315“Mohon maaf, Pak, Bu ada kendaraan mau lewat.” Lagi petugas keamanan itu mengingatkan karena mobil yang akan keluar sudah berada dekat dengan mereka.Terpaksa Nuri menggandeng Bastian untuk menepi. Bukan ke arah bangunan apartemen, melainkan ke arah pos penjagaan. Mereka membiarkan kendaraan itu lewat dengan tidak ada yang bicara. Berderat rapi di tepi bangunan seluas lima x lima meter itu.“Mohon maaf, Bapak, Ibu silakan lanjutkan menyelesaikan urusan internnya di dalam unit saja demi kenyamanan bersama,” ujar petugas keamanan lagi dengan sopan. Memang tidak elok sebuah keluarga apa pun masalahnya, menyelesaikan masalah di luar rumah apalagi di tempat umum tempat lalu-lalang para penghuni bangunan itu atau siapa pun yang keluar masuk ke sana.“Kami tidak akan kemana pun, Pak!” Bastian langsung menukas. Membuat petugas keamanan mengerutkan kening.“Kami tidak akan kemana-mana apalagi ke dalam unit, karena saya merasa tidak punya urusan dengan mbak ini.” Telunjuk laki-laki itu meng
316“Han-tu ….” Nuri bicara gagap sesaat setelah meneguk air yang disodorkan Bastian. Setelahnya, ia mengedarkan pandangan karena merasa asing dengan tempatnya berada saat ini.Bastian duduk di sofa yang sama dengannya.“Ini di mana, A?” tanyanya dengan suara lemah dan bibir masih bergetar.“Masih di pos, kamu pingsan tadi, dan Aa nggak bisa bawa kamu ke atas. Juga nggak mau kamu dibawa orang lain. Jadi kita masih di sini.”Nuri meraba kepalanya yang terasa pusing. Tadi ia memang tidak dapat menahan keseimbangan tubuhnya. Hal yang terakhir yang diingatnya adalah ….“Hantu, A. Tadi saya lihat hantu keluar dari sini.” Nuri mengguncang tangan Bastian, setelah sebelumnya mengedarkan pandangan lagi.“Tapi masa hantu keluar siang-siang begini, sih, A?” lanjutnya bingung sendiri.Bastian menarik napas yang terdengar berat. Setelahnya, mengusap kepala Nuri. Wajah itu masih menyisakan sedikit ketakutan.“Tidak ada hantu, Nur. Apalagi siang-siang begini.” Bastian meyakinkan.“Tapi saya lihat, A
317Bastian berjalan perlahan memasuki kamar, terpincang-pincang menggunakan kruk di tangan kanannya. Kakinya masih terasa nyeri akibat terjatuh saat mencoba mengejar Nuri tadi. Saat pintu kamar terbuka, pandangannya langsung tertuju pada Nuri yang sedang berdiri di depan lemari, sibuk memasukkan pakaian ke dalam tas ransel yang tergeletak di tempat tidur. Hatinya mencelos.“Nuri, kamu mau ke mana?” tanyanya, suaranya bergetar.Nuri tidak langsung menjawab. Tangannya terus sibuk mengemas, seolah tidak ingin diganggu. Bastian bisa melihat wajahnya yang tegang, bibirnya terkatup rapat. Ia tahu Nuri marah, tapi tak menyangka akan sampai pada titik ini.“Nuri ....” Bastian mengulang, kali ini dengan suara lebih tegas. Ia maju selangkah, meski gerakannya terbatas oleh kruk yang menopang tubuhnya. “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu berkemas?”Nuri akhirnya berhenti, menatap Bastian dengan tatapan yang tak bisa ia baca. “Aku mau pergi saja, A. Biar Aa leluasa mengurus mantan ibu mertua.”
318Samudra muncul di ambang pintu, wajahnya merengut, seolah membawa beban dunia di bahunya. Bastian dan Nuri yang semula tengah terlibat perdebatan terpaksa memasang topeng tenang, berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Keduanya kompak menyambut saat tahu Samudra yang menekan bell. “Hai, Om Sam,” sapa Bastian dengan senyum tipis, meski di dalam hatinya, rasa sakit di kakinya akibat terjatuh tadi masih terasa nyeri. Ia duduk di sofa dengan kaki yang ditopang bantal, berusaha tampak lebih rileks daripada yang sebenarnya.Samudra, tanpa banyak bicara, melangkah masuk dan menghempaskan tubuhnya ke kursi di seberang mereka. Matanya mengamati keduanya dengan tajam sebelum akhirnya membuka mulut. “Kalian jangan terlalu memikirkan urusan Yulia.”Nuri sejak tadi duduk diam, matanya tetap terarah ke lantai, menghindari kontak mata dengan siapa pun di ruangan itu. Ingin rasanya mengadu pada Samudra betapa keras kepalanya Bastian hingga tak mempedulikan perasaannya. Namun, ia tak berani. Siapalah
319Bastian terus melirik Nuri yang masih memunggunginya. Entah wanita itu masih tidur atau sebenarnya sudah bangun, hanya saja seperti enggan terlibat obrolan dengannya. Tubuh wanita itu tidak bergerak. Masih meringkuk memeluk ranselnya.Setelah membaca pesan Nuri bersama temannya tadi, rasa bersalah menyeruak, memenuhi hatinya. Karenanya Bastian memutuskan membiarkan wanita itu istirahat. Padahal, rasa sakit di kakinya yang semakin terasa menyiksa, membuatnya ingin bermanja. Namun, itu tidak mungkin dilakukan. Bastian tahu Nuri masih marah—marah karena masalah ini tidak akan selesai hanya karena Samudra sudah mengambil alih urusan Yulia. Dengan hati berat, Bastian akhirnya ikut berbaring di sisi lain ranjang. Tubuh Nuri tetap membelakanginya, punggungnya kaku, menunjukkan seberapa jauh jarak emosional di antara mereka saat ini. Bastian mencoba memejamkan mata, tapi pikirannya terus berputar, tak bisa berhenti memikirkan semua masalah yang kini mengancam pernikahan mereka. Ya, me
320Dengan tertatih-tatih, Bastian menyusul Nuri yang ternyata langsung masuk ke kamar mandi. Tercium dari aroma amis dari pecahan telur di tubuh wanita itu. Berbagai perasaan yang berkecamuk di dada Bastian menemaninya menghampiri wanita itu. Saat membuka pintu kamar mandi, pemandangan yang ia lihat di dalam sana membuat hati Bastian hancur.Nuri duduk di lantai, memeluk kedua lututnya erat-erat, tubuhnya menggigil sambil sesenggukan. Pecahan telur yang masih menempel di rambutnya kini bercampur dengan air yang mengalir dari shower di atasnya. Nuri menangis tanpa suara, hanya terdengar napas tersendat-sendat dari tenggorokannya.“Nuri .…” Suara Bastian pelan, penuh penyesalan. Ia berlutut di depan istrinya dengan susah payah. Kaki yang masih sakit ia selonjorkan. Kondisi Nuri saat ini jauh lebih penting dari rasa sakit di lakinya. Kekhawatiran Bastian sudah memuncak. “Apa yang terjadi?” tanyanya lagi sendu. “Siapa yang menyakitimu?”Nuri tidak menjawab. Ia hanya menunduk semakin d
321Pintu apartemen terbuka perlahan, menampilkan sosok Samudra yang melangkah masuk dengan wajah serius. Di belakangnya, seorang pria paruh baya mengenakan setelan jas rapi, membawa tas kerja hitam—jelas seorang pengacara.Samudra menatap ke arah Bastian dengan mata tajam namun tetap tenang. Ada banyak tanda tanya dan kekecewaan di mata itu, tetapi nyatanya sebagai seseorang yang dituakan dalam keluarga dan tentu saja yang akan selalu bertanggung jawab, ia tidak menampakkan jelas kekecewaan dan kemarahan itu. Ia mengerti Bastian yang belum terlalu banyak makan asam garam kehidupan karena dulu selalu hidup bahagia, ditambah pernah depresi berkepanjangan, membuat laki-laki hampir tiga puluh tahun itu belum matang dalam berpikir dan mengambil keputusan. "Bagaimana keadaan Nuri?" Samudra bertanya, tanpa basa-basi. Ada kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan di balik suaranya. Terlebih tak mendapati keberadaan Nuri di ruangan itu. Bastian menghela napas panjang. "Dia masih syok, Om. D
322Tatapan Bastian tak lepas dari Nuri yang berdiri di dekat Samudra. Rasa tidak rela menyeruak membuat sesak dadanya. Terlebih saat melihat tatapan wanita itu yang kosong, seperti sudah terlalu lelah untuk merasa marah atau sedih.Pakaian Nuri yang lusuh dan kusut menunjukkan betapa kacaunya dirinya. Tadi padahal Bastian sudah menawarkan sang istri untuk berganti pakaian sebelum turun. Namun, Nuri sudah benar-benar berubah seperti bisu. Tak mau berkata-kata, dan tidak pula mau mendengarkannya. Ia memilih turun dengan pakaian yang sama dengan yang dipakainya tidur. Wanita itu langsung meraih ranselnya saat disampaikan jika Samudra akan membawanya ke rumahnya. Seolah hal itu yang ditunggunya.Bastian tahu bahwa Nuri hanya pergi sementara bersama Samudra. Ia tahu itu keputusan terbaik saat ini. Dan ia juga bisa menyusul sepulang dari rumah sakit nanti, tapi Bastian tidak mengira akan seberat ini melepasnya. Terlebih, ia tidak berdaya dengan kondisi kakinya yang masih bengkak dan harus