346 Di sebuah ruangan rumah sakit yang serba putih dan steril, hanya suara mesin-mesin medis yang mengisi keheningan. Nuri duduk di sisi tempat tidur Bastian, wajahnya basah oleh air mata yang tak henti-hentinya mengalir. Tubuh Bastian masih terbaring tak bergerak, sementara berbagai alat medis menempel di tubuhnya, seolah-olah mencoba mempertahankan hidupnya di dunia. Ini adalah hari kelima setelah kejadian di malam kelam itu, dan Bastian masih juga belum mau bangun. Padahal kondisi Nuri sendiri sudah perlahan membaik setelah beberapa hari mendapat perawatan. Bastian dianiaya orang-orang Karta dan katanya pula oleh Jaya yang memendam dendam kesumat, terlebih kondisi kakinya yang memang sudah fatal sejak awal, membuat kesehatannya semakin memburuk. Dengan segala penyesalan dan ketakutan akan terjadi hal buruk pada suaminya, Nuri terus mendampinginya meski ia sendiri terluka. Ia meminta pihak rumah sakit memberi keleluasaan padanya untuk menemani sang suami setiap saat. Membayangka
347“Tuan, apa wartawan sudah tidak memburu anda dan keluarga lagi?” tanya Nuri saat mereka menuju ruang rawat Nuri yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Dua pengawal yang tadi menunggu Samudra di depan ruang khusus Bastian, mengekor di belakang. Nuri heran kenapa Samudra sekarang leluasa keluar, bukankah kemarin-kemarin ruamhnya saja ramai dengan para pewarta dan masyarakat yang penasaran atas kasus kematian Yulia?Samudra menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku sampaikan sama kamu dan Bastian, tapi mengingat kondisi Bastian yang masih belum bangun, jadi aku memutuskan menunda.”Nuri menghentikan langkah, lalu menatap Samudra dengan mata sayunya.“Ada apa, Tuan? Tidak ada yang buruk, kan?” Raut cemas kembali berpendar di sana.Samudra tersenyum tipis. “Tenang saja, insyaallah semuanya berita baik.”Nuri menghela napas, sedikit kelegaan meski belum bisa bernapas lega sebelum Bastian benar-benar bangun dan sembuh."Nuri.” Suara Samudra terdengar lem
348Ruangan itu dipenuhi suara langkah cepat dan instruksi singkat. Nuri berdiri terpaku di pojok, ia memaksa masuk karena ingin melihat sendiri bagaimana Bastian ditangani dokter dan timnya. Dadanya terasa seperti dihantam batu raksasa. Matanya tidak lepas dari tubuh Bastian yang terbaring tak bergerak di atas ranjang rumah sakit. Mesin-mesin medis berkedip tak beraturan, memberi sinyal bahwa kondisi suaminya semakin kritis.Seorang dokter berteriak, “Siapkan defibrilator lagi!” Tim paramedis bereaksi cepat, memasang alat dan memberikan kejutan listrik yang membuat tubuh Bastian sedikit terangkat. Nuri terkejut, menutup mulutnya sendiri yang hampir memekik. Lalu memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan rasa takut yang mulai menggerogoti setiap sudut jiwanya.Namun layar monitor tetap menunjukkan garis lurus. Pertanda tidak ada detak jantung di sana."Naikkan dosis adrenalin!" perintah dokter lagi, suaranya penuh ketegangan. Wajahnya yang sebagian tertutup masker, berkerut di bag
349Nuri berjalan perlahan, mendekati Bastian yang masih terbaring di ranjang. Namun, kali ini laki-laki itu terlihat berbeda. Wajahnya damai, tubuhnya tidak lagi lemah. Nuri semakin mendekat, dan ia merasa suaminya seperti tersenyum kepadanya.“Aa ...?” Suara Nuri bergetar, setengah tak percaya.Bastian perlahan membuka mata, menatap Nuri dengan tatapan lembut yang selama ini dirindukannya. “Aku di sini, Sayang ....” Suaranya terdengar jelas, seolah-olah waktu di sekeliling mereka berhenti.Nuri terisak, merasakan kehadiran Bastian begitu nyata. “Kita ... sudah bersama di sini? Di tempat yang sama?” tanyanya dengan suara parau, tangannya gemetar saat menyentuh pipi Bastian.Bastian mengangguk pelan. “Iya, kita sudah bersama. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi derita. Hanya kamu dan aku ... selamanya.”Nuri menatap suaminya, air matanya jatuh semakin deras. “Aku takut kehilanganmu, Aa. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu,” suaranya tersendat di antara isak tangisnya.
350Nuri membuka matanya dengan cepat, napasnya masih memburu seolah habis berlari jauh. Cahaya putih dari lampu di langit-langit membuat matanya sedikit perih. Dia masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi ... ada sesuatu yang berbeda. Suara mesin, aroma antiseptik yang kuat, dan embusan napas berat di sebelahnya. Hatinya tergerak, dan secepat kilat kepalanya berpaling ke arah sumber suara.Di sana. Dia ada di sana.Bastian. Terbaring di ranjang lain, hanya berjarak sekitar dua meter darinya."Ya, Tuhan ...!" Nuri menutup mulutnya, menahan isakan yang tak bisa lagi ia bendung. Bastian masih hidup. Meski terlihat lemah, dengan wajah yang masih penuh memar, tapi dia di sana. Dia bernapas."Aa ...?" Nuri bergumam, suaranya bergetar, seolah takut kenyataan ini akan menghilang seperti mimpi.Bastian berkedip lemah. Mata yang biasanya penuh tenaga kini tampak lelah, tapi tetap memancarkan kehangatan yang Nuri rindukan."Nur ...." Bastian berbisik pelan, suaranya terdengar serak, seolah
351Nuri dan Bastian saling bertukar pandang dalam ketegangan. Meski di depan ada pengawal yang berjaga, tetapi kabar seorang pria yang tidak dikenal datang mencari Bastian, membuat semua orang bertanya-tanya dalam kewaspadaan. Kejadian buruk yang beruntun terjadi, membuat mereka sedikit paranoid dan gampang curiga.Suasana yang semula penuh keharuan tiba-tiba berubah tegang. Mereka menunggu Samudra yang keluar dengan banyak pertanyaan di kepala.Dan … sesosok pria bule, bertubuh tinggi besar, dengan rambut keperakan yang mencuat di balik topinya, kini berdiri tepat di depan ranjang Bastian. Beberapa kerutan di wajahnya, membuat siapa pun yakin jika pria yang menatap dalam Bastian itu umurnya sudah lebih dari lima puluhan.Keheningan menemani sang pria selama mengamati Bastian. Pengamatan yang luar biasa dalam. Ya, Bastian dapat merasakannya. Sorot mata sang pria begitu lekat dan mendalam. Sorot mata yang entah kenapa walaupun ia baru melihatnya, tetapi merasa sudah familiar dan teras
352Bastian masih bergetar dalam pelukan Nuri, menatap kosong ke arah pintu setelah Richard pergi. Air mata yang mengalir di pipinya adalah bukti bahwa luka lama yang terkubur dalam kini kembali terbuka. Kenyataan bahwa pria asing yang mengaku sebagai ayahnya, datang dan membawa kebenaran yang selama ini tersembunyi, membuat Bastian merasa hancur."Kenapa sekarang, Nur?" bisiknya lirih, suaranya serak oleh tangis yang tertahan. "Kenapa dia harus muncul setelah sekian lama?"Nuri mengelus punggung Bastian lembut. "Saya juga nggak tahu jawabannya, Aa. Tapi mungkin ... mungkin ini waktunya Aa tahu. Sebelum semuanya terlambat."“Apa maksud kamu, Nur?” Bastian medikit melonggarkan pelukan.Nuri terdiam. Terlihat memilah kata. Ia takut, apa yang ingin dikatakannya akan menyinggung perasaan sang suami.“Aa, saya sejak kecil sudah ditinggal ayah. Dan ibu, setelah saya remaja pun ikut menyusul ayah. Saya hidup tanpa kasih sayang orang tua. Saat ibu masih hidup pun ibu sibuk mencari nafkah untu
353“Kenapa kami harus pulang ke kediaman Hanggara, Om?” tanya Bastian tidak mengerti. Hari ini ia sudah diperbolehkan pulang. Kakinya perlahan sembuh walaupun tetap masih harus menggunakan alat bantu berjalan. Hanya saja yang ia heran Samudra keukeuh memaksanya dan Nuri untuk pulang ke rumahnya.“Seperti yang sudah aku ceritakan tempo hari, Bas. Rumahmu sudah digunakan untuk hal tidak baik oleh Novita. Apa kamu masih mau tinggal di sana?”Bastian terpekur. Ia lupa jika rumahnya sudah dijadikan tempat maksiat oleh mantan istrinya yang tidak tahu diri itu. Ya, memang salahnya meninggalkan Novita di sana, tapi semua karena ia terlalu panik atas penculikan Nuri.Tidak disangka jika Novita sampai sedemikian bejatnya. Bersikeras meminta harta gono-gini, merebut apartemen yang ternyata digunakana untuk berbuat dosa. Bastian tidak menyangka dulu ia menikahi wanita seperti itu, wanita yang tidak puas dengan satu laki-laki.“Oh, ya, Novita sendiri sekarang bagaimana, Om? Apa polisi udah berhas