253“Dek Sam, kondisimu belum memungkinkan untuk keluar rumah sakit.” Dokter Rena yang kembali dimintai tolong, menatap Samudra dengan khawatir. Luka bakar di punggung pria itu masih basah, tetapi ia memaksa ingin keluar untuk mencari Mentari.“Aku tidak mungkin diam saja di sini, sementara istri entah di mana, dokter.”“Kamu sudah menyuruh orang untuk mencarinya, Dek.”Samudra menggeleng. Lalu merentangkan tangannya saat perawat laki-laki membantu memasangkan kemeja berukuran besar di tubuhnya.“Dokter tidak akan mengerti perasaanku. Dan aku memang tidak minta dimengerti. Aku hanya minta tolong untuk mengurus segala administrasi di sini, dok.”“Dek Sam, kalau terjadi sesuatu yang lebih parah dengan lukamu di luar sana, pihak rumah sakit tidak akan bertanggung jawab karena kamu pulang sebelum dokter menyatakan sembuh.”“Tidak apa-apa, dok. Lukaku tidak lebih penting dari keselamatan istriku. Lukaku tidak akan lebih sakit dibanding aku kehilangan istriku. Cukup sekali aku kehilangannya
254Ruangan yang awalnya gaduh, kini perlahan tenang hingga hanya menyisakan sedu-sedan dari dua bayi yang kini menyusu dari dot.Samudra memeluk keduanya di kedua sisi agar mereka tenang. Padahal hatinya sendiri tak dapat digambarkan riuhnya seperti apa.Kecemasannya kini bertambah setelah melihat bagaimana kedua anaknya tantrum tak menemukan ibu mereka. Padahal baru beberapa jam saja mereka terpisah, tapi sudah sebegitu rewel keduanya. Tak sanggup Samudra membayangkan jika Mentari lebih lama lagi tak membersamai mereka.Samudra menciumi pucuk kepala kedua anaknya bergantian dengan hati pedih. Matanya memejam selagi ciuman itu masih bersarang di kepala keduanya. Barra dan Bulan baru bisa tenang setelah dirinya bersusah payah menenangkan.Awalnya kedua bayi itu terus saja menangis. Hingga kedua wanita yang menggendongnya kewalahan. Satu hal yang Samudra yakini jika kedua anaknya bukan hanya mencari Mentari, tetapi mereka belum terbiasa dengan tempat baru yang terlalu asing. Itulah mun
255Samudra memejamkan matanya dengan kesal. Kedua tangannya mengepal erat. Bahkan setelah wajah sang sopir tak dapat dikenali lagi karena baru saja menjadi sasaran empuk dua pria berbadan besar, Heru tetap saja tak mengaku menyusul Mentari masuk ke minimarket. Apalagi sampai bersekongkol mengakibatkan hilangnya Mentari.Pria bernama Heru itu bersikukuh jika orang dalam video bukan dirinya. Ia bahkan sampai bersumpah demi nama Tuhan. Ia tetap mengaku tinggal di dalam mobil selama menunggu istri bosnya itu belanja.“Bagaimana ini, Bos? Dia masih belum mengaku. Dia bisa mati kalau terus dipukuli.” Hamish yang ikut bingung, bertanya. Heru sudah terkapar di lantai sebuah ruangan, tetapi tak kunjung mau mengaku.Samudra mengembus napas kasar. Sungguh, ia sebenarnya tidak tega melihat pria yang selama ini dipercaya mendampingi Mentari terkapar tak berdaya dengan wajah babak-belur, tapi tidak ada pilihan selain meminta keterangan pria itu karena wajahnya yang tertangkap kamera bersama istri
256“Apa kamu suka di sini?”Mentari mengerjap dan menoleh ke asal suara. Namun, ruangan yang tidak begitu terang karena hanya pencahayaan kecil di atas sana, matanya tak dapat menangkap jelas wajah seseorang yang barusan bertanya. Hanya silau yang ia dapatkan dari pantulan cahaya lampu kecil itu. Terlebih posisinya yang meringkuk.Sebuah sepakan terasa di kakinya bersamaan pertanyaan yang kembali meluncur.“Aku sedang bertanya padaku, Mentari. Apa kamu suka di sini?”Mentari memejam, darahnya mendadak mendidih. Ingin rasanya berteriak di depan wajah orang yang melakukan ini padanya. Bagaimana ia mau menjawab, sementara mulutnya saja disumpal sesuatu.Kaki dan tangannya bahkan diikat dengan kuat.Mentari memaksa otaknya untuk mengingat apa yang terjadi sebelum ini padanya.Ia meninggalkan Samudra di rumah sakit setelah suaminya itu tidur pulas. Bukan karena tega, tetapi Rumi yang menelepon jika Bulan dan Barra mulai rewel di rumah. Padahal stok susu masih banyak.Ia pulang tanpa memba
257“Sudah kukatakan jangan berteriak di depanku! Di sini, kamu bukan siapa-siapa!” Ratri membentak seraya mencengkeram dagu Mentari dengan sangat kuat.“Mungkin suami dan mertuamu menyanjung dan menujamu seolah kau seorang putri raja, tapi bagiku, kamu bukan siapa-siapa! Aku bahkan bisa melenyapkan nyawamu saat ini dalam beberapa detik saja!”“Dan kamu akan mendekam di balik jeruji besi selama sisa hidupmu!” Mentari mencoba melawan walaupun hanya dengan kata-kata.“Oh, tidak masalah.” Ratri menyeringai. Tangannya bahkan menggoyang wajah Mentari solah itu adalah mainan dalam genggamannya.“Aku tidak takut mendekam di balik penjara, asalkan puas dapat melihat suami tercintamu menderita seumur hidupnya tanpamu di sisinya. Aku akan tertawa senang melihat pria payah itu menangisi dan meratapi kepergianmu. Dan … kesedihannya pasti berlipat karena anak-anakmu kehilangan ibu mereka ter-sa-yang.” Ratri mendekatkan wajahnya lagi hingga jarak mereka hanya beberapa inci saja. Bukan hanya itu, ia
258“Mentari ….”Dengan tertatih-tatih, Samudra keluar dari mobil, lalu mengejar wanita berkerudung yang berjalan di trotoar.“Tari ….” panggilnya lagi dengan terus mempercepat langkah walaupun terseok, hingga ia dapat menggapai lengan baju si wanita. Ditariknya lengan itu agar pemiliknya menghadap padanya. Pakaian dan kerudung yang mirip dengan yang dipakai Mentari tadi pagi membuatnya yakin jika itu adalah sang istri. Namun ….“Ada apa, ya?”Samudra tertegun. Ia mundur dan pundaknya meluruh, sebelum berbalik dan berkata.“Maaf, keliru orang, Mbak.”Pria itu berjalan gontai menuju kembali ke mobilnya yang terjebak di lampu merah. Sampai semalam ini, ia belum juga menemukan Mentari. Padahal Hamish dan beberapa orang yang menyertainya sudah mencari hingga seluruh penjuru ibu kota.Rumah Mentari tak luput dari tujuan mereka. Dengan melompati pagar dan mendobrak pintu, ia dapat masuk ke sana. Namun, bukan menemukan Mentari seperti tujuannya, hatinya malah dibuat semakin remuk redam karen
259“Kalau aku meminta statusmu, apa suami dan ibu mertuamu tersayang itu akan memberikannya?” tanyanya dengan mencondongkan kepala.“Apa maksudmu?”Ratri mengibaskan tangannya. “Jangan berpura-pura bodoh! Kalian semua tahu apa yang aku inginkan, tapi kalian berpura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu. Kalian semua malah sengaja mempermalukanku. Kalian pikir aku akan diam saja, hah?” Kembali Ratri membentak. Bukan hanya itu, sepatunya menginjak punggung kaki Mentari yang tanpa alas, hingga wanita itu menjerit kesakitan. Namun, gegas tangan Ratri membekap mulut Mentari agar teriaknya tidak terdengar keluar.Alhasil Mentari hanya menggeram dengan punggung kaki yang terasa remuk karena Ratri bukan hanya menginjaknya, tetapi juga menekan dan menuusukkan ujung sepatunya.Mentari merasakan tubuhnya lemas pasca Ratri menghentikan aksinya. Air mata yang sejak tadi ditahannya, kini meluncur bebas sudah karena rasa sakit yang tidak terkira. Wanita itu menangis mengenaskan.Apalagi yang dapat ia
260“Bos yakin mau ikut masuk?” Hamish menatap wajah Samudra yang semakin kusut.“Tentu saja, aku harus menyelamatkan istriku.”“Tapi kondisi Bos ….”“Sudah kubilang lukaku tidak lebih penting dari keselamatan istriku.”“Aku hanya takut mereka dalam jumlah banyak, Bos. Kita kan, tidak tahu bagaimana kekuatan mereka. Lagipula, ini baru praduga. Ada yang mencurigakan di sana. Belum tentu juga itu istri bos disekap di sana.”“Makanya kalian pastikan dulu, baru setelah itu beritahu aku. Jika benar istriku di sana, aku akan masuk sendiri.”Hamish mengangguk dan menginstruksikan beberapa pengawal yang sudah disewanya untuk mengecek lokasi gudang terbengkalai dekat bangunan yang terbakar. Sementara beberapa lainnya menginterogasi petugas keamanan yang berjaga.Pasca gulung tikar tempo hari, perusahaan itu memang memiliki beberapa ruangan yang terbengkalai karena Samudra mengefektifkan fungsi-fungsi bangunan menjadi hanya beberapa saja yang dipakai setelah ia mengoperasikannya lagi. Ada sebua
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau