247“Nenek.” Bastian yang hendak membuka pintu, mundur karena pintu dibuka lebih dulu dari luar. Terlihat di sana wanita sepuh berambut putih yang didorong masuk di atas kursi rodanya. Bastian mengangguk meski tidak mendapat tanggapan sama sekali.Wajah Widya lempeng. Tatapannya tertuju sosok di ranjang pasien.“Ibu?” Samudra menyapa saat kursi roda yang membawa ibunya sudah berhenti. Ia mengisyaratkan pada Bastian agar tidak keluar dulu dari sana.“Di mana menantuku?” tanya Widya setelah mengedarkan pandangan beberapa saat.“Mentari di kamar mandi.” Samudra menjawab seadanya. Dan jika ia tidak salah ingat, istrinya itu sudah terlalu lama di sana. Sejak Bastian datang hingga pemuda itu sudah akan pergi, Mentari belum muncul juga. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana, karena tadi pamitnya hanya unyuk memakai lagi kerudungnya. Namun satu yang Samudra yakini, jika wanita itu sengaja berdiam diri di sana karena ada Bastian di sini.“Bagaimana kondisimu, Sam?” Widya mengamati putra bu
248“Nuri, tolong lihat Mentari di kamar mandi. Sepertinya ia sudah terlalu lama di sana.” Widya memberi perintah pada wanita muda asisten pribadinya, sesaat setelah Bastian keluar.Gadis bernama Nuri mengangguk sebelum berlalu menuju sebuah pintu di pojok ruangan.“Menurutku, ini terlalu tega, Bu.” Samudra bersuara setelah Nuri pergi.“Bastian sendiri tidak keberatan, Sam. Sudahlah, kamu fokus saja kesembuhanmu agar cepat pulang dan berkumpul dengan keluargamu.”Samudra memejamkan matanya. Sunguh ia tidak tega membiarkan Bastian sendiri di luar sana, tapi ia juga tidak bisa membantah sang ibu. Apalagi yang dilakukannya demi istri dan anak-anaknya.“Bu, berita Bang Benny sudah sampai?” tanya Samudra hati-hati. Ia sebenarnya tidak sampai hati menyampaikan berita buruk itu, tetapi bukankah Benny anaknya juga? Widya pasti juga ingin mendengar berita anaknya yang pergi tanpa kabar.Widya bergeming. Mimik wajahnya dibuat senormal mungkin, walaupun Samudra tetap menemukan ada riak asing di
249“Jadi, kita sebenarnya tinggal sangat dekat ya, Bu?” tanya Mentari setelah sekian lama sang ibu mertua menceritakan kisahnya selama dalam persembunyian. Ternyata, selama ini wanita sepuh itu tinggal tak jauh dari mereka. Sebuah vila di puncak yang akses jalannya menuju ibu kota, melewati rumah Mentari.“Iya, Tari. Kamu bisa bayangkan bagaimana hampir gilanya Ibu, bukan? Yang bisa melihat kamu dan cucu-cucu, tapi tidak bisa mendekat apalagi sampai menyentuh kalian.”“Tari pikir Ibu tinggal di luar negeri.”“Meninggalkan anak bodoh itu sendiri di sini?” Widya melirik sebentar Samudra yang sejak tadi seolah tak kasat mata. Ada, tetapi tak dianggap ada. Ucapannya tak pernah mereka tanggapi hingga akhirnya lelah sendiri dan hanya diam menyimak.“Mana mungkin. Ibu kan, sembunyi untuk memberinya pelajaran. Bukan untuk bersenang-senang. Lagipula, Ibu tidak bisa sehari saja tidak melihat cucu-cucu. Walaupun hanya lewat video yang dikirim seseorang, itu cukup membantu mengawasi perkembangan
250Mata dan mulut Mentari masih sama-sama terbuka lebar. Tubuhnya membeku. Bahkan kepalanya mendadak sulit untuk digerakkan sekadar menoleh. Namun, tidak berlebihan, bukan, jika ia seterkejut ini.Bima, laki-laki yang selama ini ia andalkan, ia jadikan pelindung dan tempat bersandar, ia jadikan tempat berbagi dan bergantung, ternyata ….Bukan hanya Mentari sebenarnya yang terkejut, Samudra pun merasakan hal yang sama. Bagaimana tidak? Ia pernah begitu cemburu dan iri pada laki-laki itu. Bahkan sejak awal-awal pernikahan, karena Bima bisa dengan mudah merebut perhatian Mentari.Rasa persaingan yang sebenarnya tidak sehat pun terus berjalan antara dirinya dengan laki-laki itu karena belakangan bukan hanya perhatian Mentari yang ia cemaskan diambil Bima, tapi lebih dari itu anak-anaknya yang terlanjur dekat dan mungkin sudah menganggap pengganti dirinya.Namun, siapa sangka kini harus mendapati kenyataan jika laki-laki itu adalah orang suruhan ibunya.Jadi, haruskah bahagia karena menya
251“Ibu bawa si kembar pulang duluan, ya, biar kamu bisa leluasa ngurusin bayi besarmu di sini.”Mentari tersenyum mendengar ucapan sang ibu mertua. Wanita itu berjalan menyamai kursi roda yang tengah menuju pintu keluar. Widya pamit pulang setelah dirasa cukup bicara dengan anak menantunya. Ia juga harus beristirahat.“Boleh ya, Ibu bawa Bulan sama Barra pindah sekarang?” ulang Widya saat melihat menantunya masih diam dan malah melirik sekilas laki-laki di atas ranjang pasien.“Tidak usah, Bu. Bulan sama Barra biar di apartemen saja dulu. Kan, papanya juga belum sembuh.” Mentari mencoba tersenyum agar tidak menyinggung perasaan ibu mertuanya.“Justru biar sekalian, kalau Samudra sembuh nanti kalian langsung pulang ke rumah saja.”“Tidak apa-apa, Bu. Biar mereka di apartemen saja dulu. Sayang kan, ranjang barunya baru dipakai semalam.”“Nanti biar Nenek belikan ranjang baru yang lebih bagus di sana. Biar mereka betah.” Widya masih membujuk.“Jangan, Bu. Biar mereka pakai yang sekaran
252“Enak nggak, Mas?” tanya Mentari seraya menyeka pinggiran bibir Samudra setelah memberikan suapan terakhir salad buah yang ia bawa dari rumah.“Apa pun makanan buatan tanganmu, Mas pasti suka.” Samudra menjawab ambigu.“Walaupun tidak enak maksudnya? Kamu akan tetap suka walaupun makanannya tidak enak?” Mentari melipat tangannya di dada.Samudra meraih tangan Mentari, lalu menggenggamnya erat. “Makanan buatanmu selalu enak di lidah Mas. Bergizi pula. Buktinya saat kamu tinggal lama, tubuh Mas kurus karena tidak mendapat asupan makanan yang bergizi buatan tanganmu.”Mentari memiringkan bibirnya.“Dan lihatlah si kembar, karena dibuatin makanan bundanya setiap hari, mereka gemoy-gemoy. Mereka padat dan sehat. Sementara papanya kurus kering.”“Papanya juga tetap gemoy, kan, dibuatin bekal tiap hari sama asistennya.” Mentari mencibir.“Mulai lagi, deh.” Samudra sebal.“Tapi bener kok, Sayang. Mas kurusan, kan? Lihat, kata orang Mas jadi jelek setelah menduda.” Samudra menempelkan kedu
253“Dek Sam, kondisimu belum memungkinkan untuk keluar rumah sakit.” Dokter Rena yang kembali dimintai tolong, menatap Samudra dengan khawatir. Luka bakar di punggung pria itu masih basah, tetapi ia memaksa ingin keluar untuk mencari Mentari.“Aku tidak mungkin diam saja di sini, sementara istri entah di mana, dokter.”“Kamu sudah menyuruh orang untuk mencarinya, Dek.”Samudra menggeleng. Lalu merentangkan tangannya saat perawat laki-laki membantu memasangkan kemeja berukuran besar di tubuhnya.“Dokter tidak akan mengerti perasaanku. Dan aku memang tidak minta dimengerti. Aku hanya minta tolong untuk mengurus segala administrasi di sini, dok.”“Dek Sam, kalau terjadi sesuatu yang lebih parah dengan lukamu di luar sana, pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab karena kamu pulang sebelum dokter menyatakan sembuh.”“Tidak apa-apa, dok. Lukaku tidak lebih penting dari keselamatan istriku. Lukaku tidak akan lebih sakit dibanding aku kehilangan istriku. Cukup sekali aku kehilangannya
254Ruangan yang awalnya gaduh, kini perlahan tenang hingga hanya menyisakan sedu-sedan dari dua bayi yang kini menyusu dari dot.Samudra memeluk keduanya di kedua sisi agar mereka tenang. Padahal hatinya sendiri tak dapat digambarkan riuhnya seperti apa.Kecemasannya kini bertambah setelah melihat bagaimana kedua anaknya tantrum tak menemukan ibu mereka. Padahal baru beberapa jam saja mereka terpisah, tapi sudah sebegitu rewel keduanya. Tak sanggup Samudra membayangkan jika Mentari lebih lama lagi tak membersamai mereka.Samudra menciumi pucuk kepala kedua anaknya bergantian dengan hati pedih. Matanya memejam selagi ciuman itu masih bersarang di kepala keduanya. Barra dan Bulan baru bisa tenang setelah dirinya bersusah payah menenangkan.Awalnya kedua bayi itu terus saja menangis. Hingga kedua wanita yang menggendongnya kewalahan. Satu hal yang Samudra yakini jika kedua anaknya bukan hanya mencari Mentari, tetapi mereka belum terbiasa dengan tempat baru yang terlalu asing. Itulah mun
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau