248“Nuri, tolong lihat Mentari di kamar mandi. Sepertinya ia sudah terlalu lama di sana.” Widya memberi perintah pada wanita muda asisten pribadinya, sesaat setelah Bastian keluar.Gadis bernama Nuri mengangguk sebelum berlalu menuju sebuah pintu di pojok ruangan.“Menurutku, ini terlalu tega, Bu.” Samudra bersuara setelah Nuri pergi.“Bastian sendiri tidak keberatan, Sam. Sudahlah, kamu fokus saja kesembuhanmu agar cepat pulang dan berkumpul dengan keluargamu.”Samudra memejamkan matanya. Sunguh ia tidak tega membiarkan Bastian sendiri di luar sana, tapi ia juga tidak bisa membantah sang ibu. Apalagi yang dilakukannya demi istri dan anak-anaknya.“Bu, berita Bang Benny sudah sampai?” tanya Samudra hati-hati. Ia sebenarnya tidak sampai hati menyampaikan berita buruk itu, tetapi bukankah Benny anaknya juga? Widya pasti juga ingin mendengar berita anaknya yang pergi tanpa kabar.Widya bergeming. Mimik wajahnya dibuat senormal mungkin, walaupun Samudra tetap menemukan ada riak asing di
249“Jadi, kita sebenarnya tinggal sangat dekat ya, Bu?” tanya Mentari setelah sekian lama sang ibu mertua menceritakan kisahnya selama dalam persembunyian. Ternyata, selama ini wanita sepuh itu tinggal tak jauh dari mereka. Sebuah vila di puncak yang akses jalannya menuju ibu kota, melewati rumah Mentari.“Iya, Tari. Kamu bisa bayangkan bagaimana hampir gilanya Ibu, bukan? Yang bisa melihat kamu dan cucu-cucu, tapi tidak bisa mendekat apalagi sampai menyentuh kalian.”“Tari pikir Ibu tinggal di luar negeri.”“Meninggalkan anak bodoh itu sendiri di sini?” Widya melirik sebentar Samudra yang sejak tadi seolah tak kasat mata. Ada, tetapi tak dianggap ada. Ucapannya tak pernah mereka tanggapi hingga akhirnya lelah sendiri dan hanya diam menyimak.“Mana mungkin. Ibu kan, sembunyi untuk memberinya pelajaran. Bukan untuk bersenang-senang. Lagipula, Ibu tidak bisa sehari saja tidak melihat cucu-cucu. Walaupun hanya lewat video yang dikirim seseorang, itu cukup membantu mengawasi perkembangan
250Mata dan mulut Mentari masih sama-sama terbuka lebar. Tubuhnya membeku. Bahkan kepalanya mendadak sulit untuk digerakkan sekadar menoleh. Namun, tidak berlebihan, bukan, jika ia seterkejut ini.Bima, laki-laki yang selama ini ia andalkan, ia jadikan pelindung dan tempat bersandar, ia jadikan tempat berbagi dan bergantung, ternyata ….Bukan hanya Mentari sebenarnya yang terkejut, Samudra pun merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak? Ia pernah begitu cemburu dan iri pada laki-laki itu. Bahkan sejak awal-awal pernikahan, karena Bima bisa dengan mudah merebut perhatian Mentari.Rasa persaingan yang sebenarnya tidak sehat pun terus berjalan antara dirinya dengan laki-laki itu karena belakangan bukan hanya perhatian Mentari yang ia cemaskan diambil Bima, tapi lebih dari itu anak-anaknya yang terlanjur dekat dan mungkin sudah menganggap pengganti dirinya.Namun, siapa sangka kini harus mendapati kenyataan jika laki-laki itu adalah orang suruhan ibunya.Jadi, haruskah bahagia karena menya
251“Ibu bawa si kembar pulang duluan, ya, biar kamu bisa leluasa ngurusin bayi besarmu di sini.”Mentari tersenyum mendengar ucapan sang ibu mertua. Wanita itu berjalan menyamai kursi roda yang tengah menuju pintu keluar. Widya pamit pulang setelah dirasa cukup bicara dengan anak menantunya. Ia juga harus beristirahat.“Boleh ya, Ibu bawa Bulan sama Barra pindah sekarang?” ulang Widya saat melihat menantunya masih diam dan malah melirik sekilas laki-laki di atas ranjang pasien.“Tidak usah, Bu. Bulan sama Barra biar di apartemen saja dulu. Kan, papanya juga belum sembuh.” Mentari mencoba tersenyum agar tidak menyinggung perasaan ibu mertuanya.“Justru biar sekalian, kalau Samudra sembuh nanti kalian langsung pulang ke rumah saja.”“Tidak apa-apa, Bu. Biar mereka di apartemen saja dulu. Sayang kan, ranjang barunya baru dipakai semalam.”“Nanti biar Nenek belikan ranjang baru yang lebih bagus di sana. Biar mereka betah.” Widya masih membujuk.“Jangan, Bu. Biar mereka pakai yang sekaran
252“Enak nggak, Mas?” tanya Mentari seraya menyeka pinggiran bibir Samudra setelah memberikan suapan terakhir salad buah yang ia bawa dari rumah.“Apa pun makanan buatan tanganmu, Mas pasti suka.” Samudra menjawab ambigu.“Walaupun tidak enak maksudnya? Kamu akan tetap suka walaupun makanannya tidak enak?” Mentari melipat tangannya di dada.Samudra meraih tangan Mentari, lalu menggenggamnya erat. “Makanan buatanmu selalu enak di lidah Mas. Bergizi pula. Buktinya saat kamu tinggal lama, tubuh Mas kurus karena tidak mendapat asupan makanan yang bergizi buatan tanganmu.”Mentari memiringkan bibirnya.“Dan lihatlah si kembar, karena dibuatin makanan bundanya setiap hari, mereka gemoy-gemoy. Mereka padat dan sehat. Sementara papanya kurus kering.”“Papanya juga tetap gemoy, kan, dibuatin bekal tiap hari sama asistennya.” Mentari mencibir.“Mulai lagi, deh.” Samudra sebal.“Tapi bener kok, Sayang. Mas kurusan, kan? Lihat, kata orang Mas jadi jelek setelah menduda.” Samudra menempelkan kedu
253“Dek Sam, kondisimu belum memungkinkan untuk keluar rumah sakit.” Dokter Rena yang kembali dimintai tolong, menatap Samudra dengan khawatir. Luka bakar di punggung pria itu masih basah, tetapi ia memaksa ingin keluar untuk mencari Mentari.“Aku tidak mungkin diam saja di sini, sementara istri entah di mana, dokter.”“Kamu sudah menyuruh orang untuk mencarinya, Dek.”Samudra menggeleng. Lalu merentangkan tangannya saat perawat laki-laki membantu memasangkan kemeja berukuran besar di tubuhnya.“Dokter tidak akan mengerti perasaanku. Dan aku memang tidak minta dimengerti. Aku hanya minta tolong untuk mengurus segala administrasi di sini, dok.”“Dek Sam, kalau terjadi sesuatu yang lebih parah dengan lukamu di luar sana, pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab karena kamu pulang sebelum dokter menyatakan sembuh.”“Tidak apa-apa, dok. Lukaku tidak lebih penting dari keselamatan istriku. Lukaku tidak akan lebih sakit dibanding aku kehilangan istriku. Cukup sekali aku kehilangannya
254Ruangan yang awalnya gaduh, kini perlahan tenang hingga hanya menyisakan sedu-sedan dari dua bayi yang kini menyusu dari dot.Samudra memeluk keduanya di kedua sisi agar mereka tenang. Padahal hatinya sendiri tak dapat digambarkan riuhnya seperti apa.Kecemasannya kini bertambah setelah melihat bagaimana kedua anaknya tantrum tak menemukan ibu mereka. Padahal baru beberapa jam saja mereka terpisah, tapi sudah sebegitu rewel keduanya. Tak sanggup Samudra membayangkan jika Mentari lebih lama lagi tak membersamai mereka.Samudra menciumi pucuk kepala kedua anaknya bergantian dengan hati pedih. Matanya memejam selagi ciuman itu masih bersarang di kepala keduanya. Barra dan Bulan baru bisa tenang setelah dirinya bersusah payah menenangkan.Awalnya kedua bayi itu terus saja menangis. Hingga kedua wanita yang menggendongnya kewalahan. Satu hal yang Samudra yakini jika kedua anaknya bukan hanya mencari Mentari, tetapi mereka belum terbiasa dengan tempat baru yang terlalu asing. Itulah mun
255Samudra memejamkan matanya dengan kesal. Kedua tangannya mengepal erat. Bahkan setelah wajah sang sopir tak dapat dikenali lagi karena baru saja menjadi sasaran empuk dua pria berbadan besar, Heru tetap saja tak mengaku menyusul Mentari masuk ke minimarket. Apalagi sampai bersekongkol mengakibatkan hilangnya Mentari.Pria bernama Heru itu bersikukuh jika orang dalam video bukan dirinya. Ia bahkan sampai bersumpah demi nama Tuhan. Ia tetap mengaku tinggal di dalam mobil selama menunggu istri bosnya itu belanja.“Bagaimana ini, Bos? Dia masih belum mengaku. Dia bisa mati kalau terus dipukuli.” Hamish yang ikut bingung, bertanya. Heru sudah terkapar di lantai sebuah ruangan, tetapi tak kunjung mau mengaku.Samudra mengembus napas kasar. Sungguh, ia sebenarnya tidak tega melihat pria yang selama ini dipercaya mendampingi Mentari terkapar tak berdaya dengan wajah babak-belur, tapi tidak ada pilihan selain meminta keterangan pria itu karena wajahnya yang tertangkap kamera bersama istri