215Mentari menelan ludahnya dengan susah payah. Tubuhnya membeku. Bagaimana ini? Di saat Bima mundur agar dirinya bisa bersama Samudra, justru pria itu memberikan berkas perceraian. Kenapa waktunya bisa bertepatan seperti ini? Apa ini hanya kebetulan semata?Mentari bergeming. Tidak tahu harus bagaimana. Bahkan tidak tahu harus mengatakan apa. Haruskah mengatakan jika Bima memintanya kembali bersama Samudra? Apa Samudra tidak akan mengatai dirinya menjilat ludah sendiri?“Tari ….” Panggilan Samudra membuat wanita itu mengerjap.“Kamu tidak apa-apa?” Suara sang pria sarat kekhawatiran.Mentari menggeleng cepat, tangannya refleks meraih amplop di tangan Samudra. Lalu membukanya dengan gerakkan tergesa.“Di mana aku harus tanda tangan?” tanyanya dengan menekan perasaan. Tangannya memeriksa setiap kertas dengan tak beraturan. Hingga kening Samudra berkerut karenanya. Sungguh, Mentari terlihat tidak baik-baik saja. Wanita itu tidak fokus, gerakkannya kacau hingga membuat berantakan kertas
216“Maaf, izin memeriksa pasien, Pak, Bu.” Perawat wanita mengangguk ramah ke arah Mentari dan Samudra.“Ini juga kebetulan ada keluarga Bapak dan Ibu ingin menjenguk. Jadi ikut saya sekalian,” lanjutnya, kemudian berjalan mendekati ranjang Barra.Mentari yang beberapa saat lalu salah tingkah, mengikuti langkah sang perawat menuju ranjang Barra. Sementara Samudra yang sempat menghujamkan tatapan tajam pada Ratri, kembali berjongkok. Kemudian mengumpulkan kertas-kertas yang berserakkan di lantai. Memasukkan kembali ke dalam aplop besar, dan menaruhnya di laci meja.“Ibu, anaknya bisa dibangunkan dulu?” tanya perawat. “Saya mau memeriksa mata dan tenggorokannya. Juga rekam jantungnya.”“Tapi anak saya baru saja tidur, Sus. Kasihan.” Samudra yang menyusul dan kini sudah berdiri di samping Mentari keberatan. Dengan susah payah ia menidurkan Barra tanpa bantuan siapa pun. Rasanya kasihan jika harus dibangunkan secepat ini.“Tapi dedeknya harus diperiksa dalam keadaan terjaga, Pak.” Perawa
217Mentari memejamkam matanya dengan perih. Punggungnya bersandar lemas di belakang pintu ruangan. Beberapa saat lalu ia mendorong tubuh Samudra agar keluar dari sana setelah sebelumnya Ratri keluar lebih dulu.“Silakan kalian bicara di mana pun asal tidak di sini!” desisnya tadi di depan dua manusia yang membuat kepalanya berdenyut nyeri.“Mbak Ratri tenang saja. Jangan merasa terancam. Aku tidak akan merebut calon suamimu, Mbak. Kalian bisa menjalankan amanat ibunya Pak Samudra sesegera mungkin. Aku dan anak-anakku … tidak akan menjadi penghalang rencana kalian. Jadi, aku tekankan jangan pernah datang lagi dengan alasan apa pun hanya untuk mengingatkanku jika kalian akan menikah. Aku … tidak akan pernah lupa.” Kalimat itu ia ucapkan dengan lantang dan lancar meskipun tetap pelan karena takut mengganggu anak-anaknya.Mentari tak ingin terlihat lemah dan kalah. Ia harus tetap terlihat kuat meski hatinya sebenarnya hancur. Tak akan ia biarkan siapa pun memperlakukannya secara buruk la
218[Maaf, Bu, Mbak belum bisa ke sana. Di sini anak Mbak juga lagi sakit.]Mentari memejam sesaat setelah membaca balasan pesan dari Rumi sang pengasuh. Barra dan Bulan sudah dinyatakan sembuh, sudah boleh pulang. Jika sekarang mereka masih di sana, itu karena kondisi Mentari yang justru menurun. Pasca pingsan kemarin tubuhnya masih lemah. Entahlah apa yang terjadi, yang pasti Mentari merasa ada yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang sangat berarti, karenanya semangat dalam dirinya meredup.Satu embusan napas kasar keluar dari mulut Mentari. Wanita itu menengadah masih sambil memejam. Punggungnya bersandar di kepala ranjang. Kepergian Bima dari hidupnya telah berpengaruh besar pada semangat hidupnya.a“Bagaimana, pa Mbak Rumi bisa ke sini?” Sebuah pertanyaan mau tak mau memaksa Mentari membuka matanya. Kemudian wanita itu duduk tegak. Kepalanya menggeleng untuk menanggapi pertanyaan Samudra.Satu lagi embusan napas kasar terdengar, kali ini dari mulut Samudra.“Ya, sudah. Kita pulan
219Keheningan menyergap beberapa waktu setelah usaha Samudra untuk melunakkan hati Mentari selalu dipatahkan. Hanya suara detak jam dinding dan gemuruh halus dari pendingin ruangan yang terdengar di antara mereka setelahnya.Namun, tidak patah arang, Samudra yang sejak tadi hanya berdiri di samping ranjang Mentari, menarik sebuah kursi dan meletakkan dekat ranjang, kemudian mendudukkan diri di sana. Tubuhnya sedikit membungkuk agar kedua tangannya bisa bertumpu di tepi ranjang. Tatapannya kembali terfokus di wajah yang sedikit pucat karena beberapa hari ini jadwal makan wanita itu berantakan.“Tari …,” panggil Samudra setelah berkali-kali menarik napas panjang. “Sebenarnya, Mas sama sekali tidak bermaksud menikahi Ratri. Percayalah, itu hanya … satu lagi kebodohan Mas yang lain. Mas terlalu terburu-buru mengambil keputusan hingga—”“Sudahlah, Pak. Jangan curhat! Itu bukan urusanku.” Lagi, Mentari memotong. Tangannya dikibaskan dengan jengah. Samudra masih saja berusaha mencari pembe
220Dengan menggendong dua bayi di sisi kanan dan kirinya, Mentari memasuki bangunan menjulang yang salah satu unitnya dulu menjadi tempat tiggalnya. Di sanalah ia dan Samudra merajut cinta. Dari yang awalnya menjalani pernikahan sebagai perjanjian semata, hingga benar-benar mereguk indahnya pernikahan.Karenanya, tak ayal dadanya berdegup kencang sejak turun dari mobil, meski ia sudah berusaha bersikap normal. Datang ke sini lagi berarti akan membuka semua kenangan indah saat pernikahannya baik-baik saja.Semua kemesraan ia dan Samudra ada di sana. Apartemen itu saksi bisu menggebunya cinta mereka dulu.Dengan memeluk kedua bayinya, wanita itu terus menarik napas dalam. Bahkan selama di dalam lift, ia terus memejamkan matanya. Menakan buncahan rasa yang kian menggelegak.Suara nyaring seperti lonceng yang menandakan mereka sudah sampai, membuatnya terpaksa membuka mata. Mentari melirik seorang pelayan dan sopir yang menyertainya. Mereka berdua yang menjemput ke rumah sakit atas perint
221“Hai, ketemu lagi, ya, kita.” Wanita itu menyapa dengan tenang. Berbeda dengan Mentari yang sedikit tegang.“Ada apa ya, Mbak?” tanya Mentari tanpa bergeser dari posisinya. Tentu saja ia heran. Kenapa wanita itu datang ke sana? Mencari Samudra?“Mencari Pak Samudra, Mbak?”Ratri membuang pandangan, tetapi hanya sekejap. Tak lama kembali menatap wajah lawan bicaranya. Wanita itu memanjangkan leher, seolah mencari tahu sesuatu di dalam sana.“Pak Samudra tidak ada di sini, Mbak. Jadi, aku permisi.” Mentari ingin menutup pintu karena merasa tidak ada urusan dan tidak penting juga bertemu Ratri. Namun, gerakkannya terhalang tangan Ratri yang menahan pintu.“Nona Mentari sepertinya tidak malu, ya?”Serta-merta kening Mentari berlipat mendengar kalimat Ratri. “Maksudnya?”Salah satu ujung bibir Ratri tertarik ke atas, tetapi hanya sekejap sebelum wajahnya kembali seperti biasa.“Bukankah kalian sudah akan bercerai?”Kening mentari semakin kerkerut dalam, tetapi tak ada kata keluar dari m
222Mentari terhenyak. Semua kalimat Ratri melukai hatinya. Ya, dirinya yang meminta cerai terhadap Samudra, dan ia menolak rujuk. Tapi, apa hak Ratri mengatai dirinya demikian? Bahkan jika pun mereka jadi menikah, wanita itu tidak berhak mengatainya.Lalu, apa benar dirinya sudah mengecewakan Widya dan membuat mantan ibu mertuanya itu berubah pikiran dalam sekejap mata?Rasa-rasanya Widya bukan orang seperti itu. Bukankah selama ini mereka terbilang dekat? Bahkan sepertinya kasih sayang Widya untuknya lebih besar daripada untuk siapa pun termasuk Samudra, anaknya sendiri.“Pantas saja Bu Widya sangat kecewa dengan anda Nona Tari, ternyata anda memang setidak malu ini. Setidak tahu diri ini. Padahal sudah jelas beliau meminta Pak Samudra untuk menikahi saya di penghujung umurnya, tetapi anda masih merayunya agar tetap bertahan dengan anda.“Saya malah curiga kalau kecelakaan itu hanya trik anda agar selalu bisa dekat dengan Pak Samudra, dan putus dengan kekasih anda. Nona Tari sengaja