350Nuri membuka matanya dengan cepat, napasnya masih memburu seolah habis berlari jauh. Cahaya putih dari lampu di langit-langit membuat matanya sedikit perih. Dia masih terbaring di ranjang rumah sakit, tapi ... ada sesuatu yang berbeda. Suara mesin, aroma antiseptik yang kuat, dan embusan napas berat di sebelahnya. Hatinya tergerak, dan secepat kilat kepalanya berpaling ke arah sumber suara.Di sana. Dia ada di sana.Bastian. Terbaring di ranjang lain, hanya berjarak sekitar dua meter darinya."Ya, Tuhan ...!" Nuri menutup mulutnya, menahan isakan yang tak bisa lagi ia bendung. Bastian masih hidup. Meski terlihat lemah, dengan wajah yang masih penuh memar, tapi dia di sana. Dia bernapas."Aa ...?" Nuri bergumam, suaranya bergetar, seolah takut kenyataan ini akan menghilang seperti mimpi.Bastian berkedip lemah. Mata yang biasanya penuh tenaga kini tampak lelah, tapi tetap memancarkan kehangatan yang Nuri rindukan."Nur ...." Bastian berbisik pelan, suaranya terdengar serak, seolah
351Nuri dan Bastian saling bertukar pandang dalam ketegangan. Meski di depan ada pengawal yang berjaga, tetapi kabar seorang pria yang tidak dikenal datang mencari Bastian, membuat semua orang bertanya-tanya dalam kewaspadaan. Kejadian buruk yang beruntun terjadi, membuat mereka sedikit paranoid dan gampang curiga.Suasana yang semula penuh keharuan tiba-tiba berubah tegang. Mereka menunggu Samudra yang keluar dengan banyak pertanyaan di kepala.Dan … sesosok pria bule, bertubuh tinggi besar, dengan rambut keperakan yang mencuat di balik topinya, kini berdiri tepat di depan ranjang Bastian. Beberapa kerutan di wajahnya, membuat siapa pun yakin jika pria yang menatap dalam Bastian itu umurnya sudah lebih dari lima puluhan.Keheningan menemani sang pria selama mengamati Bastian. Pengamatan yang luar biasa dalam. Ya, Bastian dapat merasakannya. Sorot mata sang pria begitu lekat dan mendalam. Sorot mata yang entah kenapa walaupun ia baru melihatnya, tetapi merasa sudah familiar dan teras
352Bastian masih bergetar dalam pelukan Nuri, menatap kosong ke arah pintu setelah Richard pergi. Air mata yang mengalir di pipinya adalah bukti bahwa luka lama yang terkubur dalam kini kembali terbuka. Kenyataan bahwa pria asing yang mengaku sebagai ayahnya, datang dan membawa kebenaran yang selama ini tersembunyi, membuat Bastian merasa hancur."Kenapa sekarang, Nur?" bisiknya lirih, suaranya serak oleh tangis yang tertahan. "Kenapa dia harus muncul setelah sekian lama?"Nuri mengelus punggung Bastian lembut. "Saya juga nggak tahu jawabannya, Aa. Tapi mungkin ... mungkin ini waktunya Aa tahu. Sebelum semuanya terlambat."“Apa maksud kamu, Nur?” Bastian medikit melonggarkan pelukan.Nuri terdiam. Terlihat memilah kata. Ia takut, apa yang ingin dikatakannya akan menyinggung perasaan sang suami.“Aa, saya sejak kecil sudah ditinggal ayah. Dan ibu, setelah saya remaja pun ikut menyusul ayah. Saya hidup tanpa kasih sayang orang tua. Saat ibu masih hidup pun ibu sibuk mencari nafkah untu
353“Kenapa kami harus pulang ke kediaman Hanggara, Om?” tanya Bastian tidak mengerti. Hari ini ia sudah diperbolehkan pulang. Kakinya perlahan sembuh walaupun tetap masih harus menggunakan alat bantu berjalan. Hanya saja yang ia heran Samudra keukeuh memaksanya dan Nuri untuk pulang ke rumahnya.“Seperti yang sudah aku ceritakan tempo hari, Bas. Rumahmu sudah digunakan untuk hal tidak baik oleh Novita. Apa kamu masih mau tinggal di sana?”Bastian terpekur. Ia lupa jika rumahnya sudah dijadikan tempat maksiat oleh mantan istrinya yang tidak tahu diri itu. Ya, memang salahnya meninggalkan Novita di sana, tapi semua karena ia terlalu panik atas penculikan Nuri.Tidak disangka jika Novita sampai sedemikian bejatnya. Bersikeras meminta harta gono-gini, merebut apartemen yang ternyata digunakana untuk berbuat dosa. Bastian tidak menyangka dulu ia menikahi wanita seperti itu, wanita yang tidak puas dengan satu laki-laki.“Oh, ya, Novita sendiri sekarang bagaimana, Om? Apa polisi udah berhas
354Malam ini, Bastian duduk di halaman belakang kediaman Hanggara, memandangi api yang menyala dari dalam drum yang terbuka. Di sebelahnya, Nuri berdiri diam, memperhatikan suaminya dengan tatapan penuh pengertian.“Aa yakin?" tanya Nuri, memecah keheningan.Bastian menarik napas panjang, matanya menatap api yang perlahan melahap kayu-kayu kecil yang telah disusun dengan rapi. "Jika aku tahu ini sejak awal, tentu aku sudah melakukannya sejak dulu," jawabnya pelan.“Dulu, saat Novita pergi ninggalin aku, kodisiku sangat mengenaskan, Nur. Aku gila, aku hancur, mana sempat memikirkan ini.”“Aa hancur karena ditinggalin Novita?” tanya Nuri lagi dengan kening berkerut. Hatinya tak urung cemburu. Sebegitu hancurnyakah Bastian ditinggalkan Novita? Secinta itukah suaminya pada mantan istrinya itu?Bastian tersenyum tipis dengan tatapan masih terfokus api yang menyala. “Bukan, bukan karena Novita pergi, walaupun jujur saat itu aku ingin dia tetap di sampingku.”“Lalu, kenapa Aa sehancur itu?”
355Malam ini, Mentari berdiri di depan cermin besar yang tergantung di kamar hotelnya, memindai pantulan dirinya dengan gaun panjang berwarna emerald yang elegan. Gemerlap kristal kecil menghiasi beberapa bagian gaunnya, memantulkan kilauan cahaya lembut dari lampu gantung di langit-langit kamar. Pasmina warna senada, membingkai wajah cantiknya yang dipoles make up flawless.Ia menghela napas, berusaha menenangkan debar jantung yang tak kunjung berhenti sejak pagi. Sebenarnya ia tidak nyaman berpenampilan terlalu glamour, tapi sang suami –Samudra, mengatakan jika dirinya tidak boleh kalah dengan mereka, karena ia pun bintang malam ini.“Aku tidak percaya ini...,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil memejam dan memegang dadanya.Samudra yang baru dari kamar sebelah, melangkah masuk. Pria itu tampak gagah dalam setelan hitamnya. Matanya yang tajam namun penuh kehangatan menatap Mentari dengan bangga. Dia meraih tangan sang istri, lalu mencium punggung tangannya lembut.“Kamu sudah sam
336Mentari tertegun, matanya masih terpaku pada sosok yang berdiri di antara hiruk-pikuk kesibukan malam itu. Bima. Pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, pernah mengisi kekosongan hatinya selepas ditinggalkan Samudra. Pernah sangat dekat bahkan lebih dari jarak hati dan jantung. Pernah mewarnai hari-harinya yang hampa. Bahkan menjadi ayah pertama untuk si kembar karena ia laki-laki pertama yang dikenal kedua anaknya.Kini, sosok itu kembali muncul di depan matanya. Tentu saja, bukankah pencapaiannya ini atas jasa Bima? Tanpa jasa Bima, mungkin ia tidak akan menjadi bintang malam ini.Langkah Mentari yang terhenti, membuat Samudra yang masih menggenggam erat tangannya menyadari ada sesuatu yang tak beres. Ia mengikuti arah pandangan Mentari, hingga menemukan sosok pria tinggi berwajah teduh yang juga tampak menatap mereka dari kejauhan.“Kenapa berhenti, Sayang?” Samudra bertanya pelan, nadanya masih tenang meski mata tajamnya menyiratkan kekhawatiran.Mentari mencoba men
357Mentari duduk di kursi penumpang, menghela napas panjang sambil memandang jalanan yang sepi di luar jendela mobil. Udara sejuk dari mesin pendingin yang seharusnya menyejukkan terasa begitu berat, seolah memikul segala kecamuk di dalam dadanya. Samudra di sebelahnya, mencengkeram kuat handel stir, tak mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan acara itu. Malam yang seharusnya indah, berujung kecanggungan.“Kamu marah?” Samudra akhirnya memecah keheningan, suaranya rendah namun ada nada kekhawatiran yang kentara.Mentari tidak langsung menjawab. Matanya masih tertuju pada lampu jalan yang berlarian di sepanjang jalan. Mobil membawa mereka kembali ke hotel. Pikirannya bercampur aduk, antara kesal, jengkel, dan sedikit tersinggung.“Aku tidak marah, Mas.” Nadanya datar, namun jelas sekali itu bukan sekadar jawaban asal. “Aku hanya tidak suka kamu cemburu dengan hal-hal yang tidak perlu.”Samudra tersenyum kecil, meski hatinya tertekan. “Tidak perlu? Kamu tahu Mas sejak du