284Kedua sudut bibir Samudra tertarik bersamaan saat memperhatikan Nuri membantu Bastian minum. Semoga memang pilihannya menikahkan mereka tidak salah. Ide kilat yang terlintas saat di pemakaman ibunya, awalnya ia sanksi akan membawa kebaikan.Samudra tahu persis bagaimana selera Bastian terhadap perempuan. Tipe-tipe seperti Novita yang menjadikan tubuh mereka aset, tipe-tipe yang mendewakan keindahan fisik. Sementara Nuri gadis sederhana yang tampil apa adanya. Tidak macam-macam dan cenderung polos.Awalnya Samudra takut Bastian bahkan akan memandang sebelah mata. Siapa sangka kini hubungan mereka bahkan lebih cepat dekat dari yang ia kira. Mereka sudah bisa mencocokkan diri satu sama lain.“Ya sudah, Bas, aku permisi dulu, ya.” Samudra berpamitan. “Aku datang hanya untuk memastikan kalian baik-baik saja. Dan meminta maaf atas ketidaknyamanan ini. Aku janji hal seperti ini tidak akan terjadi lagi.”Bastian yang baru selesai menyedot minumannya, beralih pandang.“Jangan meminta maaf,
285“Jadi, Aa nggak akan nikah lagi, ya?” tanya Nuri dengan malu-malu. Tangannya kembali sibuk menyuapkan pudding buah ke mulut Bastian setelah menghabiskan tangisnya.Bastian menarik napas panjang dan membuangnya perlahan. Tatapannya kosong. “Manalah ada menikah lagi, istri satu saja aku belum bisa menjalankan fungsiku sebagai suami. Istri satu saja aku belum bisa memenuhi kewajibanku. Menafkahi kamu lahir bathin. Bagaimana mau dua?” paparnya.“Istri satu saja aku tidak tahu sampai kapan bisa mempertahankannya. Bisa saja besok lusa dia bosan, dan m—”“Ssttt!” Nuri meletakkan telunjuknya di bibir Bastian. Kemudian menggelengkan kepalanya.“Nggak ada yang mau ninggalin Aa. Aku mau tetap di sini.” Nuri meyakinkan.“Kamu mau tetap di sini?” Bastian menaikkan alisnya.“Ya.”“Serius?”“Iya, kenapa?”“Tapi aku mau pulang kalau sudah sembuh. Tidak mau di sini terus. Apa kamu mau tetap di sini?”“Ih, Aa ….” Nuri memukul pelan dada sang suami sebelum menyuapkan pudding terakhir di sendok. Bast
286“Sudah mulai nakal, ya.” Bastian mencubit ujung hidung Nuri sesaat setelah mereka saling melepaskan tautan bibir.Tadi, ia terbawa suasana. Langsung mengimbangi aksi Nuri yang ia yakini jika ini adalah kali pertama untuk gadis itu.Sebagai laki-laki berpengalaman, ia sangat tahu mana wanita yang sudah terbiasa dan mana yang baru pertama kali melakukannya. Nuri, walaupun dinilai sangat berani, tetapi ia yakin ini pengalaman pertama bagi gadis itu. Terbukti gerakannya yang kaku, agak kasar, dan sedikit aneh. Menurutnya, lebih ke rasa penasarannya yang besar dan menuntut untuk dipenuhi. Karenanya ia berusaha mengimbangi dengan lembut agar Nuri tahu bagaimana harus melakukannya.Sepertinya gadis itu sangat senang. Terbukti tidak ingin mengakhirinya. Dan baru menjauhkan wajahnya setelah napasnya tersengal.Kedua sudut bibir Bastian tertarik ke samping melihat semburat merah menghiasi wajah Nuri. Terlebih saat melihat bibirnya yang basah.“Ide dari mana yang barusan itu?” goda Bastian sa
287“Aku bilang juga apa, Mas, jangan dulu jangan dulu. Kamu sih, nggak sabaran, jadinya begini, kan?” Mentari mengomel, tapi tangannya sibuk mengoleskan salep di punggung suaminya yang terbuka. Luka-luka di sana yang hampir mengering, kini terlihat retak-retak lagi. Sebagian bahkan ada yang mengeluarkan rembesan darah.Sebenarnya Mentari tidak tega melihatnya, tetapi jika bukan dia siapa yang akan mengoleskan salep itu setiap hari di punggung suaminya? Ia tidak akan mengizinkan orang lain meyentuh kulit suaminya meski hanya mengobati luka.“Aduh, pelan-pelan, Sayang ….” Samudra meringis saat Mentari mengoles di luka yang terak cukup besar dan dalam.“Sakit, ya?” Mentari menatap iba. “Maaf ….” Lanjutnya seraya meniup luka yang barusan disentuhnya.Tadi, mereka larut dalam lautan romansa penuh kerinduan yang memang sudah membucah-ruah karena lama tak bertepi. Sayangnya, baru saja setengah perjalanan indah itu, tiba-tiba saja Samudra mengaduh kesakitan hingga mereka harus menghentikan pe
282“Kenapa itu muka?” tanya Bastian malam ini. Yang ditanya spontan menangkup kedua pipinya.“Kenapa?” tanyanya balik.“Dari tadi perasaan merah.”Kedua bola mata Nuri melebar, sebelum akhirnya membuang muka. Gadis itu berjalan menuju ranjang khusus untuk penunggu pasien tak jauh dari ranjang Bastian.“Hei, mau apa?” tanya Bastian lagi saat melihat Nuri menyibak selimut di ranjangnya.“Mau tidur. Sudah malam, kan? Aa juga sebaiknya tidur, nanti aku disalahin dokter kalau jam istirahat Aa kurang.” Nuri mengangkat kedua tangannya sebelum akhirnya duduk di tepi ranjangnya.“Stop!” ujar sang lelaki lagi saat melihat Nuri ingin merebahkan dirinya. “Siapa yang menyuruhmu tidur di sana?” tangan Bastian menunjuk.Nuri menatap bengong sebelum berkedip berkali-kali. Lalu melihat ranjangnya sendiri. Pertanyaan Bastian baginya sangat aneh. Siapa yang menyuruh tidur di sana? Aneh, karena setiap hari ia memang tidur di sini.Mengabaikan rasa herannya, Nuri kembali ingin merebahkan diri. Pertanyaan
289“Jadi, apa sebenarnya yang terjadi, Bu?” tanya dokter yang berjaga malam ini. Dokter yang akhirnya Nuri panggil karena Bastian meraung kesakitan.Kini, Bastian hanya meringis setelah dokter dan perawat memberikan penanganan darurat. Sementara Nuri berdiri dengan terus memilin jari-jemarinya. Tak dipedulikan rambutnya yang acak-acakkan. Raut bersalah dan takut mendominasi.“Pak Bastian tidak jatuh dari ranjang, kan?” tanya dokter lagi.Nuri menggeleng. “Tidak, dok,” jawabnya pelan.“Lalu?”Nuri melirik takut-takut ke arah lelaki yang masing meringis.“Ibu tidak meninggalkan Pak Bastian tadi, bukan?”Lagi, Nuri menggeleng.“Takutnya Ibu meninggalkan Pak Bastian, terus suaminya jatuh dari ranjang hingga tulang yang sudah dislokasi tambah bergeser.”“Apa ada sesuatu yang jatuh di atas tubuh Bapak?”Entah untuk ke berapa kalinya Nuri menggeleng. Perasaan bersalah semakin besar, tetapi ia tidak mungkin mengatakan jika semua itu karena ulahnya yang membabi-buta menciumi Bastian karena ge
290Tiga bulan berlalu ….“Ok, Pak Bastian kakinya sudah banyak kemajuan, ya. Ini bahkan lebih cepat dari yang kami perkirakan.” Pria berjas putih berkata.“Sepertinya semangat anda untuk sembuh sangat tinggi, dan hasilnya sangat amazing,” lanjut sang dokter yang meminta perawat untuk kembali membalut kaki kanan Bastian dengan perban elastis khusus cedera.“Semua karena istri saya, dok.” Bastian yang duduk di brangkar periksa, melirik wanita mungil yang berdiri di sampingnya. Mengusap punggung tangan yang sejak tadi tak pernah lepas selalu berpegangan dengannya.“Istri saya sumber kekuatan dan semangat saya untuk sembuh. Jika saya lebih cepat sembuh, semua karena dia yang terampil merawat saya. Belum lagi supportnya yang tumpah-tumpah. Tanpa dia, saya tidak akan sepesat ini perkembangannya.”Pria paruh baya dengan kacamata bertengger rendah di hidungnya itu tersenyum.“Senang sekali melihat pasangan muda seperti kalian yang saling support dalam kesehatan. Semoga tidak lama lagi segera
291“Ka-mu ….” Bastian gagap. Sorot matanya penuh tanda tanya.“Saya kenapa, A?” Nuri tersenyum.“Dari mana kamu tahu?”Nuri menghadapakan wajahnya ke depan. Tatapannya lurus ke jalanan.“Tahu kalau Aa mantan tunangannya Bu Mentari?” tanyanya lagi dengan tenang. “Saya bahkan tahu lebih banyak dari itu. Saya tahu apa penyebab batalnya pernikahan Aa sama Bu Mentari, saya tahu kenapa akhirnya Aa nikah sama Mbak sombong itu. Lalu, saya juga tahu Aa yang membuat mereka akhirnya bercerai. Saya tahu banyak hal, A,” paparnya datar. Berbanding terbalik dengan Bastian yang mendadak panas dingin.“Siapa yang memberitahumu?”“Apa itu penting?” Kembali Nuri menoleh. Bahkan kali ini menatap sambil memiringkan kepala.Bastian memejamkan matanya. Dadanya terasa sesak. Padahal ini adalah sesuatu yan ia takutkan, Nuri mengetahui masa lalunya.“Lalu, kalau kamu tahu aku banyak hal, kenapa masih mau nikah sama aku?”“Lho, memangnya kenapa?” Nuri menatap heran. Kedua tangannya diangkat.“Kan, kamu tahu bet