MAAF YA,TEMAN2,MATI LAMPU DAN BARU NYALA JADI TELAT UPDATE
338Nuri terbangun dengan kepala berat dan tubuh lemas. Ia menggeleng berkali-kali untuk membuang rasa pusing. Pandangannya kabur, tapi satu hal yang pasti, ia masih berada di dalam mobil yang melaju kencang. Terbukti guncangnnya yang kuat membuat tubuh mungilnya terombang-ambing di atas jok.Kepalanya terasa berat, tapi kesadarannya kembali secara perlahan. Ia mencoba bergerak, namun kedua tangannya terikat di belakang. Pun dengan kedua kakinya yang disatukan dengan tali tambang kecil. Ketika ia memandang ke sekeliling, jantungnya berdebar kencang. Mobil yang membawanya ini adalah sebuah jeep hitam, mobil yang sama dengan yang tadi menculiknya.Nuri memejam lagi. Mencoba mengumpulkan ingatan. Tadi salah satu dari orang yang menculiknya, membekapnya dengan kain yang ia yakin sudah dibubuhi obat bius. Namun, setelah sekian lama ia tidak sadarkan diri, kenapa masih juga berada di dalam mobil? Mau dibawa ke mana dirinya? Kenapa sejauh itu perjalanannya?Dari depan, terdengar suara percak
339"Apa yang kau pikirkan, Bas? Kenapa harus membawa Novita ke rumahmu?" Suara Samudra meski tidak keras, tetapi sarat kekesalan. Pria itu berdiri di depan Bastian dengan sorot mata tajam yang penuh dengan kemarahan. Masalah yang bertumpuk, membuatnya lepas kontrol, hingga sulit mengendalikan diri.Di hadapan Samudra, Bastian hanya bisa menunduk dengan ekspresi penuh penyesalan. Tadi ia langsung mendatagi pamannya itu di rumahnya karena mengkhawatirkan Nuri."Bodohnya kamu, kenapa kabur dari rumah sakit, Bas? Apa kamu tidak memikirkan kesehatanmu? Kakimu itu kalau tidak segera dioperasi, bisa fatal akibatnya. Kamu mau hanya memiliki satu kaki?”Bastian mengangkat pandangannya, menatap Samudra dengan mata yang berkaca-kaca. Tubuhnya tampak lemas, jelas menunjukkan bahwa ia menyesali keputusannya. "Aku ... aku hanya merasa hidupku tidak lagi berarti jika tanpa Nuri di sisiku, Om. Aku merasa tidak ada gunanya lagi aku hidup, tidak perlu juga aku sembuh jika dia tidak mau kembali.”Samud
340Samudra melangkah mendekat, suaranya semakin rendah karena lelah, "apa kamu punya bayangan siapa yang menculik istrimu?” tanyanya sambil menatap lekat.“Tidak mungkin Novita kan, Om? Dia ada di rumahku.”Samudra mendengus kasar. “Semua kemungkinan bisa terjadi, Bas. Jangan terlalu naif. Kamu tahu pasti siapa mantan istrimu itu.”Bastian memejam. Ya, ia terlalu bodoh untuk tidak bisa melihat keadaan. Masih juga percaya jika Novita dan ibunya layak dikasihani, nyatanya … mereka memperdaya.“Apa Novita dan Yulia sengaja menjebak kita, Om? Atau hanya Novita yang licik di sini? Ia sengaja membuang ibunya pada kita agar tak perlu mengurusinya lagi?”“Sudahlah, kita fokus mencari Nuri saja saat ini. Urusan Novita aku sudah meminta pengacara mengurusnya.” Samudra mengibaskan tangannya dengan lelah.Bastian mengangguk. Ia memang tidak bisa melakukan apa pun untuk saat ini tanpa Samudra. Semua ia serahkan pada pria itu. Apalagi untuk mencari Nuri. Karena dirinya jangankan memiliki kekuatan
341Bastian duduk tegang di dalam mobil yang terus melaju menembus hujan deras. Gemuruh hujan di atap mobil terdengar seperti detak jantungnya yang berdegup kencang. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski udara di dalam mobil terasa beku."Nuri...," bisiknya pelan, seolah menyebut nama istrinya akan membawa keberuntungan.Hamish menoleh padanya dengan ekspresi tenang seperti biasa. "Kita sudah dekat, Bas. Tenanglah. Orang-orang kita sudah memberi sinyal, mereka membawa Nuri ke kampungnya.” Mengerti dengan apa yang dirasakan Bastian saat ini, Hamish berujar."Kampung Nuri? Jadi benar yang membawa istriku si Jaya?" tanya Bastian, matanya membulat. Hatinya terasa mencelos mendengar itu. Ia tahu betul jika pamannya Nuri memang berambisi membawa Nuri pulang karena merasa wanita yang sudah ia nikahi itu tak lagi memberikan keuntungan untuknya.Dan Bastian sangat tahu ke mana Nuri akan dibawa. Ke tempat di mana para hidung belang datang untuk bersenang-senang. Untuk membeli kehangatan
342Hamish berjalan santai dan penuh percaya diri. Seorang pengawal menyertainya, hingga mereka terlihat benar-benar natural. Hamish seolah hidung belang yang diantar asistennya untuk menyewa seorang wanita di dalam sana.Selama berjalan menuju bangunan itu, matanya meneliti suasana sekitar dengan cepat. Di depannya, bangunan besar tapi kumuh yang menjulang tampak lebih mencolok dengan lampu-lampu neon yang berkedip-kedip, menyembunyikan kotoran dan keserakahan yang bersemayam di dalamnya. Hamish menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk memainkan perannya. Ia tahu, bukan hanya rencananya yang dipertaruhkan, tetapi hidup Nuri yang diamanahkan Samudra padanya.Di dalam mobil, Bastian menggenggam kedua lututnya begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya terus memperhatikan pergerarakan Hamish yang begitu luwes hingga asisten Samudra itu kini disambut beberapa orang bertubuh besar dengan tato memenuhi seluruh kulitnya.Tampak dari sini, Hamish bicara dengan orang-orang itu, seb
343Hamish berkedip lemah dan lama, memberi isyarat pada Nuri yang jelas masih terkejut dan kebingungan melihatnya di sana. Setelahnya pria itu menatap tajam, penuh makna, seolah berkata, "Jangan sebut namaku, berpura-puralah tidak mengenalku."Nuri menggigit bibirnya untuk menahan tangis yang tetiba mendesak ingin keluar. Dadanya mendadak penuh, entah oleh apa. Ingin rasanya ia menghambur memeluk pria seumuran Samudra itu saking senang melihat seseorang yang dikenalnya di sana. Baginya saat ini, Hamish laksana malaikat yang bisa menyelamatkan hidupnya meski belum tahu untuk apa pria itu berada di sana.Untunglah Nuri segera menangkap kode Hamish dengan cepat. Tangannya masih terbelenggu oleh dua pria bertubuh kekar yang memaksanya mendekat ke Hamish.“Barang bagus, kan?” Mucikari berkomentar sambil tertawa lebar. Memperlihatkan deretan giginya yang sudahlah tidak rapi, berwarna kuning kecoklatan pula. “Baru aja datang, Bos. Jadi masih agak liar. Tapi tenang, sekiranya Bos kewalahan,
Suami344Hamish tertawa setelah beberapa saat bisa menguasai diri, berusaha meredakan kecurigaan mereka."Itu karena dia sudah tahu tak bisa melawan lagi. Semua perempuan pasti begitu setelah tahu siapa yang memegang kendali." Hamish menghabiskan sisa tawanya. "Kau terlalu curiga. Lagipula, dia bisa apa? Kabur pun percuma saja, kan? Kalian akan memburunya."Pria bertato itu terdiam beberapa saat seraya menatap Nuri yang menunduk dengan mengerutkan tubuhnya.“Mungkin.” Hamish berbisik di telinga pria itu. “Dia berpikir logis, tidak mau babak belur dua kali. Babak belur kalian siksa kalau kabur, juga babak-belur melayaniku.” Diakhiri tawa, Hamish melanjutkan.Pria itu masih terdiam dengan beberapa lipatan di keningnya. Hamish menepuk pundaknya.“Tapi kami harus memastikan dulu tidak ada yang aneh." Pria bertato bicara lagi.“Hei, tapi aku sudah tidak sabar menikmati barang baru istimewa tempat kalian. Bagaimana ini?” Hamish menunjuk bagian bawah tubuhnya dengan kerlingan mata. “Dan sepe
345“Dan asal kamu tahu, Bung. Jaya sudah meminta banyak uang sama keluarga suami Nuri di Jakarta. Itu artinya dia sudah menjual Nuri kepada keluarga suaminya, dan di sini … ia juga menjualnya padamu.” Entah ide dari mana, tiba-tiba terlintas di pikiran Hamish untuk mengadu domba Karta dan Jaya.“Dia bohong, Kang!” Jaya yang wajahnya sudah memerah, membentak dan menuding wajah Hamish. “Aku tidak pernah menjual Rina sama siapa pun selain sama Akang.” Jaya mulai terlihat panik dan kesal.Karta mendelik ke arah Jaya dengan kemarahan yang hampir tak tertahankan. Sebelah tangannya mengepal kuat, siap untuk melayangkan pukulan kapan saja. Satu tangan lainnya yang masih merenggut kerah baju Hamish, mencampakkan pria itu hingga jatuh terjengkang. Setelahnya ia berbalik menghadap Jaya."Apa yang kau lakukan?! Kau membawa wanita yang sudah menikah ke sini?!" teriak Karta dengan suara menggelegar, membuat ruangan itu seolah bergetar.Jaya tampak terpojok, tetapi dengan cepat mencoba membela diri
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau