Yang ringan-ringan dulu, ya. setelah ketegangan berkepanjangan he.. maksih banyak buat yang masih mengikuti
275Mentari sempat menghentikan langkahnya sesaat sebelum memasuki pintu utama kediaman Hanggara yang baginya menyimpan kenangan kelam. Matanya memejam cukup lama, hingga sebuah sentuhan di tengkuk memaksa matanya terbuka.Karena kedua tangannya menggendong si kembar di kanan dan kirinya, Samudra menyurukkan wajah di tengkuk sang istri untuk memberinya kekuatan. Ia ingin meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja setelah ini.Awalnya, Mentari meminta tetap pulang ke apartemen. Tetapi Samudra terus meyakinkan sang istri jika di rumah akan lebih nyaman. Bastian ada di rumah sakit dan bukankah ia sendiri sudah melihat kondisinya? Sudah pula melihat perubahan perilakunya. Sepertinya memang tidak ada yang harus ditakutkan lagi. Lagipula, rumah itu kosong sepeninggal Widya, hanya ada para pekerja yang menghuni. Jika bukan mereka yang tinggal di sana, siapa lagi? Bukankah Samudra satu-satunya pewaris yang tersisa?Alangkah kecewa sang ibu jika rumah peninggalannya ditelantarkan dan anak ke
276“Mau saya seka?” tawar Nuri setelah beberapa saat lalu Bastian membuka matanya.Nuri yang sudah berganti pakaian dengan kaus lengan panjang dan celana jeans biru panjang, terlihat sesuai usianya. Kasual dan santai.Bastian yang beberapa saat lalu memperhatikan, sampai membathin kasihan. Seharusnya gadis seusia itu masih senang-senangnya bergaul di luar sana dengan anak seusianya. Kuliah, atau kerja yang menyenangkan. Bukan menikah siri dan malah mengurusi laki-laki cacat sepertinya.“Apa kamu tidak keberatan?” tanya Bastian setelah mengalihkan pandangan. Tatapannya kosong tak tentu objek.Nuri mengerjap seraya mendekat. “Kenapa harus keberatan? Kan, itu memang kewajiban saya.”Bastian mengembus napas kasar. “Kamu punya kewajiban dalam pernikahan ini hanya bila hakmu terpenuhi, Nuri. Sementara aku sebagai seorang suami tidak bisa memenuhi hakmu yang menjadi kewajibanku. Aku malu jika menuntut kamu harus melakukan kewajibanmu.”“Bapak ngomongnya jangan muter-muter, dong. Saya jadi p
277“Jadi, saya ini … istri ke-dua, Pak?” Pertanyaan gagap keluar dari mulut Nuri. Wajahnya memucat. Gestur tubuhnya menandakan ia cukup shock.“Kenapa? Kamu tidak mau jadi istri kedua?” Datar saja pertanyaan Bastian. Dan ia sudah siap seandainya gadis itu menuntut cerai apa pun alasannya. Ia akan melepaskan dengan mudah.“Apa Om Samudra tidak mengatakan kalau aku pernah menikah?” lanjutnya.“Tapi kamu jangan khawatir, perceraianku sedang diurus di pengadilan agama. Hanya memang masih proses. Walaupun sebenarnya aku dan mantan istri sudah lama berpisah. Sudah tidak ada ikatan lagi di antara kami.”Tidak ada jawaban apa pun dari mulut Nuri setelah itu. Gadis itu hanya diam menunduk. Tangannya mengepal waslap erat.Bastian mengangguk. Ia mengerti jika Nuri keberatan dan ternyata tidak nyaman menjadi istri kedua.“Kalau kamu keberatan menjadi istri kedua, tidak apa-apa, Nuri. Kamu pantas, kok, menolak. Dan sebelum kamu dirugikan dalam bentuk apa pun, kamu bisa kok memutuskan. Sebelum sem
278Wanita itu menatap bayangan wajahnya di cermin. Entah berapa lama ia duduk di depan meja rias itu hanya untuk memperhatikan wajahnya. Tangannya terangkat, lalu perlahan meraba luka memanjang di pipinya.Ia memejam untuk beberapa lama. Desiran halus menelusup di hatinya. Luka itu, meski tidak terlalu besar dan tidak pula terlalu dalam, tetapi cukup meninggalkan efek yang besar. Luka itu tidak besar, tetapi cukup mengganggu penampilannya. Hingga ia merasa tidak cantik lagi di mata suaminya.Luka itu tidak besar, tetapi serangkaian kejadian yang menyertai terciptanya luka itu sangat membekas.Penyiksaan, sumpah serapah, dan semua perlakukan buruk Ratri padanya saat penculikan itu, masih sering menghantui alam bawah sadarnya. Tak jarang ia terbangun dari tidur karena kejadian itu datang sebagai mimpi buruk.Seperti yang barusan dialaminya. Kejadian saat Ratri menariknya serta dari bibir rooftop itu seolah nyata terjadi lagi. Tubuhnya melayang bebas dengan kedua tangan terikat hingga ta
279“Apa kamu tidak mau keluar sama sekali?” tanya Bastian siang ini setelah Nuri selesai menyuapinya. Seminggu sejak mereka menikah, gadis itu sama sekali tidak pernah meminta izin untuk keluar sekadar membeli makan atau apa pun. Ia tetap berada di sana menemaninya tanpa terlihat bosan sama sekali.Aneh di mata Bastian karena biasanya gadis seusianya tidak betah terkurung seperti ini.“Keluar ke mana, A?” Nuri bertanya balik setelah menaruh bekas makan Bastian di meja yang sudah disediakan.“Ya, keluar. Membeli makanan, atau sekadar menghirup udara segar misalnya.”“Memangnya di sini udaranya tidak segar, A? Malah menurutku segaran di sini karena pake AC, daripada di luar, banyak debu dan polusi.”Bastian menarik kedua ujung bibirnya gemas. Bicara dengan Nuri, biarpun terlihat lugu dan polos, gadis itu selalu saja bisa membalikkan kata-katanya dengan tepat.“Memangnya kamu tidak bosan di sini terus? Sudah seminggu lho, kamu menemaniku.”“Kenapa harus bosan? Kan, aku juga tidak diam s
280Nuri membalikkan tubuh untuk menyembunyikan senyumnya, sesaat setelah selesai menyelimuti lagi Bastian. Digigit bibirnya dengan kuat, sebelum berjongkok. Mengganti kantung air seni yang penuh dengan yang baru.Ia berniat membawa kantung itu ke kamar mandi, tetapi sebelumnya kembali membalikkan badan. Menghadap Bastian yang ternyata sedang mengembuskan napas kasar. Seolah telah berlari jauh, lelaki itu napasnya tersengal.Selama ia mengurusinya tadi, Bastian memang memejamkan matanya dengan tubuh tegang. Sangat kentara laki-laki itu gugup.Aneh di mata Nuri, bukankah ia pernah menikah? Kenapa setegang itu hanya karena dibersihkan dan dibetulkan letak kateternya?“Apa?” tanya Bastian untuk menyembunyikan rasa malunya. Ia bertanya karena melihat Nuri terus menatapnya.“Nggak apa-apa, A.” Nuri menjawab sambil menunduk.Bastian membuang pandangan. Tidak mengira Nuri senekat itu melakukannya. Padahal ia mati-matian melarang.Bastian mengira gadis itu akan segera pergi ke kamar mandi unt
281“Bahkan sudah bau tanah begini, masih mau mengurus perceraian?”Nuri memicingkan matanya. Tidak salah sangkaannya, wanita itu sombong. Bukan hanya sombong, tapi tidak memiliki etika dan lidahnya setajam parang. Datang-datang tanpa permisi, langsung mengeluarkan ucapan tanpa disaring dulu.“Sudahlah, besok lusa juga kamu mungkin sudah mati, Bas. Aku bahkan mengira kamu sudah mati dari dulu. Seperti ibumu yang mati mengenaskan.” Kalimat wanita itu semakin kasar. Gestur tubuhnya kentara datang bukan untuk tujuan baik. Berjalan ke sana ke mari dengan angkuhnya.“Asal kamu tahu, Bas, aku sudah mematikan kamu untuk mempermudah administrasiku,” lanjutnya begitu ringan. Namun sukses membuat darah laki-laki yang terbaring, mendidih.“Maksud kamu apa, Novita? Aku masih hidup, dan aku akan segera sehat. Apa kamu sudah tidak waras?”Novita mengibaskan tangannya. Senyum ejekan semakin terlukis.“Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini? Aku sama sekali tidak mengizinkamu!” lanjut Bastian dengan
282Bastian mengerjap. Tangan kirinya yang tidak separah tangan kanan terulur, menyentuh wajah tenang yang terpejam. Wajah tenang yang kini lelap dan masih menyisakan isakan.Tadi, entah kenapa tiba-tiba saja Nuri menangis. Bahkan hingga suaranya keras dan lumayan lama. Padahal Bastian hanya memanggilnya agar mendekat selepas kejadian tak terduga itu. Bukannya mendekat seperti permintaannya, Nuri malah berjongkok sebelum akhirnya menangis sambil menutupi wajahnya.Bastian panik. Ia tidak tahu apa yang membuat Nuri menangis hingga sebegitunya. Apa gadis itu takut ia marahi? Sungguh, di saat seperti ini Bastian mengutuk dirinya yang tidak bisa melakukan apa pun. Jangankan menenangkan gadis itu agar berhenti menangis, bahkan sekadar bangun dan menghampirinya saja ia tidak mampu.Alhasil Bastian hanya bisa menatap nanar gadis yang menangis itu dari ranjangnya. Lalu menunggu sampai Nuri benar-benar menghabiskan sisa tangisnya. Bahkan hingga gadis itu tertidur kini, tidak ada sepatah kata p