327“Nur, sekarang kamu makan dulu, ya. Jangan khawatir, semua akan segera membaik.” Mentari melerai pelukan. Lalu menghadiahkan senyum manis. “Lihat aku, berkali-kali aku mengalami keterpurukan dalam hidup. Tapi Tuhan selalu memberi pertolongan. Yang penting kita harus kuat. Jangan menyerah, jangan terpuruk, apalagi kalah oleh makar yang dibuat orang lain. Kamu tunjukkan kalau kamu bisa menghadapi ini semua. Kita tidak tumbuh dalam keluarga yang harmonis. Kita sudah terbiasa hidup keras kan, sejak kecil. Jadi, jangan karena masalah yang kini mendera, kita kalah. Aku yakin kamu bisa, Nur. Aku bersamamu.”Setelah mengatakan itu dengan penuh effort, sambil mengusap lengan Nuri, Mentari pamit. Tak sabar ingin menemui Yulia di belakang sana. Wanita itu tersenyum, lalu mengingatkan Nuri agar makan, sebelum benar-benar keluar dari kamarnya. Dengan tergesa-gesa, ia kembali ke belakang. Kali ini harus berhasil menemui Yulia. Mumpung Samudra tidak di rumah. Nuri sendiri tidak ia beri tahu k
328“Hakmu? Hak apa?” Mentari bertanya dengan nada tak percaya. Suaranya bergetar, meski ia berusaha keras untuk terdengar tenang. Di sana, Yulia duduk dengan ekspresi yang tak terbaca karena wajahnya memang sudah tak berbentuk. Mentari bisa merasakan darahnya mendidih, tapi ia mencoba untuk tidak terpancing lebih jauh. Sungguh rasa kasihan dan tidak tega yang sempat hadir, kini kembali terusik karena ucapan Yulia. "Kamu tahu maksudku, Mentari. Dalam harta peninggalan ayahmu, ada hakku juga sebagai istri yang tidak pernah dicerai sampai dia mati. Apa salah kalah aku menuntut hakku itu?”Sungguh, darah Mentari semakin mendidih. Bagaimana bisa Yulia masih menyinggung hak. Apa selain wajah dan kulit tubuhnya yang rusak, otaknya juga rusak? Mereka sama-sama tahu jika Bumi meninggal tanpa harta. Hanya meninggalkan utang yang tidak terkira jumlahnya. Jika pun ada rumah dan perusahaan, itu juga sudah dijaminkan ke Hanggara Enterprise yang saat itu dikelola Benny. Kalau sekarang semua bi
329“Apa?” Suara Samudra terdengar memekik di telepon, menembus kesunyian koridor rumah sakit. “Yulia menyerang Mentari?” Tangan sang pria mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Bagaimana bisa terjadi?" tanyanya lagi, kali ini lebih pelan namun dengan nada penuh kemarahan yang terpendam.Dari seberang telepon, suara pelayan rumah terdengar cemas. “Tuan, Ibu Mentari baik-baik saja, tidak terluka parah karena piring yang dilempar Yulia ditangkis oleh Meli. Tapi … Bu Mentari sangat terkejut dan tadi sempat terjatuh.”Mata Samudra menyipit. Tangannya semakin mengepal. “Apa Yulia keluar dari kamarnya?”“Tidak. Meli menguncinya. Bu Mentari yang mendatangi kamar Yulia.”Samudra memejamkan matanya. Padahal tadi ia sudah menggagalkan aksi Mentari ke sana. Sudah pula meminta pelayan tidak mengizinkan Mentari masuk. Namun, ia sangat tahu watak istrinya.Samudra tidak bisa menyalahkan pelayan yang pastinya tidak berdaya. Tidak pula menyalahkan Mentari yang seharusnya tahu. "Aku akan
330“Sayang ….”Begitu Samudra tiba di kamar anak kembarnya, ia menghela napas lega. Ketakutan yang tadi menghantui, perlahan sirna. Ketakutan itu tidak terbukti. Di sana, ia melihat Mentari duduk di kursi goyang, sedang menyusui Barra dan Bulan.Samudra mendekati istrinya perlahan, takut mengganggu momen tersebut. Namun, hatinya begitu berat, penuh dengan rasa bersalah yang membara. Terlebih melihat Mentari yang bergeming meski tahu dirinya datang. Padahal, hari-hari biasanya sang istri akan menyambutnya dengan sukacita jika ia pulang dalam waktu apa pun.Samudra langsung bersimpuh di dekat kaki Mentari. Menatap sayu. Tatapan penuh penyesalan menyapu wajah yang luar biasa dingin tanpa kata. Bahkan sedikit lirikan mata pun tidak Mentari berikan padanya.“Sayang, kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya khawatir. Meskipun pelayan tadi sudah mengatakan Mentari tidak apa-apa, tetap saja ia khawatir.“Apa ada yang luka?” Samudra meraba kening Mentari yang masih juga membisu.Rumi yang tengah m
331Nuri berlari tergesa-gesa melewati koridor rumah yang luasnya ia yakin lebih dari dua kali lapangan sepakbola. Namun, ia tidak peduli berapa luas rumah ini, saat ini ia harus segera menemui Mentari. Ia terus berlari untuk mencari Nyonya rumah ini di kamarnya yang terletak di lantai dasar.Kamar Bastian yang Nuri tempati memang berada di lantai dua. Hingga butuh waktu baginya mencapai ruangan yang dituju.Nafas wanita itu tersengal, jantungnya berdebar kencang. Dari balkon kamarnya tadi, ia melihat kerumunan orang yang memenuhi jalanan di sekitar rumah. Ada yang berdiri, ada yang duduk, dan beberapa berbisik-bisik sambil menatap ke arah rumah dengan ekspresi cemas dan penasaran. Suara sirine ambulans dan mobil polisi juga terdengar samar-samar dari kejauhan.Nuri ketakutan, selama tinggal di sini ia jarang keluar kamar hingga tidak tahu apa yang terjadi. Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyeruak begitu saja. Prasangka buruk langsung mengintai. Sesuatu yang serius telah terja
332Samudra memasuki kamar setelah Rumi membuka pintunya. Suara Nuri dan Mentari langsung terdengar saat kakinya melangkah. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan kegelisahan yang menggantung di dalam dadanya. Di balik senyum tenangnya, ada badai yang siap meledak kapan saja, tapi ia harus menahan semuanya. Ia tak ingin menambah beban pikiran Mentari, Nuri dan siapa pun.Samudra berjalan menghampiri Mentari lebih dulu meski si kembar langsung merangkak berlomba mendekatinya. Dengan wajah yang dibuat setenang mungkin dan senyum tipis yang terukir, ia menyapa.“Kamu di sini, Nur?” tanyanya. Kemudian langsung mengalihkan pandangan ke arah Mentari. Merengkuh pundak sang istri, dan mendaratkan sebuah kecupan dalam di keningnya.Nuri berkedip-kedip menyaksikan pemandangan itu. Ingatannya langsung tertuju suaminya yang beberapa hari ini mereka terpisah. Rasa rindu menyelinap. Melihat Samudra begitu lembut memperlakukan istrinya, mengingatkan Nuri jika Bastian pun selalu melakuk
333Samudra memangku Barra dan Bulan bersamaan. Ia menciumi pipi keduanya dengan penuh kasih sayang, seolah-olah ingin memastikan bahwa mereka benar-benar ada di sana, aman dan tidak terpengaruh oleh apa pun. Sungguh, sikap Samudra sangat tenang. Sama sekali tidak menunjukkan sedang terjadi sesuatu di luar sana yang sangat serius. Ia terus saja menggoda kedua anaknya dengan ringan. Seperti hari-hari sebelumnya.Mentari menunduk setelah beberapa saat memperhatikan interaksi antara Samudra dan anak-anaknya. Ternyata ia baru sadar jika bagi suaminya, kenyamanan ia dan si kembar di atas segalanya. Pria itu tak ingin memperlihatkan kegundahannya di depan anak istrinya. Semua ia simpan sendiri di kedalaman hati. Terbukti sang pria tidak menyinggung apa pun yang terkait dengan apa yang tengah terjadi. Begitu pintar ia menyimpannya sendiri.“Maafkan Mas, ya,” ucap Samudra sambil menatap sayu. Suaranya lembut, tapi penuh makna. Membuat Mentari mengerjap karena sadar baru saja melamun.“Bagaim
334Samudra menatap keluar jendela dari sebuah ruangan yang berada di lantai dua rumahnya. Di halaman depan, kerumunan orang semakin padat. Wartawan, tetangga, orang-orang yang penasaran, dan tentu saja Novita dengan suara nyaringnya yang terus-menerus menuduhnya tanpa henti.Samudra bisa melihat mikrofon-mikrofon diangkat, kamera-kamera berderet mengarah ke wajah Novita yang penuh drama. Wanita itu memasang wajah sedih tak berkesudahan untuk menarik simpati. Seolah-olah benar jika dirinya dan ibunya adalah korban di sini.Samudra sangat tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Tuduhan-tuduhan mengerikan tengah dilontarkan, menyerang reputasinya, menyerang keluarganya.“Saya yakin Pak Samudra yang membunuh ibu saya! Dia membawanya ke sini tanpa sepengetahuan siapa pun, dan sekarang ibu saya mati dengan cara yang sangat mengenaskan!” Suara Novita terdengar jelas meski jaraknya cukup jauh.Samudra memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini akan menjadi sulit, tapi ia tidak