309“Bu, boleh saya bicara?” Nuri langsung menghubungi seseorang sesaat setelah ia kembali ke rumah. Setelah hampir seharian mengantar dan menemani Bastian bertemu dokter dan terapi kakinya, lalu setelah tiba di rumah masih harus mengurusi keperluan laki-laki itu. Ingin rasanya ia bicara dengan seseorang untuk mencurahkan isi hatinya. Karenanya, setelah memastikan laki-laki itu nyaman, ia pergi ke kamar mandi. Namun, bukan untuk melakukan ritual yang seharusnya dilakukan di kamar mandi, melainkan menghubungi seseorang. “Bicara apa, Nur? Kamu sedang ada masalah?” Suara lembut di seberang sana bertanya saat menyadari suara Nuri bercampur getaran. Nuri menggigit bibirnya dengan kuat untuk menahan sesuatu yang mendesak keluar. Sebenarnya ia tidak ingin melakukan ini, tetapi rasa kesal sudah bercokol di hatinya sejak kejadian di depan bangunan apartemen tadi. Karenanya selama mengantar Bastian terapi dan bertemu dokter, bahkan hingga mereka kembali ke rumah, ia tak banyak mengeluarkan
311“Mas, sepertinya kamu harus lebih mengawasi Bastian, deh.” Malam ini saat mereka hendak pergi tidur, Mentari menyampaikan sesuatu yang sejak tadi menjadi ganjalan di hatinya. Sejak Nuri meneleponnya sambil menangis, rasanya sudah ingin menyampaikan ini kepada suaminya. Hanya saja karena Samudra pulang malam. Dan saat sampai rumah melihat wajahnya begitu lelah, ia terpaksa menyimpan dulu unek-uneknya. Setelah membantu menggosok punggung sang suami saat mandi, ia juga memijat kakinya agar lebih rileks. Ritual yang belakangan sering ia lakukan sebelum tidur jika melihat Samudra pulang malam dan sangat lelah. Mentari sangat tahu suaminya lelah. Mengurus beberapa perusahaan sekaligus, meski banyak asisten dan orang-orang kepercayaan yang membantu, tetap saja ada banyak tanggung jawab yang diemban suaminya. Karenanya ia mengerti seberapa lelah suaminya jika pulang ke rumah. Service memuaskan pun akan ia berikan dengan senang hati. Yang membuatnya trenyuh, Samudra masih menyempatkan
312Bastian heran kenapa istri kecilnya seharian kemarin sangat irit bicara. Padahal biasanya wanita itu punya stok tenaga dan kosakata yang banyak untuk berceloteh. Apa pun itu, akan menjadi topiknya pembicaraan. Sejak di rumah sakit, di perjalanan, lalu sampai di rumah pun, tetap saja hanya bicara seperlunya. Saat Nuri irit bicara, sangat kentara perbedaannya. Bastian merasa dunianya berbeda. Sangat sepi bagai hari-hari ke belakang yang ia lalui. Tanpa warna, tanpa semangat, tanpa gairah untuk melanjutkan hidup. Bastian tidak menyukai situasi seperti ini. Bahkan semalam, Nuri meninggalkannya tidur lebih awal. Padahal Bastian masih ingin bicara. Tapi wanita itu sudah menjelajah alam mimpi sejak sore. Meninggalkan sendiri dalam keheranan. Bastian juga bukan tidak tahu jika mata Nuri merah saat keluar dari kamar mandi. Ia ingin bertanya, tetapi Nuri tak memberinya kesempatan untuk bicara. Akhirnya ia hanya bisa memeluk wanita yang sudah pulas itu. Pagi ini saat bangun, Nuri sudah
313“Jadi, salah Aa di mana?” Bastian terus mengekori Nuri ke mana pun wanita itu berjalan. Meski terpincang-pincang karena menggunakan kruk, tetapi tak menyurutkan langkahnya.Bastian tidak ingin Nuri terus mendiamkannya. Semua harus diselesaikan sesegera mungkin. Ia bahkan belum memakai bajunya sejak tadi. Masih dengan handukan terus merengek meminta penjelasan.“Pikirkan saja sendiri. Saya mau makan, lapar.” Nuri mendudukkan dirinya setelah menarik salah satu kursi di ruang makan ini. Setelahnya mulai menyantap nasi goreng yang dua kali digoreng.Bastian menarik napas. Sungguh ia pun merasakan lapar yang sama, karenanya menarik kursi di samping Nuri, kemudian menyodorkan piring kosong yang sudah tersedia.Nuri menghentikan aktivitasnya sejenak. Mengisi piring yang Bastian sodorkan dengan nasi goreng yang sama. Lalu melengkapi dengan sedikit sambal goreng buatannya. Tak lupa menaruh irisan timun dan tomat di atasnya. Untuk lauknya, Nuri sudah melengkapi nasi itu dengan telur dan sui
314“Nah, saya bilang apa, kan, mantan istri Aa itu selain tidak punya malu memang tidak tahu diri juga. Mau ngapain lagi ke sini coba?”Jangan bayangkan bagaimana rupa Nuri sekarang. Kekesalan yang sejak kemarin bercokol, kini semakin tersulut.Bastian tidak dapat berkata-kata. Ia sendiri bingung apa lagi yang diinginkan Novita. Apalagi wanita itu datang membawa ibunya.“Sudah tidak usah digubris! Abaikan saja. Toh Aa udah nggak ada urusan lagi, kan, sama dia.”Setelah mengatakan itu, Nuri langsung meninggalkan Bastian. Masuk kamar untuk berganti pakaian karena sejak tadi mereka masih handukkan.Wanita itu mengambil kaus tangan panjang dan celana kulot selutut di balik salah satu pintu lemari. Sebuah tangan terulur di sampingnya setelah suara ujung kruk yang beradu dengan lantai berhenti terdengar. Tanpa banyak kata, Nuri mengambilkan juga pakaian untuk Bastian. Karena biasanya sudah ia siapkan sebelum laki-laki itu keluar dari kamar mandi.Mereka berpakaian di depan masing-masing ta
315“Mohon maaf, Pak, Bu ada kendaraan mau lewat.” Lagi petugas keamanan itu mengingatkan karena mobil yang akan keluar sudah berada dekat dengan mereka.Terpaksa Nuri menggandeng Bastian untuk menepi. Bukan ke arah bangunan apartemen, melainkan ke arah pos penjagaan. Mereka membiarkan kendaraan itu lewat dengan tidak ada yang bicara. Berderat rapi di tepi bangunan seluas lima x lima meter itu.“Mohon maaf, Bapak, Ibu silakan lanjutkan menyelesaikan urusan internnya di dalam unit saja demi kenyamanan bersama,” ujar petugas keamanan lagi dengan sopan. Memang tidak elok sebuah keluarga apa pun masalahnya, menyelesaikan masalah di luar rumah apalagi di tempat umum tempat lalu-lalang para penghuni bangunan itu atau siapa pun yang keluar masuk ke sana.“Kami tidak akan kemana pun, Pak!” Bastian langsung menukas. Membuat petugas keamanan mengerutkan kening.“Kami tidak akan kemana-mana apalagi ke dalam unit, karena saya merasa tidak punya urusan dengan mbak ini.” Telunjuk laki-laki itu meng
316“Han-tu ….” Nuri bicara gagap sesaat setelah meneguk air yang disodorkan Bastian. Setelahnya, ia mengedarkan pandangan karena merasa asing dengan tempatnya berada saat ini.Bastian duduk di sofa yang sama dengannya.“Ini di mana, A?” tanyanya dengan suara lemah dan bibir masih bergetar.“Masih di pos, kamu pingsan tadi, dan Aa nggak bisa bawa kamu ke atas. Juga nggak mau kamu dibawa orang lain. Jadi kita masih di sini.”Nuri meraba kepalanya yang terasa pusing. Tadi ia memang tidak dapat menahan keseimbangan tubuhnya. Hal yang terakhir yang diingatnya adalah ….“Hantu, A. Tadi saya lihat hantu keluar dari sini.” Nuri mengguncang tangan Bastian, setelah sebelumnya mengedarkan pandangan lagi.“Tapi masa hantu keluar siang-siang begini, sih, A?” lanjutnya bingung sendiri.Bastian menarik napas yang terdengar berat. Setelahnya, mengusap kepala Nuri. Wajah itu masih menyisakan sedikit ketakutan.“Tidak ada hantu, Nur. Apalagi siang-siang begini.” Bastian meyakinkan.“Tapi saya lihat, A
317Bastian berjalan perlahan memasuki kamar, terpincang-pincang menggunakan kruk di tangan kanannya. Kakinya masih terasa nyeri akibat terjatuh saat mencoba mengejar Nuri tadi. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya langsung tertuju pada Nuri yang sedang berdiri di depan lemari, sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas ransel yang tergeletak di tempat tidur. Hatinya mencelos.“Nuri, kamu mau ke mana?” tanyanya, suaranya bergetar.Nuri tidak langsung menjawab. Tangannya terus sibuk mengemas, seolah tidak ingin diganggu. Bastian bisa melihat wajahnya yang tegang, bibirnya terkatup rapat. Ia tahu Nuri marah, tapi tak menyangka akan sampai pada titik ini.“Nuri ....” Bastian mengulang, kali ini dengan suara lebih tegas. Ia maju selangkah, meski gerakannya terbatas oleh kruk yang menopang tubuhnya. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berkemas?”Nuri akhirnya berhenti, menatap Bastian dengan tatapan yang tak bisa ia baca. “Aku mau pergi saja, A. Biar Aa leluasa mengurus mantan ibu mertua.”
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau