323Jangan bayangkan perasaan Bastian saat ini. Ia bahkan merasa dirinya yang dianiaya sampai semua tubuhnya hancur lebur. Sakit luar biasa menyaksikan wanitanya diperlakukan demikian di depan matanya dengan dirinya yang tidak bisa melakukan apa-apa.Nuri yang diperlakukan buruk, tetapi jiwa raganya yang remuk-redam. Dan ia bersumpah ini sakitnya lebih kuat daripada saat tubuh Mentari jatuh menimpanya dan membuat tulang-tulangnya patah.“Bos, kita ke rumah sakit sekarang, ya. Pak Samudra sudah memberi instruksi.” Suara Rendra terdengar hati-hati. Ia tahu, saat ini Bastian tidak hanya terluka secara fisik, tetapi juga batin.Mobil langsung melaju pelan setelah Rendra berkata demikian. Melewati mobil yang terdapat Nuri di dalamnya. Mobil yang sebelah bodinya juga terkena lemparan telur. Bastian membuka kaca saat tepat melewati mobil itu. Berharap melihat Nuri, tetapi kaca mobil Samudra yang tertutup membuatnya tidak bisa melihat kondisi Nuri di dalam sana.Rasa sakit yang menggelegak dal
324Bola mata Mentari melebar sempurna saat melihat Nuri turun dari mobil suaminya. Meski sang suami sudah menghubunginya dan memintanya untuk tidak kaget saat mereka pulang, tetap saja ia tercengang melihat kondisi Nuri yang menyedihkan. Tubuh dan rambut yang lepek dan bau amis. Membuatnya seolah tikus kecebur got. Tak berbeda jauh dari Nuri, penampilan suaminya ternyata juga sama. Hanya saja tak terlalu parah karena samudra membawa jas cadangan di mobil. Walaupun sangat penasaran dengan yang terjadi, tetapi Mentari memutuskan memberi waktu untuk mereka membersihkan diri dulu. Ia memilih menyiapkan keperluan sang suami. "Kamu terlihat sangat khawatir, Sayang," kata Samudra saat keluar dari kamar mandi. Pria itu menggosok rambut basahnya dengan handuk kecil. Lalu mendaratkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. Sesuatu yang seharusnya ia lakukan tadi saat datang. Namun, karena tubuhnya bau amis, terpaksa ia menunda mencium istrinya. Samudra dapat merasakan kecemasan yang terpan
325Mentari duduk di tepi ranjang, gelisah dengan pikiran yang berputar-putar tak menentu. Bayangan wajah Nuri yang penuh air mata, tubuhnya yang gemetar dalam pelukannya, terus menghantui dirinya. Terlebih pernyataannya yang ingin bercerai dari Bastian.Mentari pernah berada di posisi ini. Hancur dan menjadi korban. Karenanya empatinya sangat tinggi pada orang yang bernasib serupa. Mentari tahu jauh di dalam, Nuri mengalami tekanan yang luar biasa. Rumah tangganya bersama Bastian terancam bubar.Samudra berjalan mendekat setelah keluar dari kamar mandi. Wajahnya segar dan tenang, seolah tak ada hal serius. Pria itu langsung duduk di tepi ranjang yang berbeda dengan sang istri.Jam sudah menunjuk angka sepuluh, dan mereka seharusnya sudah bersiap tidur. Terlebih seharian ini Samudra sangat sibuk. Selain harus mengurus perusahaan, ia juga sibuk ke sana kemari mengurus kasus yang menimpa Bastian dan Nuri. Namun, tentu saja Mentari tidak ingin mereka langsung pergi ke alam mimpi. Ia ingin
326Mentari langsung berjalan keluar melalui pintu yang terdapat di dapur di mana pelayan tadi juga lewat. Ia langsung menuju bangunan paviliun di belakang bangunan utama kediaman Hanggara ini. Ada beberapa kamar yang berderet memanjang seperti sebuah kost yang ia lewati. Kamar-kamar para pekerja. Kakinya terus bergerak lumayan cepat menuju paviliun. Ia curiga suaminya menempatkan Yulia di sana. Namun, saat melihat pelayan yang tadi membawa makanan keluar dari salah satu kamar yang berderet, ia menghentikan langkah. Di sana rupanya Yulia berada.Pelayan yang baru menutup pintu, tampak kaget melihat Nyonya rumah sudah berada di hadapan tanpa ia sadari. Wanita seusia Mentari itu langsung mengangguk hormat. Setelahnya, menunduk dalam. “Yulianya ada?” tanya Mentari langsung. Tak peduli pelayan yang ketakutan. “Permisi, aku mau lihat.” Walaupun datar ucapan itu, nyatanya sang pelayan malah bergeming. Tak bergeser dari tempatnya seolah ingin menghalangi Mentari untuk masuk. “Mbak, maa
327“Nur, sekarang kamu makan dulu, ya. Jangan khawatir, semua akan segera membaik.” Mentari melerai pelukan. Lalu menghadiahkan senyum manis. “Lihat aku, berkali-kali aku mengalami keterpurukan dalam hidup. Tapi Tuhan selalu memberi pertolongan. Yang penting kita harus kuat. Jangan menyerah, jangan terpuruk, apalagi kalah oleh makar yang dibuat orang lain. Kamu tunjukkan kalau kamu bisa menghadapi ini semua. Kita tidak tumbuh dalam keluarga yang harmonis. Kita sudah terbiasa hidup keras kan, sejak kecil. Jadi, jangan karena masalah yang kini mendera, kita kalah. Aku yakin kamu bisa, Nur. Aku bersamamu.”Setelah mengatakan itu dengan penuh effort, sambil mengusap lengan Nuri, Mentari pamit. Tak sabar ingin menemui Yulia di belakang sana. Wanita itu tersenyum, lalu mengingatkan Nuri agar makan, sebelum benar-benar keluar dari kamarnya. Dengan tergesa-gesa, ia kembali ke belakang. Kali ini harus berhasil menemui Yulia. Mumpung Samudra tidak di rumah. Nuri sendiri tidak ia beri tahu k
328“Hakmu? Hak apa?” Mentari bertanya dengan nada tak percaya. Suaranya bergetar, meski ia berusaha keras untuk terdengar tenang. Di sana, Yulia duduk dengan ekspresi yang tak terbaca karena wajahnya memang sudah tak berbentuk. Mentari bisa merasakan darahnya mendidih, tapi ia mencoba untuk tidak terpancing lebih jauh. Sungguh rasa kasihan dan tidak tega yang sempat hadir, kini kembali terusik karena ucapan Yulia. "Kamu tahu maksudku, Mentari. Dalam harta peninggalan ayahmu, ada hakku juga sebagai istri yang tidak pernah dicerai sampai dia mati. Apa salah kalah aku menuntut hakku itu?”Sungguh, darah Mentari semakin mendidih. Bagaimana bisa Yulia masih menyinggung hak. Apa selain wajah dan kulit tubuhnya yang rusak, otaknya juga rusak? Mereka sama-sama tahu jika Bumi meninggal tanpa harta. Hanya meninggalkan utang yang tidak terkira jumlahnya. Jika pun ada rumah dan perusahaan, itu juga sudah dijaminkan ke Hanggara Enterprise yang saat itu dikelola Benny. Kalau sekarang semua bi
329“Apa?” Suara Samudra terdengar memekik di telepon, menembus kesunyian koridor rumah sakit. “Yulia menyerang Mentari?” Tangan sang pria mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Bagaimana bisa terjadi?" tanyanya lagi, kali ini lebih pelan namun dengan nada penuh kemarahan yang terpendam.Dari seberang telepon, suara pelayan rumah terdengar cemas. “Tuan, Ibu Mentari baik-baik saja, tidak terluka parah karena piring yang dilempar Yulia ditangkis oleh Meli. Tapi … Bu Mentari sangat terkejut dan tadi sempat terjatuh.”Mata Samudra menyipit. Tangannya semakin mengepal. “Apa Yulia keluar dari kamarnya?”“Tidak. Meli menguncinya. Bu Mentari yang mendatangi kamar Yulia.”Samudra memejamkan matanya. Padahal tadi ia sudah menggagalkan aksi Mentari ke sana. Sudah pula meminta pelayan tidak mengizinkan Mentari masuk. Namun, ia sangat tahu watak istrinya.Samudra tidak bisa menyalahkan pelayan yang pastinya tidak berdaya. Tidak pula menyalahkan Mentari yang seharusnya tahu. "Aku akan
330“Sayang ….”Begitu Samudra tiba di kamar anak kembarnya, ia menghela napas lega. Ketakutan yang tadi menghantui, perlahan sirna. Ketakutan itu tidak terbukti. Di sana, ia melihat Mentari duduk di kursi goyang, sedang menyusui Barra dan Bulan.Samudra mendekati istrinya perlahan, takut mengganggu momen tersebut. Namun, hatinya begitu berat, penuh dengan rasa bersalah yang membara. Terlebih melihat Mentari yang bergeming meski tahu dirinya datang. Padahal, hari-hari biasanya sang istri akan menyambutnya dengan sukacita jika ia pulang dalam waktu apa pun.Samudra langsung bersimpuh di dekat kaki Mentari. Menatap sayu. Tatapan penuh penyesalan menyapu wajah yang luar biasa dingin tanpa kata. Bahkan sedikit lirikan mata pun tidak Mentari berikan padanya.“Sayang, kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya khawatir. Meskipun pelayan tadi sudah mengatakan Mentari tidak apa-apa, tetap saja ia khawatir.“Apa ada yang luka?” Samudra meraba kening Mentari yang masih juga membisu.Rumi yang tengah m