281“Bahkan sudah bau tanah begini, masih mau mengurus perceraian?”Nuri memicingkan matanya. Tidak salah sangkaannya, wanita itu sombong. Bukan hanya sombong, tapi tidak memiliki etika dan lidahnya setajam parang. Datang-datang tanpa permisi, langsung mengeluarkan ucapan tanpa disaring dulu.“Sudahlah, besok lusa juga kamu mungkin sudah mati, Bas. Aku bahkan mengira kamu sudah mati dari dulu. Seperti ibumu yang mati mengenaskan.” Kalimat wanita itu semakin kasar. Gestur tubuhnya kentara datang bukan untuk tujuan baik. Berjalan ke sana ke mari dengan angkuhnya.“Asal kamu tahu, Bas, aku sudah mematikan kamu untuk mempermudah administrasiku,” lanjutnya begitu ringan. Namun sukses membuat darah laki-laki yang terbaring, mendidih.“Maksud kamu apa, Novita? Aku masih hidup, dan aku akan segera sehat. Apa kamu sudah tidak waras?”Novita mengibaskan tangannya. Senyum ejekan semakin terlukis.“Siapa yang mengizinkanmu masuk ke sini? Aku sama sekali tidak mengizinkamu!” lanjut Bastian dengan
282Bastian mengerjap. Tangan kirinya yang tidak separah tangan kanan terulur, menyentuh wajah tenang yang terpejam. Wajah tenang yang kini lelap dan masih menyisakan isakan.Tadi, entah kenapa tiba-tiba saja Nuri menangis. Bahkan hingga suaranya keras dan lumayan lama. Padahal Bastian hanya memanggilnya agar mendekat selepas kejadian tak terduga itu. Bukannya mendekat seperti permintaannya, Nuri malah berjongkok sebelum akhirnya menangis sambil menutupi wajahnya.Bastian panik. Ia tidak tahu apa yang membuat Nuri menangis hingga sebegitunya. Apa gadis itu takut ia marahi? Sungguh, di saat seperti ini Bastian mengutuk dirinya yang tidak bisa melakukan apa pun. Jangankan menenangkan gadis itu agar berhenti menangis, bahkan sekadar bangun dan menghampirinya saja ia tidak mampu.Alhasil Bastian hanya bisa menatap nanar gadis yang menangis itu dari ranjangnya. Lalu menunggu sampai Nuri benar-benar menghabiskan sisa tangisnya. Bahkan hingga gadis itu tertidur kini, tidak ada sepatah kata p
283Nuri mengerjapkan matanya, sebelum menoleh. Menatap pria empat puluhan yang berdiri di dekat ranjang. Tidak lama mengalihkan pandangan ke arah laki-laki yang berbaring di sampingnya. Kembali menoleh dan menatap ke samping ranjang. Balik lagi ke arah laki-laki di sampingnya. Mengucek matanya dengan kedua tangan, menoleh dan menatap dua kaum Adam itu bergantian, sebelum akhirnya loncat dari ranjang.Gadis itu berlari berputar ke sisi ranjang yang berseberangan dengan Samudra. Setelanya berdiri kaku dengan wajah tertunduk dalam. Seperti pesakitan yang tertangkap basah, ia hanya memilin jari jemarinya.“Maaf, Tuan,” ujarnya lirih hampir tak terdengar. Terlebih suaranya serak karena baru terbangun.“Maaf untuk apa?” Samudra menaikkan alisnya. Menatap saumi istri di hadapannya bergantian.“Maaf karena saya lancang tidur di ranjang Aa Bastian.”Samudra memajukan kepala dengan mulut menganga seolah akan berkata huruf A, tapi urung. Matanya berkedip-kedip.“Kenapa meminta maaf padaku? Sala
284Kedua sudut bibir Samudra tertarik bersamaan saat memperhatikan Nuri membantu Bastian minum. Semoga memang pilihannya menikahkan mereka tidak salah. Ide kilat yang terlintas saat di pemakaman ibunya, awalnya ia sanksi akan membawa kebaikan.Samudra tahu persis bagaimana selera Bastian terhadap perempuan. Tipe-tipe seperti Novita yang menjadikan tubuh mereka aset, tipe-tipe yang mendewakan keindahan fisik. Sementara Nuri gadis sederhana yang tampil apa adanya. Tidak macam-macam dan cenderung polos.Awalnya Samudra takut Bastian bahkan akan memandang sebelah mata. Siapa sangka kini hubungan mereka bahkan lebih cepat dekat dari yang ia kira. Mereka sudah bisa mencocokkan diri satu sama lain.“Ya sudah, Bas, aku permisi dulu, ya.” Samudra berpamitan. “Aku datang hanya untuk memastikan kalian baik-baik saja. Dan meminta maaf atas ketidaknyamanan ini. Aku janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.”Bastian yang baru selesai menyedot minumannya, beralih pandang.“Jangan meminta maaf,
