224Setengah berlari Mentari menuju ruangan di mana Samudra berada. Jangan tanya bagaimana perasaannya saat ini. Ketakutan meraja. Walaupun berbagai bayangan buruk sudah ditepisnya, tapi tak ayal rasa takut terus menghantui. Takut terjadi sesuatu yang buruk dengan Samudra.“Jangan pergi, Mas! Jangan tinggalin aku dan anak-anak. Kami butuh kamu. Bagaimana anak-anak tanpa kamu?” Bathinnya terus meracau.Berdoa? Sudah tak terhitung hatinya memohon agar Tuhan tak mengambil Samudra secepat ini. Cukup orang terkasihnya yang lain yang diambil.Suara ketukan sepatunya dan sepatu pengacara, bagai musik alam yang semakin membuat hatinya ketar-ketir.Kakinya yang berjalan cepat, spontan berhenti di depan sebuah ruangan saat matanya yang berkabut menangkap sosok beberapa orang yang tengah menunggu di sana. Dua di antaranya tentu ia kenali.Satu bajingan yang sudah mengancurkan hidupnya, satunya lagi si wanita ‘hebat’ yang ngebet dinikahi Samudra.Mentari sempat menarik napas, sebelum melanjutkan
225Tubuh Mentari semakin meluruh. Pundaknya berguncang hebat. Namun, sekuat tenaga menahan agar tangisnya tidak pecah.Akhirnya apa yang ia takutkan pun, terbukti. Samudra terluka parah. Meski belum bertemu dokter atau siapa pun dan mendengar penjelasan dari mereka, tapi melihat kondisinya yang hampir seluruh punggungnya terbakar hingga kulitnya mengelupas. Lalu matanya yang tidak mau terbuka. Apa artinya?Mentari menelan tangisnya agar tak bersuara. Jangan sampai membuat berisik ruangan yang seharusnya tenang itu. Mati-matian mengumpulkan energi agar tidak ambruk. Tetapi rasanya sangat sulit. Membayangkan Samudra tidak akan membuka lagi matanya, membuatnya ingin pingsan. Lalu saat terbangun, semua hanya mimpi buruk.“Mas, kamu kenapa?” bisiknya di antara energi sisa. “Bangun, dan lihat aku. Ayo kita rujuk. Ayo menikah lagi, Mas. Aku bersedia. Barra dan Bulan pasti bahagia bunda sama papanya bersatu lagi. Mereka ingin bersamamu sepuasnya.”Tak peduli Samudra mendengar atau tidak, Ment
226Mentari kaget, lalu memasang wajah sedih. Mendengar kata sekarat, rasanya ketakutan itu muncul lagi. Andai Samudra benar-benar tidak pernah lagi membuka matanya. Entah apa yang akan terjadi dengan dirinya dan anak-anaknya.“Mas jahat, kenapa pura-pura pingsan saat aku masuk tadi?” Bibirnya maju. Tetapi Samudra menyukainya. Kemanjaan itu yang lama dirindukannya.“Lho, siapa yang pura-pura? Mas memang pingsan. Tidak lihat luka ini?” tunjuknya ke sekujur tubuhnya.“Masa orang pingsan bisa mendengar semua ucapanku? Diledekin terus-terusan lagi.” Mentari tambah manyun.“Ucapan yang mana? Rujuk? Menikah lagi? Jangan bilang kalau kamu sudah tidak sabar.” Samudra mencubit ujung hidung Mentari. Padahla beberapa bagian tubuhnya terkena luka bakar serius, bahkan di punggung sangat parah hingga ia harus tidur miring agar lukanya cepat kering. Namun, demi melihat dan mendengar lagi suara waniat terkasihnya, apalagi kemanjaan sama yang dulu terulang, rasanya sakit di luka itu tidak ada artinya.
227[Cepet sembuh, cepat pulang. Biar bisa tidur di sini lagi.]Sambil tersenyum, Mentari mengirim foto ranjang mereka ke nomor Samudra. Sebelumnya, ia pun mengirim foto-foto ranjang si kembar yang baru dikirim tadi siang. Dua ranjang kecil yang terpaksa di simpan di kamar yang sama dengan dirinya, karena tidak ada ruangan lain di unit itu selain ruangan yang dipakai ruang kerja Samudra dulu dan kamar itu sendiri.[Jangan bilang nggak kangen tidur di sini. Jangan bilang juga nggak kangen sama parter di ranjang ini.]Mentari semakin menjadi. Entahlah kenapa ia jadi senakal ini. Yang pasti setelah kepulangan dari rumah sakit tadi, rasa rindunya pada Samudra semakin menggebu. Rasanya tidak ingin terpisah jauh dan lama. Tapi keadaan yang memaksa. Tidak mungkin ia egois membawa kedua anaknya untuk tinggal di rumah sakit lagi.Selain tidak baik untuk kesehatan anak-anaknya, itu juga akan mengundang kecurigaan orang lain jika Samudra sebenarnya sudah sadar. Karenanya ia terpaksa menekan rasa
228“Mbak Ratri benar kerja di kantor ayahku?” Mentari mengulang pertanyaan saat dua orang yang spontan menoleh padanya tidak ada yang menjawab.Kening wanita itu berkerut. Sementara orang yang ditanya hanya menatap lurus padanya. Ekspresinya seperti biasa. Datar. Tidak ada raut terkejut atau apa pun di sana.“Jadi, Nona Mentari belum tahu? Pak Samudra tidak pernah menceritakan?” Ratri balik bertanya dengan tetap tenang. “Sudah saya duga jika hubungan kalian memang tidak sedekat itu. Pak Samudra tidak mungkin menceritakan semua detail tentang hidupnya selama berpisah dengan Nona. Termasuk betapa besarnya kepercayaan Pak Samudra terhadap saya di kantor.”Mentari menahan nafas sebelum menelan ludahnya dengan susah payah. Ya, Samudra memang tidak pernah bercerita jika Ratri bekerja di kantor ayahnya. Pun tentang bagaimana ia menjalani kehidupannya selama mereka berpisah. Karena memang selama ini mereka belum banyak bicara.
229Mentari memejam dan mengembus napas sesaat setelah memasuki ruangan di mana Samudra dirawat. Moodnya menjadi buruk? Tentu saja. Bertemu dan bicara dengan Ratri membuat hati yang yang dibawa dari rumah dengan dipenuhi taman bunga. Kini mendadak dipenuhui kobaran api.Ia kesal dengan Samudra yang membawa Rati masuk perusahaan ayahnya. Tapi jika dipikir-pikir, itu terjadi dulu, saat hubungan mereka tidak baik-baik saja. Sayangnya, kini pun tidak ada itikad Samudra untuk menyampaikan padanya.Mentari menatap pria yang berbaring. Kali ini menelungkup. Mungkin pegal terus-menerus berbaring menyamping. Kini hanya wajahnya yang menyamping. Matanya memejam pertanda ia sedang tidur. Ingin rasanya langsung menghamburan berbagai omelan untuk meluapkan kemarahan, tetapi saat melihat luka bakar memenuhi punggungnya. Belum lagi di area tubuh lainnya, rasanya tidak tega.Entah berapa banyak kebaikan pria itu terhadapnya. Bahkan di saat hubungan mereka dulu memburuk, Samudra sama sekali tidak menin
230“Maafkan Mas, Sayang. Mas belum sempat bicara mengenai Ratri. Dulu, setelah kita berpisah dan ibu meninggal, Mas bingung tidak punya orang kepercayaan di perusahaan ayahmu. Tapi juga tidak mungkin meninggalkan begitu saja perusahaan yang sudah dibangun lagi dengan susah payah. Belum lagi Hanggara Enterprise yang juga morat-marit ditinggal Bang Benny. Mas merekrut Ratri karena berpikir dia bisa ditempatkan di sana.”Samudra bercerita dengan posisi duduk bersandar. Namun tetap menyamping karena punggungnya yang tidak boleh menempel dengan sesuatu. Ia memutuskan menceritakan semua, tapi sebelumnya meminta agar Mentari tidak memotong ucapannya.Ia hanya ingin didengarkan dulu tanpa disela atau bahkan dibantah.“Semua karena alasan professional semata,” lanjutnya dengan tatapan sendu nan serius.“Dia berkompeten, memiliki loyalitas yang tinggi yang sudah kita lihat selama menjadi asisten ibu. Dan pendidikannya juga mumpuni.”Mentari membuang muka. Walaupun kenyataannya memang begitu, r
231“Kita menikah lagi sekarang juga, Mas.”Hening menyergap setelah kalimat Mentari barusan. Kalimat yang dikira Samudra hanya rengekan karena kekesalan wanita itu terhadap Ratri. Samudra menatap sang wanita dengan senyum tertahan.“Sayang … Mas sedang meminta pendapat kamu. Iya, kita akan menikah lagi. Itu pasti. Tapi sekarang Mas sedang serius. Mas ….”“Dan aku juga serius, Mas!” Mentari memotong tajam. “Ayo kita menikah sekarang juga,” lanjutnya tegas.“Sayang ….” Samudra mengangkat tangannya tanda meminta pengertian sang wanita. Senyum geli berusaha ia sembunyikan.“Kita sedang membahas masalah Ratri. Dan ….”“Dan satu-satunya solusi memang menikah lagi secepatnya, Mas.” Lagi, Mentari memotong. Wajahnya sangat serius.Samudra bergeming. Matanya memancarkan tatapan lelah. Sungguh, ia berharap solusi untuk masalah ini. Bukan keinginan keras kepala Mentari. Dan satu yang baru ia tahu jika Mentari masih tetap yang dulu. Yang sifat kekanak-kanakkan masih belum bisa diganggu meski kini