302“Tidak apa-apa, kan, Bas?” tanya Samudra lagi berusaha mencairkan kecanggungan dan kekakuan yang tercipta.Bastian mengerjap dan tersenyum untuk membuang kecanggungan.“Tidak apa-apa, Om. Lagipula, yang mau aku bicarakan pasti terkait juga dengan persetujuan istri Om.”“Nah, kan, Sayang. Kamu tetap di sini, ya. Lagipula si kembar sedang anteng di sini.”“Iya, Tante, tidak apa-apa. Aku juga—”“Tunggu, tunggu!” Mentari memotong ucapan Bastian dengan matanya yang memicing dan kepala menggeleng. Tak percaya dengan pendengarannya sendiri.“Tante?” tanyanya dengan menatap lurus laki-laki di kursi roda.“Ya, Tan-te Men-tari.” Bastian menjawab ragu dan pelan. “Tante kan, istri Om Sam.”Mentari menggeleng kuat. “Tidak! Tidak! Panggil saja namaku!” Mentari ketus.“Kenapa, Sayang? Kamu memang istri Mas, dan Bastian ini keponakan Mas, wajar bukan memanggil tan—”“Tidak, Mas! Aku bukan Tante-tante, aku masih muda. Enak saja manggil Tante, umurku bahkan lebih muda dari keponakanmu.” Mentari men
303Bastian memejamkan matanya. Teringat jika dulu Mentari memanggilnya dengan nama lengkap, itu karena sedang marah padanya. Namun, kini ia yakin jika wanita itu tidak sedang marah, hanya menegaskan. Ia lega, mantan tunangannya itu akhirnya bisa bersikap biasa walaupun kedalaman hatinya manalah ia tahu.Semoga dengan berjalannya waktu, hubungannya dengan Mentari bisa normal layaknya keluarga tanpa ada dendam atau amarah yang tersisa.“Nah, kamu dengar sendiri, kan, Bas, istriku sudah setuju. Jadi tidak ada masalah, kan?”“Iya, Om. Aku benar-benar berterima kasih sama kalian berdua yang masih berbaik hati setelah aku repotkan berkali-kali.”“Aku bosan mendengarmu terus berkata seperti itu, Bas. Kita ini keluarga, kamu bahkan tinggal di rumah ini sejak lahir. Seandainya masih ada, ibu juga pasti mendukung kamu dan Nuri tinggal di sini.”“Aku malu, Om ….” Suara Bastian hampir tak terdengar.“Yang sudah lewat, biarkan berlalu. Kita jalani hari ini, dan pikirkan yang akan datang.” Samudra
304“Gono-gini? Tidak salah?” Kening Bastian berkerut dalam.Samudra terlihat menarik napas panjang. Kemudian melirik sang istri yang juga sama keheranan. Ia memang belum mengatakan hal ini pada Mentari juga. Sekalian mengatakannya agar Bastian dan Mentari tahu. Karena bagaimanapun Novita adalah saudara tiri sang istri.“Tidak, Bas. Pak Barata mengatakan itu padaku. Karenanya proses ceraimu menjadi cukup alot hingga pernikahanmu dengan Nuri belum bisa didaftarkan.”“Ada apa dengan Novita? Bukankah ia tahu kondisiku saat ini? Ia yang pertama tahu keadaanku pasca mengetahui rahasia besar itu. Ia juga yang paling tahu kondisiku setelah ditinggal kedua orang tua. Lalu, kenapa tiba-tiba minta harta gono-gini yang pastinya ia tahu kalau aku tidak punya apa-apa?”Samudra mengendikkan pundaknya. “Sepertinya ia sedang butuh banyak uang, Bas.”“Uang? Bukankah dia sudah punya mangsa baru? Dia sudah menikah lagi dengan pria kaya, kan?”“Setelah ditelusuri, bukan menikah, sih, ternyata dia hanya si
305“Belum mandi?” Bastian bertanya saat Nuri melepaskan pelukan.Nuri menggeleng dengan raut yang lucu. Dan wajah bau bantalnya itu membuat Bastian menahan senyum.“Pantesan tuh, Om Sam sama istrinya pergi.” Bastian menunjuk dengan dagunya.Nuri langsung menoleh dan mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Tidak ada seorang pun di sana kecuali mereka berdua. Samudra, istrinya, anak-anak mereka dan pengasuhnya sudah pergi dari sana entah sejak kapan.“Apa mereka pergi karena aku belum mandi?” tanya Nuri sambil menangkup kedua pipinya.Bastian terkekeh geli sebelum meminta wanita itu mendorong kursi rodanya untuk kembali ke kamar.“Aa, beneran Tuan Samudra dan yang lainnya pergi karena lihat saya belum mandi?” Nuri masih penasaran. Ia juga malu. Ternyata saat berkaca di dinding lift, terlihat rambutnya acak-acakkan.“Aku malu, Aa ….” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kepalanya menggeleng.“Sudah telat malunya.” Bastian menukas dengan senyum masih tertahan.“Kamu kenapa
