217Mentari memejamkam matanya dengan perih. Punggungnya bersandar lemas di belakang pintu ruangan. Beberapa saat lalu ia mendorong tubuh Samudra agar keluar dari sana setelah sebelumnya Ratri keluar lebih dulu.“Silakan kalian bicara di mana pun asal tidak di sini!” desisnya tadi di depan dua manusia yang membuat kepalanya berdenyut nyeri.“Mbak Ratri tenang saja. Jangan merasa terancam. Aku tidak akan merebut calon suamimu, Mbak. Kalian bisa menjalankan amanat ibunya Pak Samudra sesegera mungkin. Aku dan anak-anakku … tidak akan menjadi penghalang rencana kalian. Jadi, aku tekankan jangan pernah datang lagi dengan alasan apa pun hanya untuk mengingatkanku jika kalian akan menikah. Aku … tidak akan pernah lupa.” Kalimat itu ia ucapkan dengan lantang dan lancar meskipun tetap pelan karena takut mengganggu anak-anaknya.Mentari tak ingin terlihat lemah dan kalah. Ia harus tetap terlihat kuat meski hatinya sebenarnya hancur. Tak akan ia biarkan siapa pun memperlakukannya secara buruk la
218[Maaf, Bu, Mbak belum bisa ke sana. Di sini anak Mbak juga lagi sakit.]Mentari memejam sesaat setelah membaca balasan pesan dari Rumi sang pengasuh. Barra dan Bulan sudah dinyatakan sembuh, sudah boleh pulang. Jika sekarang mereka masih di sana, itu karena kondisi Mentari yang justru menurun. Pasca pingsan kemarin tubuhnya masih lemah. Entahlah apa yang terjadi, yang pasti Mentari merasa ada yang hilang dari hidupnya. Sesuatu yang sangat berarti, karenanya semangat dalam dirinya meredup.Satu embusan napas kasar keluar dari mulut Mentari. Wanita itu menengadah masih sambil memejam. Punggungnya bersandar di kepala ranjang. Kepergian Bima dari hidupnya telah berpengaruh besar pada semangat hidupnya.a“Bagaimana, pa Mbak Rumi bisa ke sini?” Sebuah pertanyaan mau tak mau memaksa Mentari membuka matanya. Kemudian wanita itu duduk tegak. Kepalanya menggeleng untuk menanggapi pertanyaan Samudra.Satu lagi embusan napas kasar terdengar, kali ini dari mulut Samudra.“Ya, sudah. Kita pulan
219Keheningan menyergap beberapa waktu setelah usaha Samudra untuk melunakkan hati Mentari selalu dipatahkan. Hanya suara detak jam dinding dan gemuruh halus dari pendingin ruangan yang terdengar di antara mereka setelahnya.Namun, tidak patah arang, Samudra yang sejak tadi hanya berdiri di samping ranjang Mentari, menarik sebuah kursi dan meletakkan dekat ranjang, kemudian mendudukkan diri di sana. Tubuhnya sedikit membungkuk agar kedua tangannya bisa bertumpu di tepi ranjang. Tatapannya kembali terfokus di wajah yang sedikit pucat karena beberapa hari ini jadwal makan wanita itu berantakan.“Tari …,” panggil Samudra setelah berkali-kali menarik napas panjang. “Sebenarnya, Mas sama sekali tidak bermaksud menikahi Ratri. Percayalah, itu hanya … satu lagi kebodohan Mas yang lain. Mas terlalu terburu-buru mengambil keputusan hingga—”“Sudahlah, Pak. Jangan curhat! Itu bukan urusanku.” Lagi, Mentari memotong. Tangannya dikibaskan dengan jengah. Samudra masih saja berusaha mencari pembe
220Dengan menggendong dua bayi di sisi kanan dan kirinya, Mentari memasuki bangunan menjulang yang salah satu unitnya dulu menjadi tempat tiggalnya. Di sanalah ia dan Samudra merajut cinta. Dari yang awalnya menjalani pernikahan sebagai perjanjian semata, hingga benar-benar mereguk indahnya pernikahan.Karenanya, tak ayal dadanya berdegup kencang sejak turun dari mobil, meski ia sudah berusaha bersikap normal. Datang ke sini lagi berarti akan membuka semua kenangan indah saat pernikahannya baik-baik saja.Semua kemesraan ia dan Samudra ada di sana. Apartemen itu saksi bisu menggebunya cinta mereka dulu.Dengan memeluk kedua bayinya, wanita itu terus menarik napas dalam. Bahkan selama di dalam lift, ia terus memejamkan matanya. Menakan buncahan rasa yang kian menggelegak.Suara nyaring seperti lonceng yang menandakan mereka sudah sampai, membuatnya terpaksa membuka mata. Mentari melirik seorang pelayan dan sopir yang menyertainya. Mereka berdua yang menjemput ke rumah sakit atas perint