285“Jadi, Aa nggak akan nikah lagi, ya?” tanya Nuri dengan malu-malu. Tangannya kembali sibuk menyuapkan pudding buah ke mulut Bastian setelah menghabiskan tangisnya.Bastian menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Tatapannya kosong. “Manalah ada menikah lagi, istri satu saja aku belum bisa menjalankan fungsiku sebagai suami. Istri satu saja aku belum bisa memenuhi kewajibanku. Menafkahi kamu lahir bathin. Bagaimana mau dua?” paparnya.“Istri satu saja aku tidak tahu sampai kapan bisa mempertahankannya. Bisa saja besok lusa dia bosan, dan m—”“Ssttt!” Nuri meletakkan telunjuknya di bibir Bastian. Kemudian menggelengkan kepalanya.“Nggak ada yang mau ninggalin Aa. Aku mau tetap di sini.” Nuri meyakinkan.“Kamu mau tetap di sini?” Bastian menaikkan alisnya.“Ya.”“Serius?”“Iya, kenapa?”“Tapi aku mau pulang kalau sudah sembuh. Tidak mau di sini terus. Apa kamu mau tetap di sini?”“Ih, Aa ….” Nuri memukul pelan dada sang suami sebelum menyuapkan pudding terakhir di sendok. Bast
286“Sudah mulai nakal, ya.” Bastian mencubit ujung hidung Nuri sesaat setelah mereka saling melepaskan tautan bibir.Tadi, ia terbawa suasana. Langsung mengimbangi aksi Nuri yang ia yakini jika ini adalah kali pertama untuk gadis itu.Sebagai laki-laki berpengalaman, ia sangat tahu mana wanita yang sudah terbiasa dan mana yang baru pertama kali melakukannya. Nuri, walaupun dinilai sangat berani, tetapi ia yakin ini pengalaman pertama bagi gadis itu. Terbukti gerakannya yang kaku, agak kasar, dan sedikit aneh. Menurutnya, lebih ke rasa penasarannya yang besar dan menuntut untuk dipenuhi. Karenanya ia berusaha mengimbangi dengan lembut agar Nuri tahu bagaimana harus melakukannya.Sepertinya gadis itu sangat senang. Terbukti tidak ingin mengakhirinya. Dan baru menjauhkan wajahnya setelah napasnya tersengal.Kedua sudut bibir Bastian tertarik ke samping melihat semburat merah menghiasi wajah Nuri. Terlebih saat melihat bibirnya yang basah.“Ide dari mana yang barusan itu?” goda Bastian sa
287“Aku bilang juga apa, Mas, jangan dulu jangan dulu. Kamu sih, nggak sabaran, jadinya begini, kan?” Mentari mengomel, tapi tangannya sibuk mengoleskan salep di punggung suaminya yang terbuka. Luka-luka di sana yang hampir mengering, kini terlihat retak-retak lagi. Sebagian bahkan ada yang mengeluarkan rembesan darah.Sebenarnya Mentari tidak tega melihatnya, tetapi jika bukan dia siapa yang akan mengoleskan salep itu setiap hari di punggung suaminya? Ia tidak akan mengizinkan orang lain meyentuh kulit suaminya meski hanya mengobati luka.“Aduh, pelan-pelan, Sayang ….” Samudra meringis saat Mentari mengoles di luka yang terak cukup besar dan dalam.“Sakit, ya?” Mentari menatap iba. “Maaf ….” Lanjutnya seraya meniup luka yang barusan disentuhnya.Tadi, mereka larut dalam lautan romansa penuh kerinduan yang memang sudah membucah-ruah karena lama tak bertepi. Sayangnya, baru saja setengah perjalanan indah itu, tiba-tiba saja Samudra mengaduh kesakitan hingga mereka harus menghentikan pe
282“Kenapa itu muka?” tanya Bastian malam ini. Yang ditanya spontan menangkup kedua pipinya.“Kenapa?” tanyanya balik.“Dari tadi perasaan merah.”Kedua bola mata Nuri melebar, sebelum akhirnya membuang muka. Gadis itu berjalan menuju ranjang khusus untuk penunggu pasien tak jauh dari ranjang Bastian.“Hei, mau apa?” tanya Bastian lagi saat melihat Nuri menyibak selimut di ranjangnya.“Mau tidur. Sudah malam, kan? Aa juga sebaiknya tidur, nanti aku disalahin dokter kalau jam istirahat Aa kurang.” Nuri mengangkat kedua tangannya sebelum akhirnya duduk di tepi ranjangnya.“Stop!” ujar sang lelaki lagi saat melihat Nuri ingin merebahkan dirinya. “Siapa yang menyuruhmu tidur di sana?” tangan Bastian menunjuk.Nuri menatap bengong sebelum berkedip berkali-kali. Lalu melihat ranjangnya sendiri. Pertanyaan Bastian baginya sangat aneh. Siapa yang menyuruh tidur di sana? Aneh, karena setiap hari ia memang tidur di sini.Mengabaikan rasa herannya, Nuri kembali ingin merebahkan diri. Pertanyaan