245Ruangan yang sejuk pun berubah menjadi gerah. Tidak ada suara orang mengobrol atau tangisan lagi. Yang ada justru suara khas orang berciuman, juga beberapa kali lenguhan lirih.Sepasang insan larut dalam lautan cinta yang sekian lama terpendam. Tenggelam dalam kerinduan yang akhirnya tertautkan. Ciuman panas menjadi simbol jika cinta itu sebenarnya masih menggebu. Setelah adegan mengharukan, mereka sama-sama tertarik ke dalam alur yang tak dapat dikendalikan.Keduanya larut dalam hasrat yang menggila meski hanya tersalurkan lewat tautan bibir.“Sayang, kamu cantik sekali,” tadi Samudra berbisik setelah tangannya melepas kerudung Mentari hingga menampilkan keindahan rambut panjang bergelombangnya.Mentari sendiri tak dapat menolak saat tangan sang pria sudah mempereteli penutup kepalanya. Bahkan hingga ikat rambutnya terhempas ke lantai karena ditarik sang pria. Mentari hanya bisa menunduk malu-malu tanpa mampu menolak apa pun yang dilakukan pria yang sudah menghipnotisnya lewat ta
246Mentari membuang muka sesaat setelah pintu yang ia buka menampilkan siapa yang berdiri di sana. Entahlah, semenyesal apa pun laki-laki yang berdiri di sana, ia bukan manusia berhati peri yang mudah menghilangkan kesakitan akibat ulahnya.Akibat perbuatan orang itu, hidupnya, harga dirinya, dan terutama pernikahannya hancur berantakan.Meski kini ia telah kembali dengan Samudra, tetapi bukan berarti ia bisa menghapus ingatan tentang semua yang terjadi.“Siapa, Sayang?” tanya Samudra dari dalam sana karena tidak ada suara siapa pun semenjak Mentari membuka pintu.Mentari menahan napasnya. Bahkan sekadar menyebut namanya, ia tidak sudi.“Tari, siapa yang datang?” Samudra mengulang pertanyaan saat Mentari tak jua menjawab.“Ini aku, Om.” Laki-laki yang berdiri di mulut pintu yang menjawab.“Oh, kamu, Bas? Masuklah!”Mentari memutar bola mata sebelum berlalu tanpa kata. Meninggalkan laki-laki muda yang menunduk sedih. Wanita itu memilih pergi ke kamar mandi tanpa mengatakan sepatah kat
247“Nenek.” Bastian yang hendak membuka pintu, mundur karena pintu dibuka lebih dulu dari luar. Terlihat di sana wanita sepuh berambut putih yang didorong masuk di atas kursi rodanya. Bastian mengangguk meski tidak mendapat tanggapan sama sekali.Wajah Widya lempeng. Tatapannya tertuju sosok di ranjang pasien.“Ibu?” Samudra menyapa saat kursi roda yang membawa ibunya sudah berhenti. Ia mengisyaratkan pada Bastian agar tidak keluar dulu dari sana.“Di mana menantuku?” tanya Widya setelah mengedarkan pandangan beberapa saat.“Mentari di kamar mandi.” Samudra menjawab seadanya. Dan jika ia tidak salah ingat, istrinya itu sudah terlalu lama di sana. Sejak Bastian datang hingga pemuda itu sudah akan pergi, Mentari belum muncul juga. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana, karena tadi pamitnya hanya unyuk memakai lagi kerudungnya. Namun satu yang Samudra yakini, jika wanita itu sengaja berdiam diri di sana karena ada Bastian di sini.“Bagaimana kondisimu, Sam?” Widya mengamati putra bu
248“Nuri, tolong lihat Mentari di kamar mandi. Sepertinya ia sudah terlalu lama di sana.” Widya memberi perintah pada wanita muda asisten pribadinya, sesaat setelah Bastian keluar.Gadis bernama Nuri mengangguk sebelum berlalu menuju sebuah pintu di pojok ruangan.“Menurutku, ini terlalu tega, Bu.” Samudra bersuara setelah Nuri pergi.“Bastian sendiri tidak keberatan, Sam. Sudahlah, kamu fokus saja kesembuhanmu agar cepat pulang dan berkumpul dengan keluargamu.”Samudra memejamkan matanya. Sunguh ia tidak tega membiarkan Bastian sendiri di luar sana, tapi ia juga tidak bisa membantah sang ibu. Apalagi yang dilakukannya demi istri dan anak-anaknya.“Bu, berita Bang Benny sudah sampai?” tanya Samudra hati-hati. Ia sebenarnya tidak sampai hati menyampaikan berita buruk itu, tetapi bukankah Benny anaknya juga? Widya pasti juga ingin mendengar berita anaknya yang pergi tanpa kabar.Widya bergeming. Mimik wajahnya dibuat senormal mungkin, walaupun Samudra tetap menemukan ada riak asing di
249“Jadi, kita sebenarnya tinggal sangat dekat ya, Bu?” tanya Mentari setelah sekian lama sang ibu mertua menceritakan kisahnya selama dalam persembunyian. Ternyata, selama ini wanita sepuh itu tinggal tak jauh dari mereka. Sebuah vila di puncak yang akses jalannya menuju ibu kota, melewati rumah Mentari.“Iya, Tari. Kamu bisa bayangkan bagaimana hampir gilanya Ibu, bukan? Yang bisa melihat kamu dan cucu-cucu, tapi tidak bisa mendekat apalagi sampai menyentuh kalian.”“Tari pikir Ibu tinggal di luar negeri.”“Meninggalkan anak bodoh itu sendiri di sini?” Widya melirik sebentar Samudra yang sejak tadi seolah tak kasat mata. Ada, tetapi tak dianggap ada. Ucapannya tak pernah mereka tanggapi hingga akhirnya lelah sendiri dan hanya diam menyimak.“Mana mungkin. Ibu kan, sembunyi untuk memberinya pelajaran. Bukan untuk bersenang-senang. Lagipula, Ibu tidak bisa sehari saja tidak melihat cucu-cucu. Walaupun hanya lewat video yang dikirim seseorang, itu cukup membantu mengawasi perkembangan
250Mata dan mulut Mentari masih sama-sama terbuka lebar. Tubuhnya membeku. Bahkan kepalanya mendadak sulit untuk digerakkan sekadar menoleh. Namun, tidak berlebihan, bukan, jika ia seterkejut ini.Bima, laki-laki yang selama ini ia andalkan, ia jadikan pelindung dan tempat bersandar, ia jadikan tempat berbagi dan bergantung, ternyata ….Bukan hanya Mentari sebenarnya yang terkejut, Samudra pun merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak? Ia pernah begitu cemburu dan iri pada laki-laki itu. Bahkan sejak awal-awal pernikahan, karena Bima bisa dengan mudah merebut perhatian Mentari.Rasa persaingan yang sebenarnya tidak sehat pun terus berjalan antara dirinya dengan laki-laki itu karena belakangan bukan hanya perhatian Mentari yang ia cemaskan diambil Bima, tapi lebih dari itu anak-anaknya yang terlanjur dekat dan mungkin sudah menganggap pengganti dirinya.Namun, siapa sangka kini harus mendapati kenyataan jika laki-laki itu adalah orang suruhan ibunya.Jadi, haruskah bahagia karena menya
251“Ibu bawa si kembar pulang duluan, ya, biar kamu bisa leluasa ngurusin bayi besarmu di sini.”Mentari tersenyum mendengar ucapan sang ibu mertua. Wanita itu berjalan menyamai kursi roda yang tengah menuju pintu keluar. Widya pamit pulang setelah dirasa cukup bicara dengan anak menantunya. Ia juga harus beristirahat.“Boleh ya, Ibu bawa Bulan sama Barra pindah sekarang?” ulang Widya saat melihat menantunya masih diam dan malah melirik sekilas laki-laki di atas ranjang pasien.“Tidak usah, Bu. Bulan sama Barra biar di apartemen saja dulu. Kan, papanya juga belum sembuh.” Mentari mencoba tersenyum agar tidak menyinggung perasaan ibu mertuanya.“Justru biar sekalian, kalau Samudra sembuh nanti kalian langsung pulang ke rumah saja.”“Tidak apa-apa, Bu. Biar mereka di apartemen saja dulu. Sayang kan, ranjang barunya baru dipakai semalam.”“Nanti biar Nenek belikan ranjang baru yang lebih bagus di sana. Biar mereka betah.” Widya masih membujuk.“Jangan, Bu. Biar mereka pakai yang sekaran
252“Enak nggak, Mas?” tanya Mentari seraya menyeka pinggiran bibir Samudra setelah memberikan suapan terakhir salad buah yang ia bawa dari rumah.“Apa pun makanan buatan tanganmu, Mas pasti suka.” Samudra menjawab ambigu.“Walaupun tidak enak maksudnya? Kamu akan tetap suka walaupun makanannya tidak enak?” Mentari melipat tangannya di dada.Samudra meraih tangan Mentari, lalu menggenggamnya erat. “Makanan buatanmu selalu enak di lidah Mas. Bergizi pula. Buktinya saat kamu tinggal lama, tubuh Mas kurus karena tidak mendapat asupan makanan yang bergizi buatan tanganmu.”Mentari memiringkan bibirnya.“Dan lihatlah si kembar, karena dibuatin makanan bundanya setiap hari, mereka gemoy-gemoy. Mereka padat dan sehat. Sementara papanya kurus kering.”“Papanya juga tetap gemoy, kan, dibuatin bekal tiap hari sama asistennya.” Mentari mencibir.“Mulai lagi, deh.” Samudra sebal.“Tapi bener kok, Sayang. Mas kurusan, kan? Lihat, kata orang Mas jadi jelek setelah menduda.” Samudra menempelkan kedu