336Mentari tertegun, matanya masih terpaku pada sosok yang berdiri di antara hiruk-pikuk kesibukan malam itu. Bima. Pria yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, pernah mengisi kekosongan hatinya selepas ditinggalkan Samudra. Pernah sangat dekat bahkan lebih dari jarak hati dan jantung. Pernah mewarnai hari-harinya yang hampa. Bahkan menjadi ayah pertama untuk si kembar karena ia laki-laki pertama yang dikenal kedua anaknya.Kini, sosok itu kembali muncul di depan matanya. Tentu saja, bukankah pencapaiannya ini atas jasa Bima? Tanpa jasa Bima, mungkin ia tidak akan menjadi bintang malam ini.Langkah Mentari yang terhenti, membuat Samudra yang masih menggenggam erat tangannya menyadari ada sesuatu yang tak beres. Ia mengikuti arah pandangan Mentari, hingga menemukan sosok pria tinggi berwajah teduh yang juga tampak menatap mereka dari kejauhan.“Kenapa berhenti, Sayang?” Samudra bertanya pelan, nadanya masih tenang meski mata tajamnya menyiratkan kekhawatiran.Mentari mencoba men
357Mentari duduk di kursi penumpang, menghela napas panjang sambil memandang jalanan yang sepi di luar jendela mobil. Udara sejuk dari mesin pendingin yang seharusnya menyejukkan terasa begitu berat, seolah memikul segala kecamuk di dalam dadanya. Samudra di sebelahnya, mencengkeram kuat handel stir, tak mengucapkan sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan acara itu. Malam yang seharusnya indah, berujung kecanggungan.“Kamu marah?” Samudra akhirnya memecah keheningan, suaranya rendah namun ada nada kekhawatiran yang kentara.Mentari tidak langsung menjawab. Matanya masih tertuju pada lampu jalan yang berlarian di sepanjang jalan. Mobil membawa mereka kembali ke hotel. Pikirannya bercampur aduk, antara kesal, jengkel, dan sedikit tersinggung.“Aku tidak marah, Mas.” Nadanya datar, namun jelas sekali itu bukan sekadar jawaban asal. “Aku hanya tidak suka kamu cemburu dengan hal-hal yang tidak perlu.”Samudra tersenyum kecil, meski hatinya tertekan. “Tidak perlu? Kamu tahu Mas sejak du
358Bastian duduk di jok belakang mobil, bersebelahan dengan Samudra. Jalan menuju Pantai Cimaja Sukabumi –tampak lengang, hanya sesekali mobil lain melintas, mengingat ini bukan akhir pekan atau hari libur. Angin pantai yang segar mulai terasa di udara meskipun mereka masih beberapa kilometer dari tujuan.Bastian merasakan hatinya sedikit gundah. Bagaimanapun, ia tidak mengenal Richard selama hidupnya. Pertemuan mereka baru terjadi sekali di rumah sakit. Baginya, cukup sulit menerima pria yang baru datang dalam hidupnya dan langsung mengaku sebagai ayah.Namun, setelah perenungan panjang yang memakan waktu lumayan lama, nasihat Samudra dan juga dukungan Nuri, akhirnya ia memutuskan ingin menyambung tali silaturahmi dengan pria bule itu. Mungkin, meski tidak bisa langsung menerima sebagai ayah kandung, mereka bisa menjalin hubungan layaknya seorang teman.Sepertinya apa yang Nuri pikirkan benar adanya. Ia beruntung masih memiliki keluarga di dunia ini. Bukankah keluarga adalah harta y
359Bastian mengusap wajahnya dengan kasar. Mengingat kematian tragis sang ibu tak lama setelah keributan besar di rumah Hanggara, memang menyesakkan dada. Lebih sesak karena ia yakin pelakunya adalah Benny, yang merasa tertipu oleh Esther. Namun, Bastian tidak mungkin mengatakannya kepada Richard. Terlebih Benny juga sudah meninggal dengan mengenaskan, setelah hidupnya tersiksa oleh penyakit yang menggerogoti tubuhnya.Ia hanya bisa menangis dalam batin jika mengingat nasib keduanya. Bagaimanapun, mereka adalah orang tua yang telah membesarkannya dengan limpahan harta. Bastian pernah merasa sangat bahagia menjadi anak Benny dan Esther. Biarlah kematian Esther menjadi rahasianya saja. Ia pun tidak meminta polisi untuk mengusutnya. Bastian hanya bisa berdoa agar dosa keduanya diampuni.Bastian terdiam cukup lama setelahnya, mencoba memproses setiap informasi yang Richard sampaikan. Ternyata, ayahnya yang selama ini dianggap pergi tanpa peduli, bahkan tidak tahu bahwa dirinya hadir ke d
360Ruangan serba putih, aroma obat-obatan, dan hiruk-pikuk rumah sakit sepertinya belum bisa mereka tinggalkan jauh. Rasanya baru kemarin Nuri dan Bastian meninggalkan tempat berpusatnya segala kegiatan medis itu. Namun, kini mereka harus kembali akrab dengan tempat itu.Di atas tempat tidur pasien, Nuri terbaring lemah. Matanya menatap kosong ke langit-langit, seolah tak mampu merasakan apa pun lagi. Tangisnya telah mengering, tetapi hatinya masih terasa remuk.Bagaimana tidak? Ia harus menerima kenyataan bahwa janin yang baru beberapa minggu bersarang di rahimnya kini telah tiada. Calon anak yang sempat membuat hidupnya berbunga karena akan menjadi seorang ibu, telah berpulang bahkan sebelum sempat ia berbentuk manusia.Rasanya tidak berlebihan jika dirinya tak lagi memiliki semangat hidup setelah tahu bahwa calon anaknya telah gugur dini. Rasa bersalah selalu menghantui karena ia tidak bisa menjaga anak itu. Menjaga anak Bastian. Padahal, sang suami sudah berkali-kali meyakinkan b
361Rumah itu terletak tak jauh dari pantai, tempat angin laut lembut sesekali berhembus masuk melalui jendela yang terbuka. Udara di dalamnya terasa hangat, bercampur dengan aroma asin lautan. Dinding-dinding rumah tersebut sudah lama akrab dengan terpaan cuaca pantai, namun tetap berdiri kokoh, memberikan kehangatan tersendiri bagi para penghuninya.Rumah itu adalah milik keluarga Richard, di mana lima minggu ini Bastian dan Nuri ikut tinggal di sana, di sebuah kamar yang terletak di samping bangunan utama.Di dapur, Nuri dan Sari sibuk menyiapkan makan malam. Suara berirama dari pisau yang mengiris sayuran dan panci yang bergemerincing menciptakan melodi sederhana, selaras dengan tawa ringan dan obrolan santai di antara mereka. Nuri sesekali menyeka keringat di dahinya, meski senyumnya tak pernah hilang. Sementara Sari terlihat tenang, dengan gerakan tangan yang cekatan saat mengaduk sup dalam panci besar. Keduanya bekerja harmonis."Masakan Ibu enak, pantas Bapak tidak mau pulang
362Bastian mempercepat langkahnya mendekati pantai, matanya memicing menatap dua sosok di kejauhan. Telinganya menangkap suara ombak yang menggelegar, tetapi pikirannya berputar di satu titik: Nuri dan Andra.“Nuri!” panggilnya dengan suara keras. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena berjalan cepat, tetapi lebih karena sesuatu di dalam dadanya yang terbakar.Kedua sosok yang berdiri membelakanginya itu menoleh ke arahnya. Senyum cerah langsung terukir di bibir Nuri. Wanita itu dengan ceria melambaikan tangan. Sementara Andra hanya menatap Bastian dengan ekspresi datar, lalu mengangguk.“Aa, lihat deh!” seru Nuri, berlari kecil menghampirinya. “Langitnya tadi indah banget. Ada warna-warni yang muncul, kayak aurora gitu, A. Saya enggak pernah lihat yang kayak gini sebelumnya. Makanya, pas mau masuk kamar tadi, saya nggak jadi karena pemandangannya indah. Eh, kebetulan Andra juga ada di sini.”Bastian tak langsung menjawab. Dia hanya menatap istrinya yang begitu ceria dan Andra yang
363Pagi itu, suasana meja makan yang biasanya hangat mendadak canggung. Nuri duduk diam di samping Bastian.“Nuri, kalau kamu benar-benar mau sekolah lagi, kita kembali ke Jakarta.” Ucapan Bastian tegas, tak memberi ruang untuk penolakan. Matanya menatap lurus ke arah Nuri, seolah menuntut jawaban yang cepat.Nuri menelan ludah, tak yakin harus menjawab apa. Bastian mendadak kasar, dan itu di depan semua keluarganya. Apakah ucapannya tadi salah? Sungguh, ia tidak ingin kembali ke Jakarta. Ia merasa nyaman tinggal di sini. Kehangatan keluarga ini berbeda, membuatnya merasa diterima.Nuri memberanikan diri menatap wajah suaminya yang merah padam, sangat kontras dengan kulit putihnya.Namun, sebelum Nuri sempat memberikan jawaban, Richard menyela, "Bas, tenanglah. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Mungkin semua tidak seperti yang terlihat. Mungkin Nuri hanya terbawa suasana karena melihat Karin yang setiap hari memakai seragam sekolah. Tapi, kalaupun Nuri ingin mengambil paket, k