Yang manis-manis dulu, ya
301Bastian bangkit. Duduk di samping wanita yang tertidur pulas dalam kelelahan. Tangannya bergerak menutupi tubuh yang masih polos itu dengan selimut. Lelaki setengah bule itu tersenyum sambil menatap wanita yang terlihat sangat menggemaskan meski sedang tertidur. Mulutnya terbuka hingga dengkuran halus terdengar dari sana.Dengkuran yang menandakan ia lelap dalam kelelahannya.Bastian menurunkan wajahnya. Satu kecupan menyapa bibir terbuka itu. Satu lainnya di pipi, kening dan juga dagunya. Semua ia lakukan dengan lembut dan pelan agar tidak mengganggu tidur sang wanita.Setelah puas menciuminya, ia menatap wajah itu dalam jarak sangat dekat. Ditatapnya lekat dan dalam hingga beberapa lama. Berbagai perasaan dalam dada menemani aksinya itu.Rasa terima kasih yang ia ucapkan tadi, bukan hanya di bibir semata. Tetapi benar-benar datang dari hati terdalam. Sungguh, belum pernah Bastian merasakan perasaan semendalam ini terhadap seorang wanita.Dulu, entah berapa banyak wanita yang men
302“Tidak apa-apa, kan, Bas?” tanya Samudra lagi berusaha mencairkan kecanggungan dan kekakuan yang tercipta.Bastian mengerjap dan tersenyum untuk membuang kecanggungan.“Tidak apa-apa, Om. Lagipula, yang mau aku bicarakan pasti terkait juga dengan persetujuan istri Om.”“Nah, kan, Sayang. Kamu tetap di sini, ya. Lagipula si kembar sedang anteng di sini.”“Iya, Tante, tidak apa-apa. Aku juga—”“Tunggu, tunggu!” Mentari memotong ucapan Bastian dengan matanya yang memicing dan kepala menggeleng. Tak percaya dengan pendengarannya sendiri.“Tante?” tanyanya dengan menatap lurus laki-laki di kursi roda.“Ya, Tan-te Men-tari.” Bastian menjawab ragu dan pelan. “Tante kan, istri Om Sam.”Mentari menggeleng kuat. “Tidak! Tidak! Panggil saja namaku!” Mentari ketus.“Kenapa, Sayang? Kamu memang istri Mas, dan Bastian ini keponakan Mas, wajar bukan memanggil tan—”“Tidak, Mas! Aku bukan Tante-tante, aku masih muda. Enak saja manggil Tante, umurku bahkan lebih muda dari keponakanmu.” Mentari men
303Bastian memejamkan matanya. Teringat jika dulu Mentari memanggilnya dengan nama lengkap, itu karena sedang marah padanya. Namun, kini ia yakin jika wanita itu tidak sedang marah, hanya menegaskan. Ia lega, mantan tunangannya itu akhirnya bisa bersikap biasa walaupun kedalaman hatinya manalah ia tahu.Semoga dengan berjalannya waktu, hubungannya dengan Mentari bisa normal layaknya keluarga tanpa ada dendam atau amarah yang tersisa.“Nah, kamu dengar sendiri, kan, Bas, istriku sudah setuju. Jadi tidak ada masalah, kan?”“Iya, Om. Aku benar-benar berterima kasih sama kalian berdua yang masih berbaik hati setelah aku repotkan berkali-kali.”“Aku bosan mendengarmu terus berkata seperti itu, Bas. Kita ini keluarga, kamu bahkan tinggal di rumah ini sejak lahir. Seandainya masih ada, ibu juga pasti mendukung kamu dan Nuri tinggal di sini.”“Aku malu, Om ….” Suara Bastian hampir tak terdengar.“Yang sudah lewat, biarkan berlalu. Kita jalani hari ini, dan pikirkan yang akan datang.” Samudra
304“Gono-gini? Tidak salah?” Kening Bastian berkerut dalam.Samudra terlihat menarik napas panjang. Kemudian melirik sang istri yang juga sama keheranan. Ia memang belum mengatakan hal ini pada Mentari juga. Sekalian mengatakannya agar Bastian dan Mentari tahu. Karena bagaimanapun Novita adalah saudara tiri sang istri.“Tidak, Bas. Pak Barata mengatakan itu padaku. Karenanya proses ceraimu menjadi cukup alot hingga pernikahanmu dengan Nuri belum bisa didaftarkan.”“Ada apa dengan Novita? Bukankah ia tahu kondisiku saat ini? Ia yang pertama tahu keadaanku pasca mengetahui rahasia besar itu. Ia juga yang paling tahu kondisiku setelah ditinggal kedua orang tua. Lalu, kenapa tiba-tiba minta harta gono-gini yang pastinya ia tahu kalau aku tidak punya apa-apa?”Samudra mengendikkan pundaknya. “Sepertinya ia sedang butuh banyak uang, Bas.”“Uang? Bukankah dia sudah punya mangsa baru? Dia sudah menikah lagi dengan pria kaya, kan?”“Setelah ditelusuri, bukan menikah, sih, ternyata dia hanya si
305“Belum mandi?” Bastian bertanya saat Nuri melepaskan pelukan.Nuri menggeleng dengan raut yang lucu. Dan wajah bau bantalnya itu membuat Bastian menahan senyum.“Pantesan tuh, Om Sam sama istrinya pergi.” Bastian menunjuk dengan dagunya.Nuri langsung menoleh dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tidak ada seorang pun di sana kecuali mereka berdua. Samudra, istrinya, anak-anak mereka dan pengasuhnya sudah pergi dari sana entah sejak kapan.“Apa mereka pergi karena aku belum mandi?” tanya Nuri sambil menangkup kedua pipinya.Bastian terkekeh geli sebelum meminta wanita itu mendorong kursi rodanya untuk kembali ke kamar.“Aa, beneran Tuan Samudra dan yang lainnya pergi karena lihat saya belum mandi?” Nuri masih penasaran. Ia juga malu. Ternyata saat berkaca di dinding lift, terlihat rambutnya acak-acakkan.“Aku malu, Aa ….” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kepalanya menggeleng.“Sudah telat malunya.” Bastian menukas dengan senyum masih tertahan.“Kamu kenapa
306“Jangan ngomong begitu lagi, ya.” Bastian membelai rambut Nuri lembut setelah sebelumnya mendaratkan ciuman lumayan lama di sana. Sebelah tangan sang lelaki melingkar di pinggang wanitanya.“Satu yang harus kamu inget, Nur. Aku tidak akan sembuh tanpa kamu di sisiku,” lanjut sang lelaki dengan pandangan jauh ke depan sana.“Bukan saya yang bikin Aa sembuh, tapi dokter.” Wanita dalam dekapannya menimpali.“Ya, tapi sehebat apa pun dokternya, kalau pasien tidak sembuh dan memilih mati, tidak akan aku seperti ini sekarang.”“Kenapa sih, Aa pengen mati-mati terus ngomongnya? Memangnya mati enak? Kan, setelah mati pun kita masih harus mempertanggung jawabkan perbuatan selama di dunia. Aku aja yang hidup menderita dari kecil, nggak mau mati dulu. Pengen umur panjang. Pengen hidup bahagia dulu.” Nuri dengan kepolosannya kembali menimpali.Bastian dibuat tertegun untuk beberapa waktu. Gadis yang selalu menganggap dirinya orang kampung itu, sering tepat kalau sudah mengutarakan sesuatu. Le
307“Ya Tuhan … suamiku ganteng banget ….”Nuri menangkup kedua pipinya setelah selesai membantu memasangkan kancing kemeja Bastian. Bukan tanpa alasan kalau wanita itu memuji sampai demikian terpesona. Satu bulan berlalu setelah kejadian di depan kediaman Hanggara itu, dan kini kondisi kesehatan Bastian semakin membaik. Bukan hanya kakinya yang sudah bisa dipakai berjalan walaupun masih butuh bantuan tongkat untuk menopang, tapi penampilan laki-laki itu kini memang jauh berbeda.Kini, tidak ada lagi Bastian yang kuyu, yang kurus dan bermata redup. Yang saat Nuri pertama kaki bertemu tidak menemukan setitik pun cahaya semangat di matanya. Yang saat pertama kali Nuri melihatnya, ia hanya serupa zombie. Hidup, tetapi mati.Kini, Bastian yang ada di hadapannya adalah sosok laki-laki tampan dengan segala kesempurnaan fisik meski kakinya belum sembuh sepenuhnya. Bastian yang ada kini adalah Bastian yang gagah dan mempesona.Tubuh tinggi proporsional. Wajah kebulean yang memikat hati siapa p
308“Bas, kita harus bicara.” Suara wanita membuat semua orang menghentikan pergerakkan mereka. Fokus mereka tentu saja ke asal suara. Semua orang menoleh hingga mendapati wanita langsing terawat dengan barang-barang branded yang menghiasi tubuhnya, mendekat.Bastian membuang padangan, sementara Nuri langsung bertolak pinggang.“Maaf, tidak ada yang harus kita bicarakan. Kalau terkait perceraian, silakan hubungi pengacaraku saja.” Bastian berkata santai.“Bas, aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Sudah sebulan ini kamu menghindariku.” Suara wanita itu meninggi melihat Bastian hendak melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Terpaksa laki-laki yang hendak masuk mobil itu menghentikan lagi niatnya, lalu kembali menghadap wanita yang wajahnya merengut.“Memangnya apa yang aku lakukan padamu, Novita? Aku merasa tidak melakukan apa pun.” Bastian mengangkat tangannya.“Kamu menghindariku. Kamu tidak mau menemuiku. Dan kamu tidak pernah datang ke pengadilan. Padahal aku sudah memi