238“A-apa maksud anda, Pak?” Ratri bertanya gagap. Sikapnya yang beberapa saat lalu terlihat begitu percaya diri dan tenang, kini ada kepanikan di sana. Namun, tidak lama, wanita itu sudah bisa menguasai dirinya kembali.“Aku rasa tidak perlu menjelaskannya, Ratri. Seperti kata ibuku, kamu gadis cerdas. Pasti mengerti maksudku tanpa aku perjelas. Sebenarnya, sejak awal aku merasa ada kejanggalan. Tapi berusaha tidak berburuk sangka padamu, karena kamu orang yang sangat aku percaya di kantor. Aku juga berusaha mempertahankanmu meskipun istriku ingin kamu hengkang dari perusahaannya. Kamu tahu kenapa?” tanya Samudra lemah.“Karena tadinya aku sangat percaya sama kamu, Rarti. Selain itu, seperti yang kita semua tahu, prosedur pemecatan karyawan tidak mudah, dan aku tidak mau ribet. Aku ingin kamu tetap di sana sebagai tangan kananku. Tapi, kebenaran harus tetap ditegakkan, bukan?”“A-anda menuduh saya, Pak?” Ratri bertanya lagi.“Oh tidak, tidak. Aku hanya menghimbau agar kamu bersiap-s
239Jangan bayangkan perasaan Mentari saat ini. Bahkan untuk bernapas pun rasanya sangat sulit. Bagaimana tidak? Pelayan di rumah mengatakan ada tamu wanita yang datang. Dan ia yakin itu bukan ibu mertuanya.Jika Widya yang ke sana, pasti mengabari ia atau Samudra lebih dulu. Lalu, siapa? Ratri?Ini yang ia takutkan. Wanita itu datang ke sana untuk menyakiti kedua anaknya. Seperti yang sering ia lihat di film-film. Cinta ditolak penculikan bertindak.Meskipun sudah meminta Deti tidak membukakan pintu, dan padahal juga sang tamu tak diundang sudah diamankan, karena Samudra langsung menelepon pihak keamanan di sana, tetap saja kecemasan itu meraja. Ia yakin kalau sosok misterius seperti Ratri, bisa melakukan apa saja untuk mencapai tujuannya. Buktinya mengatakan kebohongan atas nama orang yang dikira sudah meninggal saja mampu ia lakukan tanpa kecurigaan.Mentari memijat pelipis. Kepalanya berdenyut. Kini, ia dalam perjalanan pulang. Tadi, tanpa drama lagi Samudra langsung menyuruhnya p
240“Ibu betah di sini, ya?”Mentari tersenyum mendengar pertanyaan Rumi. Pengasuh anaknya itu sejak tadi matanya jelalatan memperhatikan sekeliling kawasan yang baru pertama didatanginya. Kini, mereka berada di dalam lift menuju unit kembali.“Dulu kan, aku juga tinggal di sini, Mbak. Semenjak menikah selama berbulan-bulan.” Mentari tersenyum melihat Rumi yang bercermin di dinding kabin lift.“Oh, ya. Jadi Ibu sudah menikah lagi ya, sama Pak Samudra?” Rumi berbalik menghadap majikannya yang tersenyum malu-malu.“Wah, nggak kebayang itu panasnya malam pengantin kalau rujuk begitu. Istilahnya balas dendam setelah lama tidak tersalurkan.”Mentari terkekeh mendengar ucapan pengasuh anaknya yang sering to the point dan cenderung tanpa filter.“Jangan dibayangkan, nanti Mbak kepengen juga. Nanti balik kampung lagi, rujuk sama salah satu mantan suami, nggal jadi deh, kerjanya.” Diakhiri kikikan, Mentari menggoda wanita yang sudah seperti saudara sendiri itu.“Ih, ogah! Kemarin waktu di kamp
241Mentari hampir terjatuh jika saja tidak gesit berpegangan dinding. Matanya membelalak.“Nenek …,” pekiknya setelah sebelumnya menutup mulut agar tidak berteriak karena takut membuat orang rumah kaget.“Nenek di sini?” lanjutnya setelah berhasil menegakkan tubuh. Lalu mengedarkan pandangan. Seorang wanita muda dan dua orang pria berpakaian safari juga ada di sana. Menyertai ibu mertuanya. Tadi, Mentari tersandung kursi roda wanita sepuh itu.“Maaf, membuatmu kaget, Tari. Nuri baru saja akan menekan bell saat kamu keluar.”Mentari memejam sebentar. Tak urung ia sempat sport jantung saat hampir jatuh tadi. Sebenarnya dua pria sudah maju untuk membantunya agar tidak terjatuh, tetapi ibu mertuanya melarang. Membiarkan wanita itu menjaga keseimbangannya sendiri.“Sepertinya kamu sudah akan pergi,” ujar Widya lagi mengamati penampilan menantunya dengan segala tentengannya.Mentari sama menatap kedua tangannya yang penuh. Kemudian berdehem salah tingkah.“Apa kamu akan menemui suamimu?” W
242“Tari, pindahlah ke rumah kami. Ibu mau setiap saat bisa dekat dengan cucu-cucuku. Umur Ibu sudah udzur, entah besok atau lusa dipanggil Tuhan. Tidak ada lagi yang ibu inginkan di dunia selain dekat dengan anak cucu.”Mentari memejam. Kalimat demi kalimat ibu mertuanya, terus terngiang. Terutama saat memintanya pindah ke kediaman Hanggara.Andai saja tidak pernah terjadi insiden yang membuat hidupnya hancur dalam sekejap, pastilah ia dengan mudah menyiyakan. Tinggal di rumah luas, megah bak istana, siapa yang tidak tergiur. Hanya saja, ia tidak bisa membohongi dirinya sendiri, jika kejadian malam itu masih menyisakan trauma. Apalagi, pelakunya masih ada di sana.“Ayolah, Tari. Di sini juga sempit, kan?” Widya melanjutkan. “Dulu, kalian bisa leluasa tiggal di sini karena masih berdua. Ibu juga tidak ingin merusak kebahagiaan kalian yang pastinya hanya ingin menikmati manisnya hidup berdua sebagai pengantin baru. Itu dulu, saat kalian masih berdua, makanya Ibu mengizinkan saja. Apal
243Mentari berlari menuju pintu. Bahkan hampir menabrak sopir yang juga ikut kebingungan.“Bu ….”Tak menghiraukan panggilan sopir, Mentari langsung membuka pintu. Berniat mencari informasi. Namun, kakinya berhenti mendadak. Pundaknya langsung meluruh saat matanya menangkap pemandangan di koridor. Terlihat beberapa pria berjalan beriringan di sana. Dua perawat laki-laki, seorang pria berperawakan besar, dan satu lagi seorang pasien yang duduk di kursi roda. Pasien yang beberapa detik lalu dicarinya dengan panik.Mentari memejamkan matanya dengan lega. Entahlah, banyak kejadian tak mengenakkan belakang ini, membuatnya mudah curiga hingga cepat berprasangka. Bahkan terkadang logikanya tidak bekerja. Seharusnya ia ingat jika Samudra membayar pengawal untuk berjaga. Dan saat pengawal tidak ada di sana, artinya pasti pergi menyertai bosnya.Bagaimana ia tidak berpikir ke sana? Apa jatuh cinta lagi membutakan logika dan membuatnya bersikap berlebihan?Mentari megusap wajahnya.Sementara it
244Mentari serta-merta menarik diri dari dada Samudra, lalu memutar tubuh sambil mengusap air mata hingga posisinya memunggungi Samudra. Rasanya malu, hanya karena cemas, ia sampai menangis seperti ini.Sang pria yang tidak suka dipunggungi, gegas meraih kedua pundak Mentari dan menghadapkan padanya.“Apa kamu mengkhawatirkan, Mas?” tanyanya seraya menghentikan gerakan tangan Mentari yang masih mengusap air mata agar ia dapat melihat wajah itu dengan utuh.Bukannya menjawab, Mentari lagi-lagi mengalihkan pandangan. Namun, kali ini Samudra tidak membiarkanya terlalu lama. Pria itu menangkup kedua pipi basah sang istri, lalu memercikkan tatapan penuh cintanya tepat di mata basah Mentari.“Maaf membuatmu cemas, Mas pikir kamu akan ke sini sejak pagi jadi bisa nemenin pas dipanggil perawat tadi. Tapi ternyata ibu datang dan kamu terlambat ke sini,” ujar Samudra lagi dengan mengusap pipi sang wanita yang kerudungnya terbasahi air mata. Telunjuk sang pria memasukkan beberapa lembar rambut
245Ruangan yang sejuk pun berubah menjadi gerah. Tidak ada suara orang mengobrol atau tangisan lagi. Yang ada justru suara khas orang berciuman, juga beberapa kali lenguhan lirih.Sepasang insan larut dalam lautan cinta yang sekian lama terpendam. Tenggelam dalam kerinduan yang akhirnya tertautkan. Ciuman panas menjadi simbol jika cinta itu sebenarnya masih menggebu. Setelah adegan mengharukan, mereka sama-sama tertarik ke dalam alur yang tak dapat dikendalikan.Keduanya larut dalam hasrat yang menggila meski hanya tersalurkan lewat tautan bibir.“Sayang, kamu cantik sekali,” tadi Samudra berbisik setelah tangannya melepas kerudung Mentari hingga menampilkan keindahan rambut panjang bergelombangnya.Mentari sendiri tak dapat menolak saat tangan sang pria sudah mempereteli penutup kepalanya. Bahkan hingga ikat rambutnya terhempas ke lantai karena ditarik sang pria. Mentari hanya bisa menunduk malu-malu tanpa mampu menolak apa pun yang dilakukan pria yang sudah menghipnotisnya lewat ta