330“Sayang ….”Begitu Samudra tiba di kamar anak kembarnya, ia menghela napas lega. Ketakutan yang tadi menghantui, perlahan sirna. Ketakutan itu tidak terbukti. Di sana, ia melihat Mentari duduk di kursi goyang, sedang menyusui Barra dan Bulan.Samudra mendekati istrinya perlahan, takut mengganggu momen tersebut. Namun, hatinya begitu berat, penuh dengan rasa bersalah yang membara. Terlebih melihat Mentari yang bergeming meski tahu dirinya datang. Padahal, hari-hari biasanya sang istri akan menyambutnya dengan sukacita jika ia pulang dalam waktu apa pun.Samudra langsung bersimpuh di dekat kaki Mentari. Menatap sayu. Tatapan penuh penyesalan menyapu wajah yang luar biasa dingin tanpa kata. Bahkan sedikit lirikan mata pun tidak Mentari berikan padanya.“Sayang, kamu baik-baik saja, kan?” tanyanya khawatir. Meskipun pelayan tadi sudah mengatakan Mentari tidak apa-apa, tetap saja ia khawatir.“Apa ada yang luka?” Samudra meraba kening Mentari yang masih juga membisu.Rumi yang tengah m
331Nuri berlari tergesa-gesa melewati koridor rumah yang luasnya ia yakin lebih dari dua kali lapangan sepakbola. Namun, ia tidak peduli berapa luas rumah ini, saat ini ia harus segera menemui Mentari. Ia terus berlari untuk mencari Nyonya rumah ini di kamarnya yang terletak di lantai dasar.Kamar Bastian yang Nuri tempati memang berada di lantai dua. Hingga butuh waktu baginya mencapai ruangan yang dituju.Nafas wanita itu tersengal, jantungnya berdebar kencang. Dari balkon kamarnya tadi, ia melihat kerumunan orang yang memenuhi jalanan di sekitar rumah. Ada yang berdiri, ada yang duduk, dan beberapa berbisik-bisik sambil menatap ke arah rumah dengan ekspresi cemas dan penasaran. Suara sirine ambulans dan mobil polisi juga terdengar samar-samar dari kejauhan.Nuri ketakutan, selama tinggal di sini ia jarang keluar kamar hingga tidak tahu apa yang terjadi. Ada perasaan tak nyaman yang tiba-tiba menyeruak begitu saja. Prasangka buruk langsung mengintai. Sesuatu yang serius telah terja
332Samudra memasuki kamar setelah Rumi membuka pintunya. Suara Nuri dan Mentari langsung terdengar saat kakinya melangkah. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha mengendalikan kegelisahan yang menggantung di dalam dadanya. Di balik senyum tenangnya, ada badai yang siap meledak kapan saja, tapi ia harus menahan semuanya. Ia tak ingin menambah beban pikiran Mentari, Nuri dan siapa pun.Samudra berjalan menghampiri Mentari lebih dulu meski si kembar langsung merangkak berlomba mendekatinya. Dengan wajah yang dibuat setenang mungkin dan senyum tipis yang terukir, ia menyapa.“Kamu di sini, Nur?” tanyanya. Kemudian langsung mengalihkan pandangan ke arah Mentari. Merengkuh pundak sang istri, dan mendaratkan sebuah kecupan dalam di keningnya.Nuri berkedip-kedip menyaksikan pemandangan itu. Ingatannya langsung tertuju suaminya yang beberapa hari ini mereka terpisah. Rasa rindu menyelinap. Melihat Samudra begitu lembut memperlakukan istrinya, mengingatkan Nuri jika Bastian pun selalu melakuk
333Samudra memangku Barra dan Bulan bersamaan. Ia menciumi pipi keduanya dengan penuh kasih sayang, seolah-olah ingin memastikan bahwa mereka benar-benar ada di sana, aman dan tidak terpengaruh oleh apa pun. Sungguh, sikap Samudra sangat tenang. Sama sekali tidak menunjukkan sedang terjadi sesuatu di luar sana yang sangat serius. Ia terus saja menggoda kedua anaknya dengan ringan. Seperti hari-hari sebelumnya.Mentari menunduk setelah beberapa saat memperhatikan interaksi antara Samudra dan anak-anaknya. Ternyata ia baru sadar jika bagi suaminya, kenyamanan ia dan si kembar di atas segalanya. Pria itu tak ingin memperlihatkan kegundahannya di depan anak istrinya. Semua ia simpan sendiri di kedalaman hati. Terbukti sang pria tidak menyinggung apa pun yang terkait dengan apa yang tengah terjadi. Begitu pintar ia menyimpannya sendiri.“Maafkan Mas, ya,” ucap Samudra sambil menatap sayu. Suaranya lembut, tapi penuh makna. Membuat Mentari mengerjap karena sadar baru saja melamun.“Bagaim
334Samudra menatap keluar jendela dari sebuah ruangan yang berada di lantai dua rumahnya. Di halaman depan, kerumunan orang semakin padat. Wartawan, tetangga, orang-orang yang penasaran, dan tentu saja Novita dengan suara nyaringnya yang terus-menerus menuduhnya tanpa henti.Samudra bisa melihat mikrofon-mikrofon diangkat, kamera-kamera berderet mengarah ke wajah Novita yang penuh drama. Wanita itu memasang wajah sedih tak berkesudahan untuk menarik simpati. Seolah-olah benar jika dirinya dan ibunya adalah korban di sini.Samudra sangat tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Tuduhan-tuduhan mengerikan tengah dilontarkan, menyerang reputasinya, menyerang keluarganya.“Saya yakin Pak Samudra yang membunuh ibu saya! Dia membawanya ke sini tanpa sepengetahuan siapa pun, dan sekarang ibu saya mati dengan cara yang sangat mengenaskan!” Suara Novita terdengar jelas meski jaraknya cukup jauh.Samudra memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Ia tahu ini akan menjadi sulit, tapi ia tidak
335“Apa?” Kedua bola mata Nuri seolah ingin loncat dari rongganya. Pundaknya meluruh, tubuhnya lemas dengan tulang-tulang yang bagai dilolosi dari persendian. Kecemasan yang sejak tadi bergumul dalam dada, kini terbukti sudah. Pantas saja Bastian tidak bisa dihubungi.Kedatangan Samudra dan Mentari ke kamarnya untuk menyampaikan berita itu, bagai mimpi buruk yang membuat dunia mendadak gelap. Wanita itu duduk lemas di lantai setelah kakinya tak lagi dapat menopang tubuhnya. Kini, ia tak malu lagi menumpahkan air mata di depan suami istri itu. Nuri menangis sejadi-jadinya.Ke mana Bastian? Apa ia marah karena dirinya tak menemani di rumah sakit? Bukankah operasi itu penting untuk kesehatan dan kesembuhan kakinya? Kenapa harus pergi?Tak terhitung sudah berapa banyak air mata Nuri yang tumpah membanjir sejak Samudra menyampaikan berita ini.“Nuri, tenanglah. Kita pasti akan segera menemukan Bastian.” Suara Samudra terdengar tegas namun lembut, berusaha menenangkan Nuri yang sudah hilan
336Dunia Nuri seolah runtuh seketika. Kedua matanya membulat, air mata yang sudah sempat mengering kini kembali mengalir deras, membasahi pipinya tanpa ampun. Ia terpaku di ambang pintu, tak mampu bergerak. Rasanya seperti terjebak dalam mimpi buruk yang nyata—pemandangan Bastian dan Novita bersama di apartemen. Hatinya hancur berkeping-keping. Ini bukan sekadar kesalahpahaman biasa, ini adalah pengkhianatan yang paling menyakitkan.Nuri menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan sesak yang semakin menggulung dadanya. Tangannya bergetar, genggaman pada tas kecilnya mulai melemah. Perlahan, kaki Nuri yang semula kaku mulai melangkah mundur, tanpa suara. Ia tahu, jika ia tetap tinggal lebih lama, emosinya akan meledak. Dan saat itu terjadi, tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali terluka lebih dalam."Aa ... kenapa?" bisik Nuri lirih, nyaris tak terdengar.Sebuah suara pelan terdengar dari arah sofa, suara yang memanggil namanya."Nuri ... tunggu," suara itu adalah milik Bastian, namun
337"Siapa kalian?! Apa yang kalian inginkan?" Nuri bertanya dengan suara gemetar, sesaat setelah penutup mulutnya dilepas. Tadi, orang-orang yang menariknya paksa ke dalam mobil, langsung menyumpalkan sebuah kain yang ujungnya diikat ke belakang.Nuri mencoba untuk duduk dengan kedua tangan yang diikat ke belakang tubuhnya. Kepalanya pusing. Mobil yang melaju ugal-ugalan membuatnya terasa terombang-ambing. Entah ke mana mobil yang membawanya ini melaju. Yang pasti semua terjadi begitu cepat. Ia baru saja ingin pergi jauh meninggalkan Bastian yang sudah mengkhianatinya, dan siapa sangka semesata benar-benar mendukung.Lihatkah kini, ia dibawa orang-orang itu dengan mobil ini entah ke mana.Walaupun dengan kepala pusing, Nurri mencoba mengedarkan pandangan ke seluruh isi mobil. Mencoba mengenali oarng-orang yang menariknya paksa tadi.“Siapa kalian sebenarnya?” tanyanya lagi saat tak mengenali orang-orang itu. “Kenapa kalian menculikku? Apa salahku? Aku mau dibawa ke mana?”"Diam!" Sala