306“Jangan ngomong begitu lagi, ya.” Bastian membelai rambut Nuri lembut setelah sebelumnya mendaratkan ciuman lumayan lama di sana. Sebelah tangan sang lelaki melingkar di pinggang wanitanya.“Satu yang harus kamu inget, Nur. Aku tidak akan sembuh tanpa kamu di sisiku,” lanjut sang lelaki dengan pandangan jauh ke depan sana.“Bukan saya yang bikin Aa sembuh, tapi dokter.” Wanita dalam dekapannya menimpali.“Ya, tapi sehebat apa pun dokternya, kalau pasien tidak sembuh dan memilih mati, tidak akan aku seperti ini sekarang.”“Kenapa sih, Aa pengen mati-mati terus ngomongnya? Memangnya mati enak? Kan, setelah mati pun kita masih harus mempertanggung jawabkan perbuatan selama di dunia. Aku aja yang hidup menderita dari kecil, nggak mau mati dulu. Pengen umur panjang. Pengen hidup bahagia dulu.” Nuri dengan kepolosannya kembali menimpali.Bastian dibuat tertegun untuk beberapa waktu. Gadis yang selalu menganggap dirinya orang kampung itu, sering tepat kalau sudah mengutarakan sesuatu. Le
307“Ya Tuhan … suamiku ganteng banget ….”Nuri menangkup kedua pipinya setelah selesai membantu memasangkan kancing kemeja Bastian. Bukan tanpa alasan kalau wanita itu memuji sampai demikian terpesona. Satu bulan berlalu setelah kejadian di depan kediaman Hanggara itu, dan kini kondisi kesehatan Bastian semakin membaik. Bukan hanya kakinya yang sudah bisa dipakai berjalan walaupun masih butuh bantuan tongkat untuk menopang, tapi penampilan laki-laki itu kini memang jauh berbeda.Kini, tidak ada lagi Bastian yang kuyu, yang kurus dan bermata redup. Yang saat Nuri pertama kaki bertemu tidak menemukan setitik pun cahaya semangat di matanya. Yang saat pertama kali Nuri melihatnya, ia hanya serupa zombie. Hidup, tetapi mati.Kini, Bastian yang ada di hadapannya adalah sosok laki-laki tampan dengan segala kesempurnaan fisik meski kakinya belum sembuh sepenuhnya. Bastian yang ada kini adalah Bastian yang gagah dan mempesona.Tubuh tinggi proporsional. Wajah kebulean yang memikat hati siapa p
308“Bas, kita harus bicara.” Suara wanita membuat semua orang menghentikan pergerakkan mereka. Fokus mereka tentu saja ke asal suara. Semua orang menoleh hingga mendapati wanita langsing terawat dengan barang-barang branded yang menghiasi tubuhnya, mendekat.Bastian membuang padangan, sementara Nuri langsung bertolak pinggang.“Maaf, tidak ada yang harus kita bicarakan. Kalau terkait perceraian, silakan hubungi pengacaraku saja.” Bastian berkata santai.“Bas, aku tidak suka diperlakukan seperti ini. Sudah sebulan ini kamu menghindariku.” Suara wanita itu meninggi melihat Bastian hendak melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Terpaksa laki-laki yang hendak masuk mobil itu menghentikan lagi niatnya, lalu kembali menghadap wanita yang wajahnya merengut.“Memangnya apa yang aku lakukan padamu, Novita? Aku merasa tidak melakukan apa pun.” Bastian mengangkat tangannya.“Kamu menghindariku. Kamu tidak mau menemuiku. Dan kamu tidak pernah datang ke pengadilan. Padahal aku sudah memi
309Bastian tidak dapat menghindar. Selain kakinya yang belum bisa berdiri tegak tanpa alat bantu, semua terjadi begitu cepat. Novita melakukannya sebelum siapa pun menduga apa yang akan dilakukannya. Bastian berusaha menyeimbangkan tubuhnya. Tetapi dorongan itu terlalu kuat hingga tubuhnya bersandar di body mobil. “Bas, tolong aku… aku sedang membutuhkanmu ….”Bastian yang buru-buru menguasai dirinya, berusaha melepaskan pelukan wanita yang menyandarkan kepala di dadanya. Tapi wanita itu semakin mengeratkan pelukan. Pria berbadan tegap yang sempat kecolongan beberapa detik lalu, berusaha melepaskan Novita dengan menarik tangannya, tetapi wanita itu tetap memeluk Bastian sambil mencurahkan tangisnya. “Mamaku, Bas… mamaku harus dioperasi. Aku bingung harus bagaimana. Cuma kamu yang bisa nolongin ak–”Kalimat Novita tidak selesai karena sebuah benda terasa menyentuh kepalanya. Ia merasa seperti ditoyor sesuatu. Wanita itu menarik kepala dari dada Bastian, kemudian menoleh. Kepalan
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau