259“Kalau aku meminta statusmu, apa suami dan ibu mertuamu tersayang itu akan memberikannya?” tanyanya dengan mencondongkan kepala.“Apa maksudmu?”Ratri mengibaskan tangannya. “Jangan berpura-pura bodoh! Kalian semua tahu apa yang aku inginkan, tapi kalian berpura-pura tidak tahu dan tidak mau tahu. Kalian semua malah sengaja mempermalukanku. Kalian pikir aku akan diam saja, hah?” Kembali Ratri membentak. Bukan hanya itu, sepatunya menginjak punggung kaki Mentari yang tanpa alas, hingga wanita itu menjerit kesakitan. Namun, gegas tangan Ratri membekap mulut Mentari agar teriaknya tidak terdengar keluar.Alhasil Mentari hanya menggeram dengan punggung kaki yang terasa remuk karena Ratri bukan hanya menginjaknya, tetapi juga menekan dan menuusukkan ujung sepatunya.Mentari merasakan tubuhnya lemas pasca Ratri menghentikan aksinya. Air mata yang sejak tadi ditahannya, kini meluncur bebas sudah karena rasa sakit yang tidak terkira. Wanita itu menangis mengenaskan.Apalagi yang dapat ia
260“Bos yakin mau ikut masuk?” Hamish menatap wajah Samudra yang semakin kusut.“Tentu saja, aku harus menyelamatkan istriku.”“Tapi kondisi Bos ….”“Sudah kubilang lukaku tidak lebih penting dari keselamatan istriku.”“Aku hanya takut mereka dalam jumlah banyak, Bos. Kita kan, tidak tahu bagaimana kekuatan mereka. Lagipula, ini baru praduga. Ada yang mencurigakan di sana. Belum tentu juga itu istri bos disekap di sana.”“Makanya kalian pastikan dulu, baru setelah itu beritahu aku. Jika benar istriku di sana, aku akan masuk sendiri.”Hamish mengangguk dan menginstruksikan beberapa pengawal yang sudah disewanya untuk mengecek lokasi gudang terbengkalai dekat bangunan yang terbakar. Sementara beberapa lainnya menginterogasi petugas keamanan yang berjaga.Pasca gulung tikar tempo hari, perusahaan itu memang memiliki beberapa ruangan yang terbengkalai karena Samudra mengefektifkan fungsi-fungsi bangunan menjadi hanya beberapa saja yang dipakai setelah ia mengoperasikannya lagi. Ada sebua
261“Mendekatlah, dan istri tersayang Bapak akan terbang bebas.”Seringaian menghiasi wajah wanita yang memegang tali yang terhubung ke tangan wanita lainnya yang terduduk lemas.Wajah Samudra memucat seketika seolah darah tidak mengalir ke sana. Kedua tangannya mengepal. Sungguh, tidak pernah menyangka jika akan melihat wanita tercintanya diperlakukan sampai seperti ini.Mentari pernah mendapatkan perlakukan buruk juga dari wanita yang menginginkan dirinya, tapi ini jauh lebih buruk. Ratri lebih menakutkan dari Lucy. Atau mungkin sama saja? Hanya karena dulu ia tidak melihat langsung bagaimana Lucy memperlakukan mentari, bukan berarti apa yang Mentari rasakan lebih ringan.Sumpah demi apa pun rasa bersalahnya kepada sang istri menjadi berlipat-lipat. Karena menjadi istrinya, Mentari yang tidak bersalah harus dua kali merasakan diperlakukan semena-mena oleh dua wanita yang menginginkan dirinya.“Ratri, apa kamu sudah gila?” Walaupun dengan suara bergetar, Samudra membentak. “Lepaskan
262“Oh, mantan bosku yang terhormat juga datang rupanya. Suatu kehormatan bagiku.” Ratri menyambut Widya dengan wajah tenang seperti dulu, setelah beberapa saat lalu sempat tersentak kaget.“Kalian keluarga yang sangat kompak, ya. Baguslah, semua sudah berkumpul biar segera kumulai saja pertunjukkannya,” lanjutnya. Pandangannya bergantian terarah Samudra yang masih duduk bersimpuh dan juga wanita sepuh yang menatapnya tajam.“Pak Samudra, dan anda Bu Widya yang terhormat, apa ada yang mau disampaikan sebelum Mentari tercinta kalian ini terjun bebas ke sana?” Ratri menunjuk ke bawah sana.“Dasar wanita tidak tahu malu, tidak tahu diuntung! Apa urat malumu sudah putus? Kamu makan di rumahku selama ini, lalu mengais rezeki di perusahaan menantuku, inikah balasannya?” Widya mengecam.“Anda hanya menghitung kebaikan kalian saja, Bu. Seolah saya ini hanya pengemis di rumah kalian. Kalian lupa kalau aku bekerja. Bahkan dengan segala loyalitas tertinggi. Aku bekerja, Bu. Maka, pantas bukan k
263Di sini, di tempat yang sama dengan waktu sekitar satu setengah tahun lalu, Samudra bersimpuh. Poisis yang sama, gundukan tanah merah yang sama. Nisan yang sama. Namun, dengan kepedihan yang berbeda. Kali ini jauh lebih sakit dari sebelumnya.Jika dulu ia hancur, kini jauh lebih hancur berkeping-keping karena harus melihat semua dengan mata kepalanya sendiri. Semuanya terlalu menakutkan, semua terlalu mengerikan. Tidak pernah terduga semua akan terjadi seburuk ini.Air mata sudah tak terhitung yang terjatuh, Namun, semua tak merubah apa pun. Ia tetap di sini, kehilangan.Orang yang sama dengan delapan belas tahun lalu, berjongkok di sampingnya. Mengusap pundak sang pria sesaat.“Maaf, kali ini aku tidak bisa melakukan apa pun.” Kalimat itu tertangkap pelan telinga Samudra.“Semua di luar kendaliku. Tim kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan berkehendak lain.”Samudra hanya bisa mengangguk lemah tanpa menoleh. Diusapnya nisan di hadapan dengan pedih.“Saranku jangan ter
264“Halo jagoan, halo juga princess Papa.”Samudra langsung mengangkat kedua anaknya yang antusias menyambut. Tak dipedulikan tubuhnya yang masih belum vit. Melihat kedua anaknya yang berebut ingin digendong, rasa perih di punggung dan tubuh yang masih lemah kalah dengan rindu yang sempat tertunda.Diciuminya kedua bayi yang kesenangan itu bergantian sebelum dibawa mendekati ranjang pasien di mana penghuninya terbaring lemah. Pasien itu salah satu pipinya ditutup perban, sedangkan mata kanannya masih tampak bengkak dan membiru.Samudra menyerahkan kedua bayi kepada wanita berkerudung instan yang berdiri di samping ranjang.“Abang Barra sama Adek Bulan main sama Mbak Rumi dulu, ya. Papa mau bicara sama Bunda dulu.” Kedua bayi awalnya menolak untuk dialihkan ke pengasuhnya. Namun setelah dibujuk dengan mainan, keduanya baru mau.Samudra tersenyum memperhatikan kedua anaknya yang kembali sibuk bermain. Setelahnya, langsung menghampiri ranjang. Mendekatkan wajah pada wajah pasien yang me
265“Istirahat dulu, ya. Biar kamu cepat sembuh.” Samudra membelai kepala Mentari yang terbungkus kerudung. Berusaha mengalihkan perhatian agar tak terus bertanya soal kejadian mengerikan itu.“Mas, siapa dia? Apa dia salah satu orang-orangnya Ibu? Aku ingin berterima kasih.”“Sayang ….”“Mas, aku berhutang budi padanya. Kalau ia tidak menyiapkan dirinya di bawah, pasti tubuhku sudah hancur atau minimal patah-patah. Dan saat ini aku mungkin tidak lagi berada di sini, melainkan di kubur—”“Sayang, jangan bicara yang tidak-tidak, jangan membuat Mas takut. Kamu selamat, itu sesuatu yang paling Mas syukuri dalam kejadian ini.” Samudra menggeleng kuat. Tidak mau membayangkan seandainya Bastian tidak datang tepat waktu dan sengaja menyediakan tubuhnya agar tubuh Mentari menimpa dirinya.Mungkin saat ini ia tengah gila ditinggalkan dua orang terkasih dengan cara mengenaskan.“Ya, aku bersyukur masih di sini. Masih bisa bertemu dan berkumpul dengan kamu dan anak-anak. Makanya aku ingin tahu s
266“Ham, bagaimana kondisi Heru?” tanya Samudra saat mereka dalam perjalanan menuju komplek pemakaman. Selama seminggu ini hampir setiap hari ia menyempatkan diri mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang ibu. Rasa rindu sedikit terobati jika sudah menyambangi tempat itu.“Sudah lebih baik, Bos. Luka-luka di wajahnya sudah mengering.”“Aku tidak tahu jika Heru memiliki saudara.” Ada nada penyesalan dalam suara Samudra.“Wajar Bos salah sangka. Siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam keadaan panik seprti itu, Bos. Istri hilang dan tangkapan kamera terakhir menunjukkan ia bersama orang yang kita kenal. Tentu saja tuduhan akan mengarah padanya.”“Apa aku terlalu cepat mengambil kesimpulan?”“Saya sudah katakan siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam keadaan panik. Jika berada di posisi Bos, saya pun akan melakukan hal yang sama. Mungkin lebih buruk.”Sebuah tarikan napas panjang terdengar dari mulut Samudra. “Bagaimana saudaranya Heru sekarang?”“Kalau itu, Bos nanti tan
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau