294
“Bas,” panggil Samudra saat mereka beringingan keluar rumah. Kursi roda Bastian didorong seorang pengawal. Sementara beberapa pengawal lainnya mengekori mereka.
Kini, mereka menuju bangunan terbuka seperti gazebo tak jauh dari pos penjagaan. Sebelumnya Samudra juga sudah meminta Hamish agar menghubungi pengacara dan datang ke sana.
Samudra tidak mau gegabah menemui pamannya Nuri yang sepertinya akan sulit untuk diajak bekerja sama dan bicara baik-baik. Latar belakang pendidikan yang kehidupan yang berbeda membuat mereka selalu menggunakan otot saat bicara. Boro-boro etika dan kepala dingin.
Bukan Samudra merendahkan mereka. Hanya saja dari pertemuan beberapa menit lalu saja sudah dapat tertebak orang seperti apa mereka.
Samudra tidak mau buang-buang waktu dan energi menghadapi orang-orang seperti itu. Ia setuju untuk bertemu dan bicara dengan pria paruh baya bernama Jaya setelah pengacaranya datang. Tentu saja tanpa membawa Nuri kel
295Bastian menahan napasnya sebelum menelan ludah. Perubahan rautnya sangat kentara hingga membuat Samudra cemas. Namun, tak lama laki-laki yang tubuhnya lebih berisi ketimbang beberapa bulan lalu kembali bicara.“Anda pikir, saya akan langsung mempercayai orang yang baru bertemu sekali? Dalam keadaan tidak mengenakkan seperti ini pula?” Seulas senyum miring tersungging di bibirnya.“Apa maksudmu?” Jaya nyolot.“Maksud saya … saya sama sekali tidak mempercayai ucapan anda barusan.” Bastian menjawab tenang. Tanpa siapa pun tahu jika jauh di lubuk hatinya, ia terpukul dengan ucapan laki-laki buncit itu. Diakuinya ia sama sekali belum mengenal Nuri selain Nuri yang ia nikahi yang lugu dan polos. Di luar itu, ia sama sekali tidak tahu. Apalagi masa lalunya.“Saya kenal istri saya, dan saya lebih percaya padanya,” lanjut Bastian.Entah untuk ke berapa kalinya Jaya terbahak. Kali ini diakhiri meludah ke samping.“Cuih! Mengenalnya? Sepeberapa banyak kamu mengenal Arina? Jika kamu mengenal
296“Seharusnya Om tidak memberinya uang. Untuk apa? Dia bukan siapa-siapa.” Bastian mengutarakan keberatannya saat mereka kembali memasuki rumah.“Tidak apa, Bas. Itu hanya untuk ganti uang bensin saja. Mereka ke sini dari kampungnya, muter-muter Jakarta mencari Nuri, kan, butuh bensin buat mobil. Apalagi sepertinya itu mobil bukan milik Jaya.”“Tetap saja itu sayang, Om. Om menghamburkan uang buat orang yang tidak pantas.”“Aku mau mereka cepat pergi, Bas. Capek dan buang-buang waktu berurusan dengan orang-orang seperti mereka. Lagipula, kita sudah peringatkan dia agar tidak mengganggu Nuri lagi, kan?”“Tapi orang-orang seperti mereka tidak tahu malu dan aku yakin tidak akan menepati janji. Seharusnya Om langsung laporkan saja ke polisi.”“Ya, seharusnya memang begitu. Tapi aku malas harus berurusan dengan polisi lagi, Bas. Baru saja kasus Ratri selesai, dan kami bisa bernapas lega setelah ia dinyatakan penjara seumur hidup. Semoga dia tidak berulah lagi. Tapi kalau berulah lagi, ya
297Mulut Samudra dan Mentari sampai menganga melihat kelakuan gadis yang bersimpuh sambil menangis itu.“Tolong Tuan, jangan pernah pecat saya. Saya bisa melakukan pekerjaan apa pun. Tetap pekerjakan saya di sini.” Gadis itu masih memohon dengan air matanya yang berlinang.“Membersihkan kamar mandi, memotong rumput, menguras kolam renang, atau apa pun bisa saya lakukan. Tidak apa gaji saya tidak besar, yang penting saya tetap bekerja di sini, Tuan.”Samudra masih menganga. Tidak mengerti kenapa Nuri sampai sebegitunya memohon pekerjaan. Pun dengan Mentari yang akhirnya bangkit, kemudian menghampiri gadis yang duduk bersimpuh di hadapan mereka.Wanita dengan outfit nuansa pastel itu berjongkok di samping Nuri, kemudian merengkuh pundaknya.“Kamu kenapa, Nuri?” tanya Mentari tidak mengerti. Kedua tangannya merengkuh pundak Nuri di kanan dan kirinya.“Bu.” Nuri beralih menghadap Mentari. “Tolong minta sama Tuan Samudra agar tidak memecat saya, biarkan saya tetap bekerja di sini, Bu. Say
298“Sini!” Bastian menepuk pangkuannya setelah Nuri membantunya duduk di tepi ranjang. Meminta gadis itu untuk duduk di sana.Baru saja keduanya menghabiskan sisa tangis mereka. Tangis yang sama-sama pecah karena berbagai perasaan yang bercampur aduk. Sedih, lega, haru, bahagia dan entah apa lagi yang mereka rasakan. Namun, satu yang pasti yang mereka syukuri, mereka masih bisa terus bersama.“Ayo duduk sini!” ajak Bastian lagi sambil menepuk pahanya. Senyum tipis terukir di wajahnya.Nuri menggeleng setelah mengusap pipinya.“Kenapa?” Alis lelaki yang tubuhnya kini lebih berisi itu terangkat saat melihat gadis di depannya menggeleng.“Nanti kaki Aa sakit, badan saya kan, berat.” Nuri menjawab polos.“Yang sakit kan, betis. Pahanya tidak.” Bastian tersenyum. “Ayo sini!” Lagi ia menepuk pangkuannya. Namun, Nuri masih ragu untuk memenuhi permintaan sang lelaki.“Ayo, sini, aku kangennn ….” Lelaki itu menggoda dengan berucap sambil memejamkan matanya genit.Nuri ingin menggeleng lagi, t
299“Itu artinya Aa berguna, Aa bermanfat buat sesama. Paling tidak buat keluarga, terlepas apa pun alasan Aa waktu nyelametin Bu Mentari.”Nuri mengakhiri uraiannya dengan mendaratkan sebuah kecupan lembut di bibir sang suami yang kedua pipinya masih ia tangkup. Sebelumnya, senyum teduh ia hadiahkan sebagai bonus agar lelaki di bawahnya tak lagi rendah diri. Jarak wajah mereka memanglah sangat dekat sejak tadi hingga embusan napas masing-masing teras menerpa wajah keduanya.Sesuatu yang hangat terasa menelusup ke dalam hati Bastian mengiringi setiap kata yang meluncur dari bibir mungil gadis pemilik bulu mata lentik di hadapannya. Membangkitkan semangat hidup yang sempat redup dan bahkan hampir padam.Kini, rasa hangat itu bahkan mulai menyebar ke seluruh tubuh lewat aliran darah. Menciptakan sensasi yang bukan hanya membangkitkan semangat hidup, tetapi juga perasaan lain yang lama tak ia rasakan. Bastian sampai menahan napasnya untuk meredam rasa itu.Namun, ia benar-benar tidak men
300Nuri menggulingkan tubuh lunglainya ke samping. Kini, ia seolah wanita yang baru saja selesai mandi. Tubuhnya basah, tetapi bukan mandi dalam arti sesungguhnya. Melainkan basah karena bermandi peluh.Wanita itu memejamkan mata. Mulutnya terbuka karena napasnya masih tersengal. Tubuhnya masih sedikit bergetar efek kenikmatan puncak yang baru saja didapatkannya. Dinikmatinya sensasi indah yang baru pertama kaki dirasakannya itu. Kedua sudut bibirnya tertarik ke samping.Semua terjadi begitu cepat. Rasanya masih belum percaya jika ia baru saja melepas keperawanannya. Hari ini, yang ia pikir akan menjadi hari paling sial dalam hidupnya karena bisa diketemukan oleh sang paman. Lalu berlanjut drama yang ia pikir akan menjadi akhir hubungannya dengan Bastian, siapa sangka justru hari ini menjadi awal hubungan yang lebih serius dengan laki-laki itu.Ya, lebih serius. Karena mulai hari ini, mereka harus memikirkan masa depan pernikahan itu. Karena hari ini, mereka sudah menjadi suami istri
301Bastian bangkit. Duduk di samping wanita yang tertidur pulas dalam kelelahan. Tangannya bergerak menutupi tubuh yang masih polos itu dengan selimut. Lelaki setengah bule itu tersenyum sambil menatap wanita yang terlihat sangat menggemaskan meski sedang tertidur. Mulutnya terbuka hingga dengkuran halus terdengar dari sana.Dengkuran yang menandakan ia lelap dalam kelelahannya.Bastian menurunkan wajahnya. Satu kecupan menyapa bibir terbuka itu. Satu lainnya di pipi, kening dan juga dagunya. Semua ia lakukan dengan lembut dan pelan agar tidak mengganggu tidur sang wanita.Setelah puas menciuminya, ia menatap wajah itu dalam jarak sangat dekat. Ditatapnya lekat dan dalam hingga beberapa lama. Berbagai perasaan dalam dada menemani aksinya itu.Rasa terima kasih yang ia ucapkan tadi, bukan hanya di bibir semata. Tetapi benar-benar datang dari hati terdalam. Sungguh, belum pernah Bastian merasakan perasaan semendalam ini terhadap seorang wanita.Dulu, entah berapa banyak wanita yang men
302“Tidak apa-apa, kan, Bas?” tanya Samudra lagi berusaha mencairkan kecanggungan dan kekakuan yang tercipta.Bastian mengerjap dan tersenyum untuk membuang kecanggungan.“Tidak apa-apa, Om. Lagipula, yang mau aku bicarakan pasti terkait juga dengan persetujuan istri Om.”“Nah, kan, Sayang. Kamu tetap di sini, ya. Lagipula si kembar sedang anteng di sini.”“Iya, Tante, tidak apa-apa. Aku juga—”“Tunggu, tunggu!” Mentari memotong ucapan Bastian dengan matanya yang memicing dan kepala menggeleng. Tak percaya dengan pendengarannya sendiri.“Tante?” tanyanya dengan menatap lurus laki-laki di kursi roda.“Ya, Tan-te Men-tari.” Bastian menjawab ragu dan pelan. “Tante kan, istri Om Sam.”Mentari menggeleng kuat. “Tidak! Tidak! Panggil saja namaku!” Mentari ketus.“Kenapa, Sayang? Kamu memang istri Mas, dan Bastian ini keponakan Mas, wajar bukan memanggil tan—”“Tidak, Mas! Aku bukan Tante-tante, aku masih muda. Enak saja manggil Tante, umurku bahkan lebih muda dari keponakanmu.” Mentari men
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau