347“Tuan, apa wartawan sudah tidak memburu anda dan keluarga lagi?” tanya Nuri saat mereka menuju ruang rawat Nuri yang sebenarnya tidak terlalu jauh. Dua pengawal yang tadi menunggu Samudra di depan ruang khusus Bastian, mengekor di belakang. Nuri heran kenapa Samudra sekarang leluasa keluar, bukankah kemarin-kemarin ruamhnya saja ramai dengan para pewarta dan masyarakat yang penasaran atas kasus kematian Yulia?Samudra menarik napas dalam sebelum menjawab. “Sebenarnya ada banyak hal yang ingin aku sampaikan sama kamu dan Bastian, tapi mengingat kondisi Bastian yang masih belum bangun, jadi aku memutuskan menunda.”Nuri menghentikan langkah, lalu menatap Samudra dengan mata sayunya.“Ada apa, Tuan? Tidak ada yang buruk, kan?” Raut cemas kembali berpendar di sana.Samudra tersenyum tipis. “Tenang saja, insyaallah semuanya berita baik.”Nuri menghela napas, sedikit kelegaan meski belum bisa bernapas lega sebelum Bastian benar-benar bangun dan sembuh."Nuri.” Suara Samudra terdengar lem
348Ruangan itu dipenuhi suara langkah cepat dan instruksi singkat. Nuri berdiri terpaku di pojok, ia memaksa masuk karena ingin melihat sendiri bagaimana Bastian ditangani dokter dan timnya. Dadanya terasa seperti dihantam batu raksasa. Matanya tidak lepas dari tubuh Bastian yang terbaring tak bergerak di atas ranjang rumah sakit. Mesin-mesin medis berkedip tak beraturan, memberi sinyal bahwa kondisi suaminya semakin kritis.Seorang dokter berteriak, “Siapkan defibrilator lagi!” Tim paramedis bereaksi cepat, memasang alat dan memberikan kejutan listrik yang membuat tubuh Bastian sedikit terangkat. Nuri terkejut, menutup mulutnya sendiri yang hampir memekik. Lalu memeluk dirinya sendiri, berusaha menenangkan rasa takut yang mulai menggerogoti setiap sudut jiwanya.Namun layar monitor tetap menunjukkan garis lurus. Pertanda tidak ada detak jantung di sana."Naikkan dosis adrenalin!" perintah dokter lagi, suaranya penuh ketegangan. Wajahnya yang sebagian tertutup masker, berkerut di bag
349Nuri berjalan perlahan, mendekati Bastian yang masih terbaring di ranjang. Namun, kali ini laki-laki itu terlihat berbeda. Wajahnya damai, tubuhnya tidak lagi lemah. Nuri semakin mendekat, dan ia merasa suaminya seperti tersenyum kepadanya.“Aa ...?” Suara Nuri bergetar, setengah tak percaya.Bastian perlahan membuka mata, menatap Nuri dengan tatapan lembut yang selama ini dirindukannya. “Aku di sini, Sayang ....” Suaranya terdengar jelas, seolah-olah waktu di sekeliling mereka berhenti.Nuri terisak, merasakan kehadiran Bastian begitu nyata. “Kita ... sudah bersama di sini? Di tempat yang sama?” tanyanya dengan suara parau, tangannya gemetar saat menyentuh pipi Bastian.Bastian mengangguk pelan. “Iya, kita sudah bersama. Tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi derita. Hanya kamu dan aku ... selamanya.”Nuri menatap suaminya, air matanya jatuh semakin deras. “Aku takut kehilanganmu, Aa. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpamu,” suaranya tersendat di antara isak tangisnya.
350Nuri membuka matanya dengan cepat, napasnya masih memburu seolah habis berlari jauh. Cahaya putih dari lampu di langit-langit membuat matanya sedikit perih. Dia masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi ... ada sesuatu yang berbeda. Suara mesin, aroma antiseptik yang kuat, dan embusan napas berat di sebelahnya. Hatinya tergerak, dan secepat kilat kepalanya berpaling ke arah sumber suara.Di sana. Dia ada di sana.Bastian. Terbaring di ranjang lain, hanya berjarak sekitar dua meter darinya."Ya, Tuhan ...!" Nuri menutup mulutnya, menahan isakan yang tak bisa lagi ia bendung. Bastian masih hidup. Meski terlihat lemah, dengan wajah yang masih penuh memar, tapi dia di sana. Dia bernapas."Aa ...?" Nuri bergumam, suaranya bergetar, seolah takut kenyataan ini akan menghilang seperti mimpi.Bastian berkedip lemah. Mata yang biasanya penuh tenaga kini tampak lelah, tapi tetap memancarkan kehangatan yang Nuri rindukan."Nur ...." Bastian berbisik pelan, suaranya terdengar serak, seolah
351Nuri dan Bastian saling bertukar pandang dalam ketegangan. Meski di depan ada pengawal yang berjaga, tetapi kabar seorang pria yang tidak dikenal datang mencari Bastian, membuat semua orang bertanya-tanya dalam kewaspadaan. Kejadian buruk yang beruntun terjadi, membuat mereka sedikit paranoid dan gampang curiga.Suasana yang semula penuh keharuan tiba-tiba berubah tegang. Mereka menunggu Samudra yang keluar dengan banyak pertanyaan di kepala.Dan … sesosok pria bule, bertubuh tinggi besar, dengan rambut keperakan yang mencuat di balik topinya, kini berdiri tepat di depan ranjang Bastian. Beberapa kerutan di wajahnya, membuat siapa pun yakin jika pria yang menatap dalam Bastian itu umurnya sudah lebih dari lima puluhan.Keheningan menemani sang pria selama mengamati Bastian. Pengamatan yang luar biasa dalam. Ya, Bastian dapat merasakannya. Sorot mata sang pria begitu lekat dan mendalam. Sorot mata yang entah kenapa walaupun ia baru melihatnya, tetapi merasa sudah familiar dan teras
352Bastian masih bergetar dalam pelukan Nuri, menatap kosong ke arah pintu setelah Richard pergi. Air mata yang mengalir di pipinya adalah bukti bahwa luka lama yang terkubur dalam kini kembali terbuka. Kenyataan bahwa pria asing yang mengaku sebagai ayahnya, datang dan membawa kebenaran yang selama ini tersembunyi, membuat Bastian merasa hancur."Kenapa sekarang, Nur?" bisiknya lirih, suaranya serak oleh tangis yang tertahan. "Kenapa dia harus muncul setelah sekian lama?"Nuri mengelus punggung Bastian lembut. "Saya juga nggak tahu jawabannya, Aa. Tapi mungkin ... mungkin ini waktunya Aa tahu. Sebelum semuanya terlambat."“Apa maksud kamu, Nur?” Bastian medikit melonggarkan pelukan.Nuri terdiam. Terlihat memilah kata. Ia takut, apa yang ingin dikatakannya akan menyinggung perasaan sang suami.“Aa, saya sejak kecil sudah ditinggal ayah. Dan ibu, setelah saya remaja pun ikut menyusul ayah. Saya hidup tanpa kasih sayang orang tua. Saat ibu masih hidup pun ibu sibuk mencari nafkah untu
353“Kenapa kami harus pulang ke kediaman Hanggara, Om?” tanya Bastian tidak mengerti. Hari ini ia sudah diperbolehkan pulang. Kakinya perlahan sembuh walaupun tetap masih harus menggunakan alat bantu berjalan. Hanya saja yang ia heran Samudra keukeuh memaksanya dan Nuri untuk pulang ke rumahnya.“Seperti yang sudah aku ceritakan tempo hari, Bas. Rumahmu sudah digunakan untuk hal tidak baik oleh Novita. Apa kamu masih mau tinggal di sana?”Bastian terpekur. Ia lupa jika rumahnya sudah dijadikan tempat maksiat oleh mantan istrinya yang tidak tahu diri itu. Ya, memang salahnya meninggalkan Novita di sana, tapi semua karena ia terlalu panik atas penculikan Nuri.Tidak disangka jika Novita sampai sedemikian bejatnya. Bersikeras meminta harta gono-gini, merebut apartemen yang ternyata digunakana untuk berbuat dosa. Bastian tidak menyangka dulu ia menikahi wanita seperti itu, wanita yang tidak puas dengan satu laki-laki.“Oh, ya, Novita sendiri sekarang bagaimana, Om? Apa polisi udah berhas
354Malam ini, Bastian duduk di halaman belakang kediaman Hanggara, memandangi api yang menyala dari dalam drum yang terbuka. Di sebelahnya, Nuri berdiri diam, memperhatikan suaminya dengan tatapan penuh pengertian.“Aa yakin?" tanya Nuri, memecah keheningan.Bastian menarik napas panjang, matanya menatap api yang perlahan melahap kayu-kayu kecil yang telah disusun dengan rapi. "Jika aku tahu ini sejak awal, tentu aku sudah melakukannya sejak dulu," jawabnya pelan.“Dulu, saat Novita pergi ninggalin aku, kodisiku sangat mengenaskan, Nur. Aku gila, aku hancur, mana sempat memikirkan ini.”“Aa hancur karena ditinggalin Novita?” tanya Nuri lagi dengan kening berkerut. Hatinya tak urung cemburu. Sebegitu hancurnyakah Bastian ditinggalkan Novita? Secinta itukah suaminya pada mantan istrinya itu?Bastian tersenyum tipis dengan tatapan masih terfokus api yang menyala. “Bukan, bukan karena Novita pergi, walaupun jujur saat itu aku ingin dia tetap di sampingku.”“Lalu, kenapa Aa sehancur itu?”
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau