senin pagi yang manis2 biar seger setelah berminggu-minggu otot tegang karena emosi
230“Maafkan Mas, Sayang. Mas belum sempat bicara mengenai Ratri. Dulu, setelah kita berpisah dan ibu meninggal, Mas bingung tidak punya orang kepercayaan di perusahaan ayahmu. Tapi juga tidak mungkin meninggalkan begitu saja perusahaan yang sudah dibangun lagi dengan susah payah. Belum lagi Hanggara Enterprise yang juga morat-marit ditinggal Bang Benny. Mas merekrut Ratri karena berpikir dia bisa ditempatkan di sana.”Samudra bercerita dengan posisi duduk bersandar. Namun tetap menyamping karena punggungnya yang tidak boleh menempel dengan sesuatu. Ia memutuskan menceritakan semua, tapi sebelumnya meminta agar Mentari tidak memotong ucapannya.Ia hanya ingin didengarkan dulu tanpa disela atau bahkan dibantah.“Semua karena alasan professional semata,” lanjutnya dengan tatapan sendu nan serius.“Dia berkompeten, memiliki loyalitas yang tinggi yang sudah kita lihat selama menjadi asisten ibu. Dan pendidikannya juga mumpuni.”Mentari membuang muka. Walaupun kenyataannya memang begitu, r
231“Kita menikah lagi sekarang juga, Mas.”Hening menyergap setelah kalimat Mentari barusan. Kalimat yang dikira Samudra hanya rengekan karena kekesalan wanita itu terhadap Ratri. Samudra menatap sang wanita dengan senyum tertahan.“Sayang … Mas sedang meminta pendapat kamu. Iya, kita akan menikah lagi. Itu pasti. Tapi sekarang Mas sedang serius. Mas ….”“Dan aku juga serius, Mas!” Mentari memotong tajam. “Ayo kita menikah sekarang juga,” lanjutnya tegas.“Sayang ….” Samudra mengangkat tangannya tanda meminta pengertian sang wanita. Senyum geli berusaha ia sembunyikan.“Kita sedang membahas masalah Ratri. Dan ….”“Dan satu-satunya solusi memang menikah lagi secepatnya, Mas.” Lagi, Mentari memotong. Wajahnya sangat serius.Samudra bergeming. Matanya memancarkan tatapan lelah. Sungguh, ia berharap solusi untuk masalah ini. Bukan keinginan keras kepala Mentari. Dan satu yang baru ia tahu jika Mentari masih tetap yang dulu. Yang sifat kekanak-kanakkan masih belum bisa diganggu meski kini
232“Maaf ya, Sayang, baru bisa memberikan pernikahan yang alakadarnya dulu.” Samudra menatap wanita yang baru selesai bermake-up sendiri. Sementara ia baru saja dipakaikan jas longgar yang terdapat kancing di belakang punggungnya.Tadi Hamish datang atas permintaannya untuk membawakan barang-barang yang diperlukan. Tidak banyak sebenarnya. Hanya sebuah jas untuknya, set make up sederhana untuk Mentari dan sebuah cincin berlian. Meski dadakan dan terburu-buru, ia tetap ingin ada kesan istimewa pernikahan ulangnya ini.Tetap ingin meninggalkan kesan mendalam untuk dikenang di kemudian hari. Juga sebagai pengingat betapa berbesar hatinya Mentari menjalani pernikahan sederhana di rumah sakit. Semua untuk pelajaran hidup ke depannya agar ia lebih hati-hati menjaga lisan dan tentu lebih matang dalam mengambil keputusan. Apalagi yang berkaitan dengan pernikahan, ikatan yang sakral.“Mas janji setelah sembuh nanti, akan adakan pesta untuk pernikahan ulang kita. Kamu boleh minta acara yang sep
233“Tidak ada, dok. Kita mulai saja.” Samudra langsung menjawab agar cepat selesai. Ia malas harus mendengar sindiran-sindiran lainnya dari dokter pribadi ibunya itu. Bukan apa-apa, banyak orang asing di sana.Walaupun penghulu dan beberapa pria lainnya yang hadir di sana seolah tidak peduli, tetap saja ia tidak nyaman.“Oh, ya. Ini suami saya yang akan menjadi salah satu saksi pernikahan kamu Dek, Sam.” Dokter Rena menunjuk seorang pria berkemeja putih yang tersenyum. Tentu saja Samudra familiar dengan wajah sang pria walaupun tidak kenal dekat.“Dan ini, Bapak Husein marbot masjid di sekitar sini saksi lainnya.”Pria seusia Samudra yang berdiri di samping suami dokter Rena, tersenyum dan mengangguk.“Lalu ini Bapak Penghulu, dan sisanya Bapak ini imam masjid yang akan menjadi wali hakim Mentari. Benar kan, Nak Tari ini sudah tidak memiliki keluarga laki-laki dari pihak ayah?” tanya dokter Rena lagi untuk meyakinkan.“Iya, dok. Saya sebatang kara.” Mentari menjawab pelan. Tetiba hat
234Ruangan mendadak sepi, bahkan cenderung tegang. Tidak ada yang bersuara. Samudra, Mentari, dan Ratri larut dalam keterkejutan. Sementara beberapa pria yang dibawa dokter Rena mengerutkan kening mereka dalam keheranan. Hanya dokter Rena yang tetap santai. Wanita seumuran Benny itu memassukkan kedua tangan ke dalam saku jas putihnya.“B-bu … Wid-dya ….” Bibir Ratri bergetar menyebut nama itu. Sepasang matanya bahkan tak berkedip sejak tadi untuk memastikan jika dirinya tidak salah melihat. Tubuhnya yang semula berontak, kini mematung dalam pegangan dua laki-laki besar itu.“Ya, kenapa?” Wanita ber-sweeter dan ber-syal rajut di lehernya yang duduk di kursi roda, menggerakkan tangannya. Meminta seorang wanita muda yang mendampinginya untuk mendorong kursi rodanya.“Kamu pikir saya hantu? Oh, saya lupa jika kamu memang menginginkan saya mati agar bisa tetap mengatakan wasiat palsu saya.” Lanjut wanita sepuh dengan tatapan tak lepas dari wajah Ratri.Awalnya, semua orang mengira kursi r
235Tangis Samudra kembali pecah sesaat setelah mengucapkan kalimat sakral yang kembali mengikat dirinya dengan Mentari. Ia emosional, benar-benar tak dapat mengendalikan dirinya. Tak lagi memikirkan rasa malu di depan semua orang, tangis itu kembali tumpah ruah.Tentu saja bukan lagi tangis kesedihan seperti yang pernah menemaninya di awal-awal kehilangan dua wanita tercintanya. Kali ini, tangisannya luapan dari rasa haru dan bahagia yang tiada tara karena ternyata Tuhan tidak setega itu padanya.Tangisnya karena rasa haru yang membuncah. Hari ini, detik-detik ini, ia telah dapat memeluk lagi dua wanitanya dalam waktu bersamaan.Hadiah indah yang berlipat-lipat ini, siapa yang bisa mendapatkannya?Hari ini ia hanya berencana menikah lagi dengan Mentari, tapi siapa sangka jika hari ini juga ia mendapatkan ibunya lagi.Maka, nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?Hari ini ia bukan hanya mendapatkan lagi istri. Tapi juga ibunya. Kebahagiaan yang berlipat itu tak mungkin tidak ia syukuri.
236“Kita mulai dari mana?” tanya Widya selepas Hamish dan dua laki-laki besar keluar ruangan. Ia mengisyaratkan tiga laki-laki itu untuk meninggalkan ruangan karena ingin bicara pribadi. Sementara wanita muda asisten pribadinya, tetap dibiarkan di sana.“Ratri Setyaningrum.” Widya bersuara lagi karena Ratri diam saja. Tatapannya masih menghujam. Bahkan semakin tajam. “Seperti namamu, kamu memang setia padaku, ya. Memiliki loyalitas tinggi, kerjamu sempurna, karenanya aku memakaimu dalam jangka yang lama.” Sang wanita sepuh menjeda kalimatnya.Sepasang suami istri yang baru saja halal lagi, berdempetan memperhatikan. Pun dengan wanita muda yang disinyalir asisten pribadi Widya. Dengan megambil jarak, ia memperhatikan interaksi antara bosnya dengan mantan asisten sebelum dirinya.Wanita muda itu sangat mengerti kenapa ia tidak disuruh keluar seperti halnya Hamish dan yang lainnya. Padahal ia sangat tahu yang akan dibicarakan Widya sangat pribadi. Walaupun Widya tidak mengatakan apa pun,
237Hampir semua mata membelalak. Terutama Samudra. Kalimat yang diucapkan Ratri barusan, bagai suara gelegar petir yang mampu membuat semua jantung di ruangan itu berhenti memompa darah untuk beberapa saat.Bagaimana tidak? Dengan lantang dan sangat percaya diri, wanita itu mengatakan hal yang tidak pernah disangka siapa pun. Bagaimana mungkin seseorang mencintai orang yang bahkan belum ditemuinya?Yang membuat shock semua orang di sana, Ratri mengatakan hal itu dengan tanpa malu sedikit pun. Seolah itu bukan hal memalukan. Mengatakan jatuh cinta pada laki-laki beristri di depan istri serta ibunya.Mentari bahkan merasakan lututnya mendadak lemas. Bukan apa-apa, kemarin ia begitu mempercayai ucapan Ratri hingga semakin membenci Samudra dan berburuk sangka terhadap ibu mertuanya. Padahal wanita di depannya ini sudah menyembunyikan perasaan begitu lama, bahkan mungkin sudah mendendam padanya sejak dulu karena ia menikah dengan pria pujaannya.Bagaimana mungkin ia begitu percaya dengan