291“Ka-mu ….” Bastian gagap. Sorot matanya penuh tanda tanya.“Saya kenapa, A?” Nuri tersenyum.“Dari mana kamu tahu?”Nuri menghadapakan wajahnya ke depan. Tatapannya lurus ke jalanan.“Tahu kalau Aa mantan tunangannya Bu Mentari?” tanyanya lagi dengan tenang. “Saya bahkan tahu lebih banyak dari itu. Saya tahu apa penyebab batalnya pernikahan Aa sama Bu Mentari, saya tahu kenapa akhirnya Aa nikah sama Mbak sombong itu. Lalu, saya juga tahu Aa yang membuat mereka akhirnya bercerai. Saya tahu banyak hal, A,” paparnya datar. Berbanding terbalik dengan Bastian yang mendadak panas dingin.“Siapa yang memberitahumu?”“Apa itu penting?” Kembali Nuri menoleh. Bahkan kali ini menatap sambil memiringkan kepala.Bastian memejamkan matanya. Dadanya terasa sesak. Padahal ini adalah sesuatu yan ia takutkan, Nuri mengetahui masa lalunya.“Lalu, kalau kamu tahu aku banyak hal, kenapa masih mau nikah sama aku?”“Lho, memangnya kenapa?” Nuri menatap heran. Kedua tangannya diangkat.“Kan, kamu tahu bet
292“Ada apa, Nuri?” tanya Mentari saat melihat gadis yang dipapah dua pelayan itu didudukkan di sebuah sofa.“Tolong ambilkan minum buat Nuri, ya,” pintanya pada salah satu pelayan sebelum duduk di samping gadis yang tubuhnya menggigil itu.“Kamu kenapa?” tanya Mentari lagi seraya menempelkan punggung tangan di kening gadis yang kini bersandar meringkuk.“Apa yang terjadi di luar sana? Apa kalian baik-baik saja?”Bukannya menjawab, Nuri malah mulai terisak di antara tubuhnya yang semakin menggigil. Mentari yang keheranan, memeluk tubuh Nuri yang sudah basah karena keringat dingin. Wanita itu menepuk pelan punggung Nuri. Berharap meski belum tahu apa yang terjadi, bisa sedikit menenangkannya.“Minum dulu, ya,” ujar Mentari lagi saat pelayan datang membawa baki berisi air putih dalam gelas tinggi.Wanita berkerudung warna pastel itu merenggangkan pelukan, lalu menyodorkan gelas ke dekat bibir Nuri. Membantunya minum karena tangan Nuri sangat gemetar. Setelahnya ia kembali memeluk gadis
293“Nuri, kenapa kamu tidak jujur saat kami bertanya keluargamu sebelum menikah?” tanya Samudra lagi mencoba tetap tenang.Tangis Nuri mulai mereda setelah beberapa lama. Sementara Bastian terus menggenggam tangannya.“Kalau kamu jujur, kami bisa mendatangkan keluargamu dari kampung. Toh kampung kamu tidak terlalu jauh, kan? Akan semakin lengkap dan sempurna pernikahan kalian kalau pihak keluarga datang. Apalagi jika ada yang lebih berhak menjadi wali nikah. Kalaupun kemarin kami mencari wali hakim, itu karena kamu bilang sudah tidak memiliki sanak saudara,” lanjut Samudra berusaha tetap lembut agar Nuri tak ketakutan.Nuri bergeming. Sedu-sedan masih terdengar dari mulutnya. Kepalanya masih menunduk dalam. Hanya saja tubuhnya tak lagi gemetar.“Om, semua sudah terjadi. Kami sudah menikah, bisakah kita cari solusinya saja tanpa harus menghakimi Nuri?” tanya Bastian mewakili Nuri yang masih juga tidak bisa berkata-kata. Ia tidak tega jika Nuri terus disudutkan.Samudra menarik napas d
294“Bas,” panggil Samudra saat mereka beringingan keluar rumah. Kursi roda Bastian didorong seorang pengawal. Sementara beberapa pengawal lainnya mengekori mereka.Kini, mereka menuju bangunan terbuka seperti gazebo tak jauh dari pos penjagaan. Sebelumnya Samudra juga sudah meminta Hamish agar menghubungi pengacara dan datang ke sana.Samudra tidak mau gegabah menemui pamannya Nuri yang sepertinya akan sulit untuk diajak bekerja sama dan bicara baik-baik. Latar belakang pendidikan yang kehidupan yang berbeda membuat mereka selalu menggunakan otot saat bicara. Boro-boro etika dan kepala dingin.Bukan Samudra merendahkan mereka. Hanya saja dari pertemuan beberapa menit lalu saja sudah dapat tertebak orang seperti apa mereka.Samudra tidak mau buang-buang waktu dan energi menghadapi orang-orang seperti itu. Ia setuju untuk bertemu dan bicara dengan pria paruh baya bernama Jaya setelah pengacaranya datang. Tentu saja tanpa membawa Nuri kel
295Bastian menahan napasnya sebelum menelan ludah. Perubahan rautnya sangat kentara hingga membuat Samudra cemas. Namun, tak lama laki-laki yang tubuhnya lebih berisi ketimbang beberapa bulan lalu kembali bicara.“Anda pikir, saya akan langsung mempercayai orang yang baru bertemu sekali? Dalam keadaan tidak mengenakkan seperti ini pula?” Seulas senyum miring tersungging di bibirnya.“Apa maksudmu?” Jaya nyolot.“Maksud saya … saya sama sekali tidak mempercayai ucapan anda barusan.” Bastian menjawab tenang. Tanpa siapa pun tahu jika jauh di lubuk hatinya, ia terpukul dengan ucapan laki-laki buncit itu. Diakuinya ia sama sekali belum mengenal Nuri selain Nuri yang ia nikahi yang lugu dan polos. Di luar itu, ia sama sekali tidak tahu. Apalagi masa lalunya.“Saya kenal istri saya, dan saya lebih percaya padanya,” lanjut Bastian.Entah untuk ke berapa kalinya Jaya terbahak. Kali ini diakhiri meludah ke samping.“Cuih! Mengenalnya? Sepeberapa banyak kamu mengenal Arina? Jika kamu mengenal
296“Seharusnya Om tidak memberinya uang. Untuk apa? Dia bukan siapa-siapa.” Bastian mengutarakan keberatannya saat mereka kembali memasuki rumah.“Tidak apa, Bas. Itu hanya untuk ganti uang bensin saja. Mereka ke sini dari kampungnya, muter-muter Jakarta mencari Nuri, kan, butuh bensin buat mobil. Apalagi sepertinya itu mobil bukan milik Jaya.”“Tetap saja itu sayang, Om. Om menghamburkan uang buat orang yang tidak pantas.”“Aku mau mereka cepat pergi, Bas. Capek dan buang-buang waktu berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Lagipula, kita sudah peringatkan dia agar tidak mengganggu Nuri lagi, kan?”“Tapi orang-orang seperti mereka tidak tahu malu dan aku yakin tidak akan menepati janji. Seharusnya Om langsung laporkan saja ke polisi.”“Ya, seharusnya memang begitu. Tapi aku malas harus berurusan dengan polisi lagi, Bas. Baru saja kasus Ratri selesai, dan kami bisa bernapas lega setelah ia dinyatakan penjara seumur hidup. Semoga dia tidak berulah lagi. Tapi kalau berulah lagi, ya
297Mulut Samudra dan Mentari sampai menganga melihat kelakuan gadis yang bersimpuh sambil menangis itu.“Tolong Tuan, jangan pernah pecat saya. Saya bisa melakukan pekerjaan apa pun. Tetap pekerjakan saya di sini.” Gadis itu masih memohon dengan air matanya yang berlinang.“Membersihkan kamar mandi, memotong rumput, menguras kolam renang, atau apa pun bisa saya lakukan. Tidak apa gaji saya tidak besar, yang penting saya tetap bekerja di sini, Tuan.”Samudra masih menganga. Tidak mengerti kenapa Nuri sampai sebegitunya memohon pekerjaan. Pun dengan Mentari yang akhirnya bangkit, kemudian menghampiri gadis yang duduk bersimpuh di hadapan mereka.Wanita dengan outfit nuansa pastel itu berjongkok di samping Nuri, kemudian merengkuh pundaknya.“Kamu kenapa, Nuri?” tanya Mentari tidak mengerti. Kedua tangannya merengkuh pundak Nuri di kanan dan kirinya.“Bu.” Nuri beralih menghadap Mentari. “Tolong minta sama Tuan Samudra agar tidak memecat saya, biarkan saya tetap bekerja di sini, Bu. Say
298“Sini!” Bastian menepuk pangkuannya setelah Nuri membantunya duduk di tepi ranjang. Meminta gadis itu untuk duduk di sana.Baru saja keduanya menghabiskan sisa tangis mereka. Tangis yang sama-sama pecah karena berbagai perasaan yang bercampur aduk. Sedih, lega, haru, bahagia dan entah apa lagi yang mereka rasakan. Namun, satu yang pasti yang mereka syukuri, mereka masih bisa terus bersama.“Ayo duduk sini!” ajak Bastian lagi sambil menepuk pahanya. Senyum tipis terukir di wajahnya.Nuri menggeleng setelah mengusap pipinya.“Kenapa?” Alis lelaki yang tubuhnya kini lebih berisi itu terangkat saat melihat gadis di depannya menggeleng.“Nanti kaki Aa sakit, badan saya kan, berat.” Nuri menjawab polos.“Yang sakit kan, betis. Pahanya tidak.” Bastian tersenyum. “Ayo sini!” Lagi ia menepuk pangkuannya. Namun, Nuri masih ragu untuk memenuhi permintaan sang lelaki.“Ayo, sini, aku kangennn ….” Lelaki itu menggoda dengan berucap sambil memejamkan matanya genit.Nuri ingin menggeleng lagi, t