269“Ka-mu bilang apa, Mas?” tanya Mentari dengan menelengkan kepala. Keterkejutan tampak jelas di sana.Samudra memejamkan matanya sejenak. Sebenarnya ini bukan waktu yang tepat untuk megatakannya, tapi sikap Mentari yang terus membenci membuatnya takut sang istri terlalu lama memendam penyakit hati.“Apa pendengaranku bermasalah?” tanya Mentari lirih seolah untuk dirinya sendiri. Sangat kentara ia menyangkal apa yang tertangkap telinganya.“Sayang.” Samudra meraih tangan sang istri, kemudian digenggamnya erat.“Bisa Mas ulangi kalimat yang tadi? Sepertinya pendengaranku sedang bermasalah.”Samudra menggelengkan kepalanya. “Sayang, maaf Mas tidak mengatakan ini dari awal. Mas takut kamu ….”“Mas, jangan berbelit-belit. Aku mau kamu mengulang kalimat yang tadi. Kenapa keponakan palsu kamu itu berada di sana?”Samudra menatap lekat sang istri untuk beberapa waktu tanpa kata. Kedipan berkali-kali mengakhiri aksinya.“Mas ….”“Iya, Sayang … Bastian yang menolong kamu malam itu. Bastian y
270Samudra dan Mentari saling menjauhkan tubuh mereka saat terdengar suara pintu dibuka, terlebih saat celoteh dua bayi memenuhi ruangan.“Maaf, Pak, Bu, Mbak nggak tahu kalau ….”Nada suara dari kalimat yang menggantung dan raut bersalah memenuhi wajah wanita berkerudung instan tak lama setelah sepasang suami istri itu saling memisahkan diri.Kecanggungan tercipta seketika. Semburat merah sudah pasti menghiasi wajah wanita di atas ranjang.“Tidak apa-apa, Mbak. Kami sedang ngapa-ngapain, kok.” Samudra gegas menguasi diri dengan berjalan menghampiri pengasuh itu. Sementara Mentari sibuk menetralkan hatinya. Semburat merah masih menghiasi wajahnya.“Abang Barra sama Adek Bulan dari mana?” Samudra langsung mengambil alih kedua anaknya dari pangkuan Rumi. Diciuminya dua bayi yang kegelian itu bergantian. Kemudian dibawa menuju ibunya yang masih sibuk menguasai diri.Kedua bayi yang merindukan Mentari itu langsung merentangkan tangannya. Meminta untuk digendong. Samudra meletakkan keduan
271Keheningan memerangkap untuk beberapa lama. Samudra menyesali ucapannya. Karena terbawa suasana, ia keceplosan, padahal belum waktunya menyampaikan berita ini. Ingin meralat, tapi tidak mungkin, Mentari sudah menyadarinya.“Mas, apa maksud kamu di alam sana? Alam mana?” Pertanyaan itu meluncur lagi, walaupun tidak dengan suara keras karena takut menganggau kenyamanan anak-anaknya, tetapi cukup jelas di telinga Samudra. Terlebih diucapkan dengan penuh penekanan.“Sayang … hmmm, bagaimana kalau kamu tidurkan dulu si kembar. Nanti baru kita bicara.”“Kamu mau mengalihkan perhatianku, Mas?” tanya Mentari kesal.“Tidak sama sekali, Sayang.” Samudra membelai kepala yang tertutup kerudung itu.“Atau kamu ingin membuatku mati penasaran dengan kebohongan-kebohonganmu?”“Tari … kamu bicara apa?” Samudra menggeleng. “Ok, memang ada banyak rahasia yang Mas sembunyikan dari kamu, tapi Mas punya alasan kenapa menyimpannya. Mas hanya menunda untuk menyampakikannya sama kamu, menunggu waktu yang
272“Sah.”Seruan beberapa orang di dalam ruangan itu, sesaat setelah Bastian mengucap ijab qabul pernikahan, menggema. Keharuan langsung menyelimuti, bahkan saat penghulu melantunkan doa, Bastian tidak bisa menahan air matanya. Tangisnya langsung pecah meski hanya air mata tanpa suara yang mengalir.Ia tidak pernah menyangka perjalanan hidupnya akan sampai di titik ini. Menikah di rumah sakit dalam kondisi hidup pun setengah mati. Nyawa masih bersarang di raga, tetapi raga sendiri tak lagi berfungsi.Ia terharu sekaligus heran, kenapa di saat kondisinya seperti ini, masih ada wanita yang mau ia nikahi. Padahal jangankan memberikan afkah lahir berupa materi, bahkan nafkah bathin saja ia tidak akan sanggup memberikan.Ia huga terharu sekaligus heran, kenapa Samudra yang sudah ia recoki hidupnya masih saja berbaik hati menikahkan dirinya. Bukan hanya itu, Samudra juga bertanggung jawab atas semua biaya pernikahan, perawatan, dan juga hidupnya ke depannya.Dan entah berapa banyak hal lag
273“Maafkan aku ya, Tari.” Entah untuk ke berapa kalinya kalimat itu terdengar.Sungguh, Mentari tidak nyaman dengan situasi ini. Namun, mau sampai kapan menghindar? Cepat atau lambat akan ada interaksi lagi antara dirinya dengan Bastian. Samudra tetap menganggap Bastian bagian dari keluarga Hanggara, tidak akan pernah membuang laki-laki itu. Jadi, sekuat apa pun ia ingin menghindar, rasanya Bastian akan tetap berada di sekitar dirinya dan Samudra.Dan yang terpenting dari semua itu, Bastian sudah mengorbankan dirinya agar ia selamat. Sepertinya tidak punya hati jika ia masih juga membenci laki-laki itu karena kesalahan masa lalunya.Mentari mengerjap dan memandang ke arah lain. Tidak tega sebenarnya melihat kondisi Bastian yang sangat mengenaskan itu, tapi lagi-lagi kebenciannya belum sepenuhnya hilang. Sebenarnya ia ingin segera pergi dari sana, tetapi tatapan penuh harap sang suami yang membuatnya masih bertahan di sini.Samudra meremas telapak tangan Mentari dengan lembut sebagai
274“Sudah dulu.” Bastian menahan Nuri yang mau menyuapkan lagi potongan buah mangga ke mulutnya. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya.Nuri hanya mengangguk sebelum bangkit dan berjalan menuju lemari pendingin di sudut ruangan. Memasukkan kotak berisi irisan buah-buahan ke dalamnya agar tidak basi. Setelahnya gadis itu kembali menghampiri Bastian lagi. Mengusap pinggiran bibir sang lelaki dengan tisu. Lalu menyodorkan air dalam botol di mana sudah terdapat sedotan di dalamnya. Kondisi leher Bastian yang belum bisa digerakkan membuatnya sulit untuk menenggak air dalam gelas.Setelah selesai, lagi Nuri mengelap pinggiran bibir Bastian dengan lembut. Semua ia lakukan dengan lihai, walaupun sedikit canggung dan selalu menjaga jarak.Tidak heran bagi Bastian kenapa gadis semuda Nuri sudah bisa melalukan semua itu, karena sebelumnya ia asisten Widya. Asisten yang lebih seperti seorang suster karena kondisi Widya yang memburuk sebelum kepergiannya.Nuri tidak seperti Ratri yang membersamai Widya s
275Mentari sempat menghentikan langkahnya sesaat sebelum memasuki pintu utama kediaman Hanggara yang baginya menyimpan kenangan kelam. Matanya memejam cukup lama, hingga sebuah sentuhan di tengkuk memaksa matanya terbuka.Karena kedua tangannya menggendong si kembar di kanan dan kirinya, Samudra menyurukkan wajah di tengkuk sang istri untuk memberinya kekuatan. Ia ingin meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja setelah ini.Awalnya, Mentari meminta tetap pulang ke apartemen. Tetapi Samudra terus meyakinkan sang istri jika di rumah akan lebih nyaman. Bastian ada di rumah sakit dan bukankah ia sendiri sudah melihat kondisinya? Sudah pula melihat perubahan perilakunya. Sepertinya memang tidak ada yang harus ditakutkan lagi. Lagipula, rumah itu kosong sepeninggal Widya, hanya ada para pekerja yang menghuni. Jika bukan mereka yang tinggal di sana, siapa lagi? Bukankah Samudra satu-satunya pewaris yang tersisa?Alangkah kecewa sang ibu jika rumah peninggalannya ditelantarkan dan anak ke
276“Mau saya seka?” tawar Nuri setelah beberapa saat lalu Bastian membuka matanya.Nuri yang sudah berganti pakaian dengan kaus lengan panjang dan celana jeans biru panjang, terlihat sesuai usianya. Kasual dan santai.Bastian yang beberapa saat lalu memperhatikan, sampai membathin kasihan. Seharusnya gadis seusia itu masih senang-senangnya bergaul di luar sana dengan anak seusianya. Kuliah, atau kerja yang menyenangkan. Bukan menikah siri dan malah mengurusi laki-laki cacat sepertinya.“Apa kamu tidak keberatan?” tanya Bastian setelah mengalihkan pandangan. Tatapannya kosong tak tentu objek.Nuri mengerjap seraya mendekat. “Kenapa harus keberatan? Kan, itu memang kewajiban saya.”Bastian mengembus napas kasar. “Kamu punya kewajiban dalam pernikahan ini hanya bila hakmu terpenuhi, Nuri. Sementara aku sebagai seorang suami tidak bisa memenuhi hakmu yang menjadi kewajibanku. Aku malu jika menuntut kamu harus melakukan kewajibanmu.”“Bapak ngomongnya jangan muter-muter, dong. Saya jadi p