263Di sini, di tempat yang sama dengan waktu sekitar satu setengah tahun lalu, Samudra bersimpuh. Poisis yang sama, gundukan tanah merah yang sama. Nisan yang sama. Namun, dengan kepedihan yang berbeda. Kali ini jauh lebih sakit dari sebelumnya.Jika dulu ia hancur, kini jauh lebih hancur berkeping-keping karena harus melihat semua dengan mata kepalanya sendiri. Semuanya terlalu menakutkan, semua terlalu mengerikan. Tidak pernah terduga semua akan terjadi seburuk ini.Air mata sudah tak terhitung yang terjatuh, Namun, semua tak merubah apa pun. Ia tetap di sini, kehilangan.Orang yang sama dengan delapan belas tahun lalu, berjongkok di sampingnya. Mengusap pundak sang pria sesaat.“Maaf, kali ini aku tidak bisa melakukan apa pun.” Kalimat itu tertangkap pelan telinga Samudra.“Semua di luar kendaliku. Tim kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Tapi Tuhan berkehendak lain.”Samudra hanya bisa mengangguk lemah tanpa menoleh. Diusapnya nisan di hadapan dengan pedih.“Saranku jangan ter
264“Halo jagoan, halo juga princess Papa.”Samudra langsung mengangkat kedua anaknya yang antusias menyambut. Tak dipedulikan tubuhnya yang masih belum vit. Melihat kedua anaknya yang berebut ingin digendong, rasa perih di punggung dan tubuh yang masih lemah kalah dengan rindu yang sempat tertunda.Diciuminya kedua bayi yang kesenangan itu bergantian sebelum dibawa mendekati ranjang pasien di mana penghuninya terbaring lemah. Pasien itu salah satu pipinya ditutup perban, sedangkan mata kanannya masih tampak bengkak dan membiru.Samudra menyerahkan kedua bayi kepada wanita berkerudung instan yang berdiri di samping ranjang.“Abang Barra sama Adek Bulan main sama Mbak Rumi dulu, ya. Papa mau bicara sama Bunda dulu.” Kedua bayi awalnya menolak untuk dialihkan ke pengasuhnya. Namun setelah dibujuk dengan mainan, keduanya baru mau.Samudra tersenyum memperhatikan kedua anaknya yang kembali sibuk bermain. Setelahnya, langsung menghampiri ranjang. Mendekatkan wajah pada wajah pasien yang me
265“Istirahat dulu, ya. Biar kamu cepat sembuh.” Samudra membelai kepala Mentari yang terbungkus kerudung. Berusaha mengalihkan perhatian agar tak terus bertanya soal kejadian mengerikan itu.“Mas, siapa dia? Apa dia salah satu orang-orangnya Ibu? Aku ingin berterima kasih.”“Sayang ….”“Mas, aku berhutang budi padanya. Kalau ia tidak menyiapkan dirinya di bawah, pasti tubuhku sudah hancur atau minimal patah-patah. Dan saat ini aku mungkin tidak lagi berada di sini, melainkan di kubur—”“Sayang, jangan bicara yang tidak-tidak, jangan membuat Mas takut. Kamu selamat, itu sesuatu yang paling Mas syukuri dalam kejadian ini.” Samudra menggeleng kuat. Tidak mau membayangkan seandainya Bastian tidak datang tepat waktu dan sengaja menyediakan tubuhnya agar tubuh Mentari menimpa dirinya.Mungkin saat ini ia tengah gila ditinggalkan dua orang terkasih dengan cara mengenaskan.“Ya, aku bersyukur masih di sini. Masih bisa bertemu dan berkumpul dengan kamu dan anak-anak. Makanya aku ingin tahu s
266“Ham, bagaimana kondisi Heru?” tanya Samudra saat mereka dalam perjalanan menuju komplek pemakaman. Selama seminggu ini hampir setiap hari ia menyempatkan diri mengunjungi tempat peristirahatan terakhir sang ibu. Rasa rindu sedikit terobati jika sudah menyambangi tempat itu.“Sudah lebih baik, Bos. Luka-luka di wajahnya sudah mengering.”“Aku tidak tahu jika Heru memiliki saudara.” Ada nada penyesalan dalam suara Samudra.“Wajar Bos salah sangka. Siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam keadaan panik seprti itu, Bos. Istri hilang dan tangkapan kamera terakhir menunjukkan ia bersama orang yang kita kenal. Tentu saja tuduhan akan mengarah padanya.”“Apa aku terlalu cepat mengambil kesimpulan?”“Saya sudah katakan siapa pun akan melakukan hal yang sama dalam keadaan panik. Jika berada di posisi Bos, saya pun akan melakukan hal yang sama. Mungkin lebih buruk.”Sebuah tarikan napas panjang terdengar dari mulut Samudra. “Bagaimana saudaranya Heru sekarang?”“Kalau itu, Bos nanti tan
267Samudra berjalan tergesa menuju sebuah ruangan di rumah sakit, setelah sebelumnya membuat janji dengan seseorang di dalam sana. Hamish dan pengawal ia minta menunggu di depan ruangan itu. Sekembalinya dari makam sang ibu, sebuah ide melintas begitu saja.“Sudah tidak ada jawdal, dok?” tanyanya setelah menutup pintu dan melihat dokter Rena sudah melepas jasnya. Baginya sekarang, dokter Rena sudah seperti pengganti sang ibu. Padahal usia mereka tidak terpaut jauh, karena sang dokter seusia dengan Benny.“Aku baru akan pulang. Ada apa?” dokter senior itu memicingkan matanya.“Aku sudah menemukan gadis itu, dok.”“Gadis?” Kening Rena berlipat. Sang dokter kembali duduk saat melihat tamunya juga duduk di depannya.“Ya, aku yakin ia bersedia menikah.”Kening Rena semakin berlipat-lipat.“Kamu mau menikah lagi, Dek? Kamu baru saja rujuk sama Mentari, lho. Dan ingat betapa perjuanganmu untuk mendapatkannya lagi.” Dokter Rena melipat tangannya di dada.Samudra memejam. “Kenapa jadi aku?” Sa
268“Ta-ri, kamu di sini?” Bastian terkejut.Mentari yang tak kalah terkejut, mengatupkan bibirnya. Ia tak dapat berkata-kata. Bukan ibu mertua yang ia dapatkan di sana seperti sangkaannya, tetapi ….“Nya-ri Om Sam, ya?” Lagi, Bastian bertanya meski gagap. “Dia baru saja per-gi.” Dengan lirikan mata, laki-laki itu menunjuk pintu.Mentari tidak tahu apa yang harus dilakukannya, ia masih mematung. Kenekatannya mencari tahu malah membuatnya mendapati kenyataan berbeda.Entah berapa lama sang wanita mematung. Pandangannya menyapu kondisi tubuh Bastian ari ujung kepala hingga kakinya yang tak ubahnya mummi hidup. Penuh perban, penuh bebatan kain putih.Setelahnya, wanita itu gegas berbalik sambil menguasi dirinya, lalu berjalan kembali menuju pintu ruangan tanpa berkata-kata.“Tari!” Panggilan Bastian meski tidak keras, cukup membuat wanita yang meraih gagang pintu menghentikan gerakkannya.“Apa kamu sudah sembuh?” lanjut Bastian meski tidak mendapat sambutan. “Aku senang akhirnya bisa mel
269“Ka-mu bilang apa, Mas?” tanya Mentari dengan menelengkan kepala. Keterkejutan tampak jelas di sana.Samudra memejamkan matanya sejenak. Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk megatakannya, tapi sikap Mentari yang terus membenci membuatnya takut sang istri terlalu lama memendam penyakit hati.“Apa pendengaranku bermasalah?” tanya Mentari lirih seolah untuk dirinya sendiri. Sangat kentara ia menyangkal apa yang tertangkap telinganya.“Sayang.” Samudra meraih tangan sang istri, kemudian digenggamnya erat.“Bisa Mas ulangi kalimat yang tadi? Sepertinya pendengaranku sedang bermasalah.”Samudra menggelengkan kepalanya. “Sayang, maaf Mas tidak mengatakan ini dari awal. Mas takut kamu ….”“Mas, jangan berbelit-belit. Aku mau kamu mengulang kalimat yang tadi. Kenapa keponakan palsu kamu itu berada di sana?”Samudra menatap lekat sang istri untuk beberapa waktu tanpa kata. Kedipan berkali-kali mengakhiri aksinya.“Mas ….”“Iya, Sayang … Bastian yang menolong kamu malam itu. Bastian y
270Samudra dan Mentari saling menjauhkan tubuh mereka saat terdengar suara pintu dibuka, terlebih saat celoteh dua bayi memenuhi ruangan.“Maaf, Pak, Bu, Mbak nggak tahu kalau ….”Nada suara dari kalimat yang menggantung dan raut bersalah memenuhi wajah wanita berkerudung instan tak lama setelah sepasang suami istri itu saling memisahkan diri.Kecanggungan tercipta seketika. Semburat merah sudah pasti menghiasi wajah wanita di atas ranjang.“Tidak apa-apa, Mbak. Kami sedang ngapa-ngapain, kok.” Samudra gegas menguasi diri dengan berjalan menghampiri pengasuh itu. Sementara Mentari sibuk menetralkan hatinya. Semburat merah masih menghiasi wajahnya.“Abang Barra sama Adek Bulan dari mana?” Samudra langsung mengambil alih kedua anaknya dari pangkuan Rumi. Diciuminya dua bayi yang kegelian itu bergantian. Kemudian dibawa menuju ibunya yang masih sibuk menguasai diri.Kedua bayi yang merindukan Mentari itu langsung merentangkan tangannya. Meminta untuk digendong. Samudra meletakkan keduan