika kalian akan menikah. Aku … tidak akan pernah lupa.” Kalimat itu ia ucapkan dengan lantang dan lancar meskipun tetap pelan karena takut mengganggu anak-anaknya.Mentari tak ingin terlihat lemah dan kalah. Ia harus tetap terlihat kuat meski hatinya sebenarnya hancur. Tak akan ia biarkan siapa pun memperlakukannya secara buruk la