221“Hai, ketemu lagi, ya, kita.” Wanita itu menyapa dengan tenang. Berbeda dengan Mentari yang sedikit tegang.“Ada apa ya, Mbak?” tanya Mentari tanpa bergeser dari posisinya. Tentu saja ia heran. Kenapa wanita itu datang ke sana? Mencari Samudra?“Mencari Pak Samudra, Mbak?”Ratri membuang pandangan, tetapi hanya sekejap. Tak lama kembali menatap wajah lawan bicaranya. Wanita itu memanjangkan leher, seolah mencari tahu sesuatu di dalam sana.“Pak Samudra tidak ada di sini, Mbak. Jadi, aku permisi.” Mentari ingin menutup pintu karena merasa tidak ada urusan dan tidak penting juga bertemu Ratri. Namun, gerakkannya terhalang tangan Ratri yang menahan pintu.“Nona Mentari sepertinya tidak malu, ya?”Serta-merta kening Mentari berlipat mendengar kalimat Ratri. “Maksudnya?”Salah satu ujung bibir Ratri tertarik ke atas, tetapi hanya sekejap sebelum wajahnya kembali seperti biasa.“Bukankah kalian sudah akan bercerai?”Kening mentari semakin kerkerut dalam, tetapi tak ada kata keluar dari m
222Mentari terhenyak. Semua kalimat Ratri melukai hatinya. Ya, dirinya yang meminta cerai terhadap Samudra, dan ia menolak rujuk. Tapi, apa hak Ratri mengatai dirinya demikian? Bahkan jika pun mereka jadi menikah, wanita itu tidak berhak mengatainya.Lalu, apa benar dirinya sudah mengecewakan Widya dan membuat mantan ibu mertuanya itu berubah pikiran dalam sekejap mata?Rasa-rasanya Widya bukan orang seperti itu. Bukankah selama ini mereka terbilang dekat? Bahkan sepertinya kasih sayang Widya untuknya lebih besar daripada untuk siapa pun termasuk Samudra, anaknya sendiri.“Pantas saja Bu Widya sangat kecewa dengan anda Nona Tari, ternyata anda memang setidak malu ini. Setidak tahu diri ini. Padahal sudah jelas beliau meminta Pak Samudra untuk menikahi saya di penghujung umurnya, tetapi anda masih merayunya agar tetap bertahan dengan anda.“Saya malah curiga kalau kecelakaan itu hanya trik anda agar selalu bisa dekat dengan Pak Samudra, dan putus dengan kekasih anda. Nona Tari sengaja
223Mentari tergugu di sini. Bahkan hilir-mudik beberapa orang yang mengantar ranjang untuk si kembar, bagai adegan film slow motion di depan matanya.Samudra tertimpa reruntuhan kebakaran, mengalami luka bakar, kini dibawa ke rumah sakit. Itu kabar yang dibawa sopir. Dan Ratri langsung pergi dengan panik. Meninggalkannya yang tidak kalah panik, tapi tidak bisa melakukan apa pun.Mentari yakin jika wanita itu akan langsung menyusul Samudra. Sementara dirinya masih di sini berbalut kecemasan. Ia tidak seperti Ratri yang bisa pergi ke mana pun tanpa beban. Ada dua makhluk kecil yang harus dipikirkannya sebelum memimirkan hal lainnya.Ia sebenarnya takut. Sangat takut. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada pria itu. Bagaimana kalau Samudra sampai ….Mentari menggeleng. Tidak! Jangan sampai itu terjadi. Semoga Samudra hanya mengalami luka ringan. Ia tak sanggup membayangkan jika Samudra sampai meninggalkannya dan anak-anak. Apa yang akan dilakukannya nanti tanpa Samudra? Bagaimana nasib a
224Setengah berlari Mentari menuju ruangan di mana Samudra berada. Jangan tanya bagaimana perasaannya saat ini. Ketakutan meraja. Walaupun berbagai bayangan buruk sudah ditepisnya, tapi tak ayal rasa takut terus menghantui. Takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Samudra.“Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalin aku dan anak-anak. Kami butuh kamu. Bagaimana anak-anak tanpa kamu?” Bathinnya terus meracau.Berdoa? Sudah tak terhitung hatinya memohon agar Tuhan tak mengambil Samudra secepat ini. Cukup orang terkasihnya yang lain yang diambil.Suara ketukan sepatunya dan sepatu pengacara, bagai musik alam yang semakin membuat hatinya ketar-ketir.Kakinya yang berjalan cepat, spontan berhenti di depan sebuah ruangan saat matanya yang berkabut menangkap sosok beberapa orang yang tengah menunggu di sana. Dua di antaranya tentu ia kenali.Satu bajingan yang sudah mengancurkan hidupnya, satunya lagi si wanita ‘hebat’ yang ngebet dinikahi Samudra.Mentari sempat menarik napas, sebelum melanjutkan
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau