360Ruangan serba putih, aroma obat-obatan, dan hiruk-pikuk rumah sakit sepertinya belum bisa mereka tinggalkan jauh. Rasanya baru kemarin Nuri dan Bastian meninggalkan tempat berpusatnya segala kegiatan medis itu. Namun, kini mereka harus kembali akrab dengan tempat itu.Di atas tempat tidur pasien, Nuri terbaring lemah. Matanya menatap kosong ke langit-langit, seolah tak mampu merasakan apa pun lagi. Tangisnya telah mengering, tetapi hatinya masih terasa remuk.Bagaimana tidak? Ia harus menerima kenyataan bahwa janin yang baru beberapa minggu bersarang di rahimnya kini telah tiada. Calon anak yang sempat membuat hidupnya berbunga karena akan menjadi seorang ibu, telah berpulang bahkan sebelum sempat ia berbentuk manusia.Rasanya tidak berlebihan jika dirinya tak lagi memiliki semangat hidup setelah tahu bahwa calon anaknya telah gugur dini. Rasa bersalah selalu menghantui karena ia tidak bisa menjaga anak itu. Menjaga anak Bastian. Padahal, sang suami sudah berkali-kali meyakinkan b
361Rumah itu terletak tak jauh dari pantai, tempat angin laut lembut sesekali berhembus masuk melalui jendela yang terbuka. Udara di dalamnya terasa hangat, bercampur dengan aroma asin lautan. Dinding-dinding rumah tersebut sudah lama akrab dengan terpaan cuaca pantai, namun tetap berdiri kokoh, memberikan kehangatan tersendiri bagi para penghuninya.Rumah itu adalah milik keluarga Richard, di mana lima minggu ini Bastian dan Nuri ikut tinggal di sana, di sebuah kamar yang terletak di samping bangunan utama.Di dapur, Nuri dan Sari sibuk menyiapkan makan malam. Suara berirama dari pisau yang mengiris sayuran dan panci yang bergemerincing menciptakan melodi sederhana, selaras dengan tawa ringan dan obrolan santai di antara mereka. Nuri sesekali menyeka keringat di dahinya, meski senyumnya tak pernah hilang. Sementara Sari terlihat tenang, dengan gerakan tangan yang cekatan saat mengaduk sup dalam panci besar. Keduanya bekerja harmonis."Masakan Ibu enak, pantas Bapak tidak mau pulang
362Bastian mempercepat langkahnya mendekati pantai, matanya memicing menatap dua sosok di kejauhan. Telinganya menangkap suara ombak yang menggelegar, tetapi pikirannya berputar di satu titik: Nuri dan Andra.“Nuri!” panggilnya dengan suara keras. Jantungnya berdetak cepat, bukan karena berjalan cepat, tetapi lebih karena sesuatu di dalam dadanya yang terbakar.Kedua sosok yang berdiri membelakanginya itu menoleh ke arahnya. Senyum cerah langsung terukir di bibir Nuri. Wanita itu dengan ceria melambaikan tangan. Sementara Andra hanya menatap Bastian dengan ekspresi datar, lalu mengangguk.“Aa, lihat deh!” seru Nuri, berlari kecil menghampirinya. “Langitnya tadi indah banget. Ada warna-warni yang muncul, kayak aurora gitu, A. Saya enggak pernah lihat yang kayak gini sebelumnya. Makanya, pas mau masuk kamar tadi, saya nggak jadi karena pemandangannya indah. Eh, kebetulan Andra juga ada di sini.”Bastian tak langsung menjawab. Dia hanya menatap istrinya yang begitu ceria dan Andra yang
363Pagi itu, suasana meja makan yang biasanya hangat mendadak canggung. Nuri duduk diam di samping Bastian.“Nuri, kalau kamu benar-benar mau sekolah lagi, kita kembali ke Jakarta.” Ucapan Bastian tegas, tak memberi ruang untuk penolakan. Matanya menatap lurus ke arah Nuri, seolah menuntut jawaban yang cepat.Nuri menelan ludah, tak yakin harus menjawab apa. Bastian mendadak kasar, dan itu di depan semua keluarganya. Apakah ucapannya tadi salah? Sungguh, ia tidak ingin kembali ke Jakarta. Ia merasa nyaman tinggal di sini. Kehangatan keluarga ini berbeda, membuatnya merasa diterima.Nuri memberanikan diri menatap wajah suaminya yang merah padam, sangat kontras dengan kulit putihnya.Namun, sebelum Nuri sempat memberikan jawaban, Richard menyela, "Bas, tenanglah. Jangan terburu-buru mengambil keputusan. Mungkin semua tidak seperti yang terlihat. Mungkin Nuri hanya terbawa suasana karena melihat Karin yang setiap hari memakai seragam sekolah. Tapi, kalaupun Nuri ingin mengambil paket, k
364Nuri berdiri terpaku di pantai, napasnya tercekat saat melihat Bastian yang langsung berbalik tanpa sepatah kata. Tubuhnya terasa beku, bukan hanya karena angin malam dan air hujan yang dingin, tetapi juga karena kecemasan yang merayap perlahan.Tangan Andra masih menggenggam pergelangan tangannya, tapi Nuri segera menarik tangannya, menyadari bahwa situasinya semakin buruk."Aa..." bisik Nuri, suaranya teredam oleh deburan ombak dan hujan yang semakin deras.Tanpa berpikir panjang, Nuri berlari mengejar Bastian yang sudah menjauh. Hatinya dipenuhi kekhawatiran, takut Bastian salah paham. Hujan membasahi tubuhnya, namun ia tak peduli. Bastian harus tahu bahwa ia tak bermaksud seperti ini. Hanya butuh sedikit penjelasan, hanya itu yang ia harapkan."Aa, tunggu!" seru Nuri, namun Bastian tak menoleh. Langkah-langkah kakinya semakin cepat, seolah ingin melarikan diri dari apa yang baru saja dilihatnya.Nuri berlari, meski napasnya mulai tersengal-sengal. Sandal yang dikenakannya hamp
365Bastian berdiri di depan jendela kamarnya, memandang pemandangan kota Jakarta dengan segala kesibukannya. Tangannya masih menggenggam ponsel. Ia sedang menelepon Richard, dan hatinya terasa lebih ringan. Sungguh, walaupun sudah dewasa dan memiliki keluarga, ia sangat membutuhkan sosok ayah yang bisa menuntunnya ke jalan yang benar, seperti Richard."Terima kasih, Pak. Aku tahu Bapak sengaja mengirim Andra ke Yogyakarta bukan cuma untuk kuliah. Bapak pasti paham kalau Andra punya perasaan sama Nuri," kata Bastian yakin.Richard hanya tertawa kecil di seberang, nada suaranya tenang tapi tegas. "Bapak cuma ingin semuanya berjalan dengan baik dan normal. Bapak sudah sangat bahagia kamu mau menerima Bapak, dan kita bisa berkumpul. Bapak ingin semua anak-anak Bapak rukun dan saling menyayangi. Bapak tidak ingin kehilanganmu lagi, tapi juga tidak mau Andra kecewa. Rasanya, ini jalan terbaik untuk kalian."Bastian menahan napas mendengar ucapan sang ayah yang mencoba netral. Jika menuruti
366Nuri tertegun. Suara lembut Bastian menghantamnya lebih kuat daripada apa pun. Ia menunggu, siap menghadapi ledakan kemarahan, tetapi yang ia dapatkan hanyalah ketenangan. Suaminya tidak marah. Bastian hanya menatapnya dengan mata yang tenang, seolah-olah semua masalah yang ia takutkan tidak pernah ada.“Aa nggak marah?” Nuri memberanikan diri bertanya dengan takut-takut, suaranya terdengar gemetar.Bastian diam, membuat Nuri tidak sabar menunggu jawabannya, hingga sang suami mengangkat alisnya sedikit. Lalu menyimpan ponsel Nuri kembali ke nakas.“Apa menurutmu aku harus marah?” Lelaki itu malah balas bertanya sambil memiringkan kepalanya.Nuri menunduk dalam, kedua tangannya saling bertaut. Seharusnya dan biasanya memang akan marah. Namun...“Itu hanya perasaan sepihak, kan? Hanya Andra yang menyukai kamu, kan? Atau kamu juga—”“Enggak, A...!” Nuri mendongak dan menggoyangkan tangan. Wajahnya memucat. “Saya bersumpah tidak memiliki perasaan apa pun sama dia. Dia adik Aa, mana mu
367Bastian berdiri terpaku di ambang pintu, kakinya seolah terpasung di lantai. Pemandangan di hadapannya membakar dadanya, membuat napasnya mendadak sesak. Hawa dingin pagi yang menyusup melalui lorong apartemen sama sekali tak mampu meredam panasnya. Pandangannya terfokus pada tangan Andra yang melingkar di bahu Nuri, seolah mengukuhkan kedekatan yang begitu menusuk perasaannya.“Nuri...” Bastian berbisik, lebih kepada dirinya sendiri, merasakan gelombang kemarahan yang seketika mendidih.Nuri dan Andra sama-sama tersentak, berbalik mendapati Bastian yang berdiri dengan tatapan tajam, sorot matanya dingin, penuh dengan kekecewaan yang terpendam lama dan akhirnya pecah seketika.“Aa…,” Nuri berlari menghampiri Bastian setelah berhasil menguasai dirinya. Namun, tubuhnya hanya dilewati pria yang sudah dikuasai amarah itu. Bastian berjalan dengan langkah tegas menuju Andra yang terpaku di lorong apartemen. Kedua tangannya yang mengepal kuat bergerak kaku di samping tubuhnya.“Aa…,” Nur